Sunday, March 24, 2019

Hukum Islam ( Hukum Muamalah )




BAB I 

PENDAHULUAN 

A. Latar Belakang Masalah
Dalam buku Ensiklopedia Islam Jilid 3 halaman 245 dijelaskan bahwa muamalah merupakan bagian dari hukum islam yang mengatur hubungan antar seseorang dengan orang lain, baik seseorang itu pribadi tertentu maupun berbentuk badan hukum, sepeti peresoan, firma, yayasan, dan negara. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah, seperti jual beli, sewa menyewa, perserikatan dibidang pertanian dan perdagangan, serta usaha perbankan dan asuransi islami.

Dari pengertian muamalah tersebut ada yang berpendapat bahwa muamalah hanya menyangkut permasalahan hak dan harta yang muncul dari transaksi anatara seseorang dengan orang lain atau anatara seseorang dan badan hukum, atau antara badan hukum yang satu dan badan hukum yang lain.


B. Rumusan Masalah

a. Apakah yang dimaksud dengan Muamalah

b. Apa saja asas-asas transaksi ekonomi dalam Islam

c. Bagaimanakah penerapan transaksi ekonomi dalam Islam

d. Apakah yang dimakasud dengan Riba

e. Bagaimanakah Hukum Islam tentang Kerja sama Ekonomi (Syirkah)

f. Apakah yang dimaksud dengan Mudarabah (bagi hasil)

g. Bagaimana Perbankan yang Sesuai dengan Prinsip Hukum Islam

h. Bagaimanakah Sistem Asuransi yang Sesuai dengan Prinsip Hukum Islam

i. Bagaimanakah Sistem Lembaga Keuangan non Bank yang sesuai dengan Prinsip Hukum Islam

j. Bagaimanakah Perilaku yang Mencerminkan Kepatuhan Terhadap Hukum Islam tetang Kerjasama

Ekonomi


C. Tujuan

1. Tujuan umum

Secara umum pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami Hukum Islam

tentang Muamalah

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus pembuatan makalah ini yaitu untuk mengikuti prosedur pengajaran dalam mata

pelajaran Agama Islam .


D. Manfaat

Menambah pengetahuan Hukum Islam tentang Muamalah.



BAB II 

PEMBAHASAN 

A. MUAMALAH

1. Pengertian Muamalah

Menurut fiqih, muamalah ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang termasuk dalam hal muamalah adalah jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat dan lain-lain.

Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, masing-masing berhajat kepada yang lain, bertolong-tolongan, tukar menukar keperluan dalam urusan kepentingan hidup baik dengan cara jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam atau suatu usaha yang lain baik bersifat pribadi maupun untuk kemaslahatan umat. Dengan demikian akan terjadi suatu kehidupan yang teratur dan menjadi ajang silaturrahmi yang erat.

Agar hak masing-masing tidak sia-sia dan guna menjaga kemaslahatan umat, maka agar semuanya dapat berjalan dengan lancar dan teratur, agama Islam memberikan peraturan yang sebaik-baiknya aturan.


B. ASAS-ASAS TRANSAKSI EKONOMI DALAM ISLAM


Ekonomi adalah sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita dan usaha manusia untuk meraih kemakmuran, yaitu untuk mendapatkan kepuasan dalam memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Transaksi ekonomi maksudnya perjanjian atau akad dalam bidang ekonomi, misalnya dalam jual beli, sewa-menyewa, kerjasama di bidang pertanian dan perdagangan. Contohnya transaksi jual beli.

Dijelaskan bahwa dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar (asas-asas) yang diterapkan syara’, yaitu:

1. Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi, kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara’, misalnya memperdagangkan barang haram. (Lihat Q. S. Al-Ma’idah, 5: 1)

2. Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh tanggung jawab, tidak menyimpang dari hukum syara’ dan adab sopan santun.

3. Setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. (Lihat Q.S. An-Nisa’ 4: 29)

4. Islam mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga terhindar dari segala bentuk penipuan, dst. Hadis Nabi SAW menyebutkan: ”Nabi Muhammad SAW melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan.” (H.R. Muslim)

5. Adat kebiasaan atau ’urf yang tidak menyimpang dari syara’, boleh digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. Misalnya, dalam akad sewa-menyewa rumah.
Insya Allah jika asas-asas transaksi ekonomi dalam Islam dilaksanakan, maka tujuan filosofis yang luhur dari sebuah transaksi, yakni memperoleh mardatillah (keridaan Allah SWT) akan terwujud.


C. PENERAPAN TRANSAKSI EKONOMI DALAM ISLAM

1. JUAL BELI

Manusia dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi. Allah SWT berfirman dalam QS Az Zumar aya 39 yang artinya:

“katakanlah: “Hai kaumk, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesugguhnya aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui”, (QS Az Zumar ayat 39)

Jual beli dalam bahasa Arab terdiri dari dua kata yang mengandung makna berlawanan yaitu Al Bai’ yang artinya jual dan Asy Syira’a yang artinya Beli. Menurut istilah hukum Syara, jual beli adalah penukaran harta (dalam pengertian luas) atas dasar saling rela atau tukar menukar suatu benda (barang) yang dilakukan antara dua pihak dengan kesepakatan (akad) tertentu atas dasar suka sama suka (lihat QS Az Zumar ayat 39, At Taubah ayat 103 dan hud ayat 93)

a. Hukum Jual Beli

Orang yang terjun dalam bidang usaha jual beli harus mengetahui hukum jual beli agar dalam jual beli tersebut tidak ada yang dirugikan, baik dari pihak penjual maupun pihak pembeli. Jual beli hukumnya mubah. Artinya, hal tersebut diperbolehkan sepanjang suka sama suka. Allah berfirmandaam QS An Nisa ayat 29 yangartinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”(QS An Nisa ayat 29).

Hadis nabi Muhammad SAW menyatakan sebagai berikut.

ﺇﻨﻤﺎ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﺗﺮﺍﺩ ( ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ)

Artinya : “Sesungguhnya jual beli itu hanya sah jika suka suka sama suka.” (HR Bukhari)

ﺃﻠﺒﻴﻌﺎﻥ ﺑﺎ ﻟﺨﻴﺎﺭ ﻣﺎ ﻟﻢ ﻴﺘﻔﺮﻗﺎ ( ﺮﻮﺍﻩ ﺍﻠﺒﺨﺎﺮﻯ ﻭ ﻤﺴﻠﻢ)

Artinya : “ Dua orang jual beli boleh memilih akan meneruskan jual beli mereka atau tidak, selama keduanya belum berpisah dari tempat akad.”(HR Bukhari dan Muslim)

Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila seseorang melakukan jual beli dan tawar menawar dan tidak ada kesesuaian harga antara penjual dan pembeli, si pembeli boleh memilih akan meneruskan jual beli tersebut atau tidak. Apabila akad (kesepakatan) jual beli telah dilaksanakan dan terjadi pembayaran, kemudian salah satu dari mereka atau keduanya telah meninggalkan tempat akad, keduanya tidak boleh membatalkan jual beli yang telah disepakatinya.

b. Rukun dan syarat Jual Beli

Rukun dan syarat jual beli adalah ketentuan-ketentuan dalam jual beli yang harus dipenuhi agar jual belinya sah menurut syara’ (hukum Islam).

Dalam pelaksanaan jual beli, minimal ada tiga rukun yang perlu dipenuhi.

a. Penjual atau pembeli harus dalam keadaan sehat akalnya.

b. Syarat Ijab dan Kabul.

c. Benda yang diperjualbelikan

c. Perilaku atau sikap yang harus dimiliki oleh penjual

a. Berlaku Benar (Lurus)

b. Menepati Amanat.

c. Jujur

Sikap jujur pedagang dapat dicontohkan seperti dengan menjelaskan cacat barang dagangan, baik yang diketahui maupun yang tidak diketahui. Sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya :

“Muslim itu adalah saudara muslim, tidak boleh seorang muslim apabila ia

berdagang dengan saudaranya dan menemukan cacat, kecuali diterangkannya.”

Lawan sifat jujur adalah menipu atau curang, seperti mengurangi takaran, timbangan, kualitas, kuantitas, atau menonjolkan keunggulan barang tetapi menyembunyikan cacatnya. Hadis lain meriwayatkan dari umar bin khattab r.a berkata seorang lelaki mengadu kepada rasulullah SAW sebagai berikut “ katakanlah kepada si penjual, jangan menipu! Maka sejak itu apabila dia melakukan jual beli, selalu diingatkannya jangan menipu.”(HR Muslim)

d. Khiar

Khiar artunya boleh memilih satu diantara dua yaitu meneruskan kesepakatan (akad) jual beli atau mengurungkannya (menarik kembali atau tidak jadi melakukan transaksi jual beli). Ada tiga macam khiar yaitu sebagai berikut :

1) Khiar Majelis

2) Khiar Syarat

3) Khiar Aib (cacat)

d. Macam-macam Jual Beli

a) Jual beli yang sahih

Adalah jual beli yang memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan.

b) Jual beli yang batil

Adalah jual beli yang tidak terpenuhi salah satu atau seluruh rukun dan syarat yang ditentukan

Macam-macam jual beli yang batil yaitu:

1) Jual beli sesuatu yang tidak ada.

2) Menjual barang yang tidak bisa diserahkan kepada pembeli

3) Jual beli buah-buahan atau padi-padian yang belum sempurna matangnya

4) Jual beli yang mengandung unsur penipuan

5) Jual beli benda-benda najis

6) Jual beli al-‘arbun (jual beli yang bentuknya melalui perjajian,jika barang yangsudah dibeli dikembalikan oleh pembeli, maka uang telah diberikan kepada pejual menjadi hibah bagi penjul)

7) Jual beli air sungai, air danau, air laut, dan air yang tidak boleh dimiliki seseorang

8) Jual beli yang bergantung pada suatu syarat tertentu

9) Jual beli al-majhul (benda atau barangnya secara global tidak diketahui), dengan syarat kemajhulannya (ketidakjelasannya) itu bersifat menyeluruh

10) Jual beli sebagian barang yang sama sekali tidak dapat dipisahkan dari satuannya


2. IJARAH

a. Pengertian

Berasal dari bahasa Arab yang artinya upah atau imbalan.
Definisi ijarah menurut ulama mazhab Syafi’i adalah transaksi tertentu terhadap suatu manfaat yang dituju, bersifat mubah dan bisa dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.

b. Dasar Hukum Ijarah

Al-Qur’an yang dijadikan dasar hukum ijarah ialah Q.S. Az-Zukhruf, 43: 32, At-Talaq, 65: 6 dan Q.S Al-Qasas, 28: 26.

c. Macam-macam ijarah
1. Ijarah yang bersifat manfaat, seperti sewa-menyewa.
2. Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah dengan cara mempekerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan

Rukun ijarah ada 4, yaitu:
a. Orang yang berakad
b. Sewa/imbalan
c. Manfaat
d. Sigat/ijab kabul


D. RIBA

a. Pengertin

menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan, riba artinya kelebihan pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan, yang disyaratkan bagis salah seorang dari dua orang yang melakukan transaksi
Misalnya, Si A memberi pinjaman kepada si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman dan sekian persen tambahnya

b. Dasar Hukum Keharaman Riba

Sebagai dasar riba dapat diperhatikan Firman Allah SWT, sebagai berikut;
وَاَحَلَ اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّ مَ الرِّبوا. (البقرة:275)
Artinya.
“Sesungguhnya Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al- Baqoroh / 2:275)

Riba hanyalah berlaku pada benda – benda seperti emas, perak, makanan dan uang. Karena itu tidak diperbolehkan menjual emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali jika harganya sebanding dan dilakukan dengan kontan. Tidak diperbolehkan menjual sesuatu barang, dimana barang tersebut belum berada ditangannya (misal A membeli barang tersebut kepada si B)
Tidak diperbolehkan pula menjual daging dengan binatang yang masih hidup. Tidak diperbolehkan juga menjual emas dengan ditukar dengan perak yang harga nilainya tidak sebanding. Demikian pula menjual makanan, tidak diperbolehkan dijual dengan makanan sejenis, kecuali jika sebanding harganya. Tidak diperbolehkan pula jual beli barang sejenis daripadanya dengan barang yang tidak seimbang harganya. Tidak diperbolehkan pula beli barang yang belum menjadi miliknya, misalnya menjual burung yang bebas terbang di udara dan lain – lainPada ayat ini juga disebutkaan:
يَآيُّهَاالَّذِيْنَ آمَنُوْ الاَتَأْ كُلُوالرِّ بوااضْعَافًا مُّضَعَفَةًوَّاتَّقُوْ اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (ال عمران:13)
Artinya :“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan keberuntungan” (Ali imran/3 : 130)

Dalam sebuah hadits dijelaskan konsekuensi kaharaman itu, terdapat sanski sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ آكِلَ الرِّبَا رَمُوَ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَلَ هُمْ سَوَاءٌ ( رواه مسلم عن جابر)
Artinya :
“Dari Jabir, Rasulullah SAW. Melaknat yang memakan riba, yang mewakilinya, penulisnya dan kedua saksinya dan Rasul berkata, mereka semua berdosa.” (Riwayat Muslim dari Jabir)

Setiap orang Islam dan mukalaf sebelum terlibat dalam satu urusan, terlebih dahulu wajib mengetahui apa – apa yang dihalalkan dan diharamkan Allah. Sesungguhnya Allah telah membebani kita dengan tugas – tugas mengabdi. Oleh karena itu,, mau tidak mau harus memelihara apa yang ditugaskan kepada kita. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba
Allah telah mengayidi kata jual beli dengan alat memakrifatkan, yakni اَلْ dan اَلْبَيْعُ
Jual beli ini diikat oleh beberapa ikatan – ikatan, syarat, dan rukun yang harus dipelihara semua. Jadi orang yang hendak jual beli wajib mengetahui hal – hal tersebut. Jika tidak, jelas akan makan riba, mau tidak mau
Rasulullah telah bersabda. “Pedagang yang jujur, besok pada hari kiamat digiring bersama dengan orang – orang yang jujur dan orang – orang yang mati sahid”.
Semua itu tidak lain kecuali karena sesuatu yang dia lakukan yaitu berperang melawan hawa nafsu dan keinginan (yang menyeleweng) serta memaksa nafsunya untuk menjalankan akad sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah. Jika tidak, maka tak samar lagi pasti mendapat apa yang akan diancamkan Allah kepada orang yang melanggar batas – batas.
Kemudian sesungguhnya semua akad, seperti akad ijarah (persewaaan), qirad (andil berdagang), rohn (gode), wakalah, wadiah, ariah, sirkah, musaqah, dan sebagainya, wajib dijaga syarat – syarat dan rukun – rukunnya
Akad nikah (malah) membutuhkan kehati – hatian dan ketelitian untuk menghindari kejadian yang ada kaitannya dengan ketidaksempurnaan syarat dan rukun (jika tidak sah nikahnya lantas istri disetubuhi, maka berarti berzinah)


C. Macam-Macam Riba

Menurut para ulama, riba ada empat macam yaitu:


Riba Fadli

yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama. Sabda Rasul SAW
عَنْ آبِى سَعِيْدٍ ن الْجُدْرِيِّ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَبِيْعُوْاالذَّهَبِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُواالْوَرِقَ بِالْوَرِقِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِقُوْابَعْضَهَاعَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُوْامِنْهَاغَائِبًابِنَاجِزٍ ( متفق عليه)
Artinya:
“ Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan muslim)
Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa kepada riba nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata

Riba Qardhi

yaitu riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu rupiah)
Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah Saw.:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبًا (رواه البيهقى)
Artinya
“Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi)


Riba Nasi’ah
ialah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,- kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain, si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa:
عَنْ سَمَرَةِ بْنِ جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ بَيْعِ الَحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً (رواه الخمسة وصححه الترمدى وابن الجاروه)
Artinya:
Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.” (Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud)


Riba Yad,


yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya. Sabda Rasulullah SAW.
الذَّ هَبُ بِالذَّهَبٍ وَاْْلفِضَّةُ بِالْفِضَّةِوَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُبِالشَّعِيْرِ وَالتَّمْرُبِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءًبِسَوَاءٍ يَدًابِيَدٍفَاِذَااَجْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلاَصْنَافُ فَبِعُوْ اكَيْفَ شِئْتُمْ اِذَاكَانَ يَدًا بِيَدٍ (رواه مسلم)
Artinya:
“Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya serupa dan sama banyaknya, tunai dengan tunai, apabila berlainan jenisnya boleh kamu menjual sekehendamu asal tunai”. (Riwayat Muslim)


D. Sebab-Sebab Diharamkannya Riba


Allah SWT melarang riba antara lain karena perbuatan tersebut dapat merusak dan membahayakan diri sendiri dan merugikan serta menyengsarakan orang lain
Merusak Dan Membayakan Diri Sendiri
Orang yang melakukan riba akan selalu menghitung – hitung yang banyak yang akan diperoleh dari orang yang meminjam uang kepadanya. Pikiran dan angan – angan yang demikian itu akan mengakibatkan dirinya selalu was – was dan khawatir uang yang telah dipinjamkan itu tidak dapat kembali tepat pada waktunya dengan bunga yang besar.
Jika orang yang melakukan riba itu memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, hasilnya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak mendapat berkah dari Allah SWT.
Merugikan Dan Menyengsarakan Orang Lain
Orang yang meminjam uang kepada orang lain pada umumnya karena sedang susah atau terdesak. Karena tidak ada jalan lain, meskipun dengan persyaratan bunga yang besar, ia tetap bersedia menerima pinjaman tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang meminjam ada kalanya bisa mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya, tetapi adakalanya tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Karena beratnya bunga pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang tersebut. Hal ini akan menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya.Haram melakukan (mempengaruhi) minat pembeli dengan maksud agar tidak membeli, kemudian disuruh membeli barang orang yang memepengaruhi tadi. Apabila sesudah barang ditetapkan (sudah sama – sama menyetujui antara penjual dan pembeli). Juga tidak boleh mempengaruhi penjual dengan maksud agar berpindah menjual kepadanya. Apabila jika dilakukan ketika masih hiyar, amat diharamkan (seperti masih tawan menawar)Haram pula membeli barang saat paceklik (harga pangan mahal) dan orang yang sangat membutuhkan bahan makanan, dengan tujuan untuk ditahan (disimpan) dan akan dijual bila dengan harga yang lebih mahalHaram berpura – pura nawar barang dengan harga mahal tapi tidak bermaksud ingin membeli tapi bermaksud membujuk orang lain (agar mau membeli dengan harga mahal)

Haram memisahkan antara budak perempuan dan anaknya sebelum tamyiz, semua itu haram. Demikian pula menipu atau berkhianat dalam urusan timbangan takaran, meteran, htungan dan atau berdusta

Haram menjual kapuk atau lainnya dari barang – barang dagangan kepada pembeli, tetapi disamping menjual juga memberi hutangnya kepada si pembeli beberapa dirham. Kemudian harga barang lebih mahal, hal ini dilakukan oleh si penjual karena demi hutangnya tersebut

Demikian juga umpamanya, memberi hutang kepada pembuat tenun (atau penjahit) atau lainnya dari pekerjaan buruh, tapi sebelum diberi hutangnya, terlebih dahulu para peminta hutang itu disuruh dengan upah yang terlalu sedikit, demi hutang tersebut. Hal ini disebut dengan istilah rubtah, ini juga amat haram.

Haram memberi hutangan kepada para petani yang bayarnya secara tempo sampai saat panen, tapi dengan janji supaya hasil panen mereka dijual kepada si pemberi utangan tersebut dengan harga dibawah harga umum. Hal ini disebut dengan muqda

E. Perbedaan antara Jual Beli dan Riba 

Jual beli dihalalkan oleh Allah Swt, sedangkan riba diharamkan.
Dalam aktifitas jual beli, antara untung dan rugi bergantung kepada kepandaian dan keuletan individu. Sedangkan dalam riba hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dalam semua aktivitasnya (Fii Dzilaalil Qur’an 1/327), tidak membutuhkan kepandaian dan kesungguhan bahkan terjadi kemandegan, penurunan dan kemalasan.
Dalam jual beli terdapat 2 kemungkinan untung atau rugi. Sedangkan dalam riba hanya ada untung dan menutup pintu rugi.
Dalam jual beli terjadi tukar menukar yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Sedangkan riba hanya memberi manfaat untuk satu pihak saja bahkan saling menzalimi atau merugikan.


E. HUKUM ISLAM TENTANG KERJA SAMA EKONOMI (SYIRKAH).

1. Pengertian Musyarakah

Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana atau amal (expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Bersabda Rasulullah yang artinya : “Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda : sesungguhnya Allah azza wajalla berfirman : Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak menghianati lainnya.”(HR Abu Daud)

Dalam bersyarikah ada 5 syarat yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut:

1) Benda (harta dinilai dengan uang)

2) Harta-harta itu sesuai dalam jenis dan macamnya

3) Harta-harta dicampur

4) Satu sama lain membolehkan untuk membelanjakan harta itu

5) Untung rugi diterima dengan ukuran harta masing-masing.

Ada dua jenis musyarakah yakni musyarakah pemilikan dan musyarakah akad (kontrak)

1) Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih, berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula keuntungan yang dihasilkan oleh aset tersebut.

2) Musyarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah.


F. MUDARABAH (BAGI HASIL)

Mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (sahibul mal) menyediakan seluruh (100 %) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Secara umum landasan dasar syariah mudarabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat dan hadis berikut ini. Allah berfirman dalam surat al-Muzammil yang artinya : “… dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT…” (Al Muzammil : 20)

Adanya kata yadribun pada ayat diatas dianggap sama dengan akar kata mudarabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha. Surah tersebut mendorong kaum muslim untuk melakukan upaya atau usaha yang telah diperintahkan Allah SWT.

1. Jenis-jenis mudarabah

Secara umum, mudarabah terbagi menjadi dua jenis yakni mudarabah mutlaqah dan mudarabah muqayyadah.

a. Mudarabah mutlaqah

Mudarabah mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara pemilik modal (sahibul mal) dan pengelola (mudarib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.

b. Mudarabah Muqayyadah

Mudarabah muqayyadah adalah kebalikan dari mudarabah mutlaqah. Si Mudarib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha.

Mudarobah yang berkaitan dengan dunia Pertanian ialah :

Musaqah, Muzaraah, dan Mukhabarah

a. Musaqah (paroan kebun)

Yang dimaksud musaqah adalah bentuk kerja sama dimana orang yang mempunyai kebun memberikan kebunnya kepada orang lain (petani) agar dipelihara dan penghasilan yang didapat dari kebun itu dibagi berdua menurut perjanjian sewaktu akad

Musaqah dibolehkan oleh agama karena banyak orang yang membutuhkannya. Ada orang yang mempunyai kebun, tapi dia tidak dapat memeliharanya. Sebaliknya, ada orang yang tidak mempunyai kebun, tapi terampil bekerja. Musaqah memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak yakni pemilik kebun dan pengelola sehingga sama-sama memperoleh hasil dari kerja sama tersebut. Hadis menjelaskan sebagai berikut yang artinya : “Dari Ibnu Umar: Sesungguhnya nabi Muhammad SAW telah memberikan kebun beliau kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian, mereka akan diberi sebagian dari penghasilannya, baik dari buah-buahan atau hasil petani (palawija).” (HR Muslim)

b. Muzaraah

Muzaraah adalah kerjasama dalam pertanian berupa paroan sawah atau ladang seperdua atau sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan benih(bibit tanaman)nya dari pekerja (petani). Zakat hasil paroan ini diwajibkan atas orang yang punya benih. Oleh karena itu, pada muzaraah zakat wajib atas petani yang bekerja karena pada hakekatnya dialah (si petani) yang bertanam, yang mempunyai tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya, sedangkan pengantar dari sewaan tidak wajib mengeluarkan zakatnya.

c. Mukhabarah

Mukhabarah kerjasama dalam pertanian berupa paroan sawah atau ladang seperdua atau sepertiga atau lebih atau kurang, sedangkan benihnya dari pemilik sawah/ladang. Adapun pada mukhabarah, zakat diwajibkan atas yang punya tanah karena pada hakekatnya dialah yang bertanam, sedangkan petani hanya mengambil upah bekerja. Penghasilan yang didapat dari upah tidak wajib dibayar zakatnya. Kalau benih dari keduanya, zakat wajib atas keduanya yang diambil dari jumlah pendapatan sebelum dibagi. Hukum kerja sama tersebut diatas diperbolehkan sebagian besar para sahabat, tabi’in dan para imam


G. PERBANKAN YANG SESUAI DENGAN PRINSIP HUKUM ISLAM


Lahirnya ekonomi Islam di zaman modern ini cukup unik dalam sejarah perkembangan ekonomi. Ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi-ekonomi yang lain karena lahir atau berasal dari ajaran Islam yang mengharamkan riba dan menganjurkan sedekah. Kesadaran tentang larangan riba telah menimbulkan gagasan pembentukan suatu bank Islam pada dasawarsa kedua abad ke-20 diantaranya melalui pendirian institusi sebagai berikut.

1. Bank Pedesaan (Rural Bank) dan Bank Mir-Ghammar di Mesir tahun 1963 atas prakarsa seorang cendikiawan Mesir DR. Ahmad An Najjar

2. Dubai Islamic Bank (1973) di kawasan negara-negara Emirat Arab

3. Islamic Development Bank (1975) di Saudi Arabia

4. Faisal Islamic Bank (1977) di Mesir

5. Kuwait House of Finance di Kuwait (1977)

6. Jordan Islamic Bank di Yordania (1978)

Bank non Islam yang disebut juga bank konvensional adalah sebuah lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan usaha guna investasi dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga.

Sedangkan Bank Islam yang dikenal dengan Bank Syariah adalah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan operasinya menurut hukum (syariat) Islam dan tidak memakai sistem bunga karena bunga dianggap riba yang diharamkan oleh Islam. (QS Al Baqarah : 275-279)

Sebagai pengganti sistem bunga, Bank Islam menggunakan berbagai cara yang bersih dari unsur riba, antara lain sebagai berikut.

1. Wadiah atau titipan uang, barang, dan surat berharga atau deposito.

2. Mudarabah .

3. Syirkah (perseroan).

4. Murabahah

5. Qard hasan (pinjaman yang baik atau benevolent loan).

Bank syariah pertama yang beroperasi di Indonesia adalah PT. Bank Muamalat Indonesia (BMI) berdiri pada tanggal 1 mei 1992.


H. SISTEM ASURANSI YANG SESUAI DENGAN PRINSIP HUKUMISLAM


Asuransi pada umumnya, termasuk asuransi jiwa, menurut pandangan Islam adalah termasuk masalah ijtihadiyah. Artinya, masalah tersebut perlu dikaji hukumnya karena tidak ada penjelasan yang mendalam didalam Al Qur’an atau hadis secara tersurat. Para imam mazhab seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad dan ulama mujtahidin lainnya yang semasa dengan mereka (abad II dan III H atau VIII dan IX M) tidak memberi fatwa hukum terhadap masalah asuransi karena hal tersebut belum dikenal pada waktu itu. Sistem asuransi di dunia Islam baru dikenal pada abad XIX M, sedangkan di dunia barat sudah dikenal sejak sekitar abad XIV M,.

Kini umat Islam di Indonesia dihadapkan kepada masalah asuransi dalam berbagai bentuknya (asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, dan asuransi kesehatan) dan dalam berbagai aspek kehidupannya, baik dalam kehidupan bisnis maupun kehidupan keagamaannya.

Dikalangan ulama dan cendikiawan muslim ada empat pendapat tentang hukum asuransi, yakni sebagai berikut.
Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya sekarang ini, termasuk asuransi jiwa
membolehkan semua asuransi dalam praktiknya sekarang ini.
Membolehkan aasuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial
menganggap syubhat

Ketika mengkaji hukum Islam tentang asuransi, sudah tentu harus dilakukan dengan menggunakan metode ijtihad yang lazim digunakan oleh mejtahidin dahulu. Diantara metode ijtihad yang mempunyai banyak peranan di dalam mengistinbatkan (mencari dan menetapkan hukum) terhadap masalah-masalah baru yang tidak ada nasnya dalam Al Qur’an dan hadis adalah maslahah mursalah atau istislah (public good) dan qyas (analogical reasoning).

Dalam buku Hukum Asuransi di Indonesia ditulis oleh Vide Wirjono Prodjodikoro, menjelaskan, menurut pasal 246 Wet Boek Van Koophandel (Kitab Undang-undang perniagaan), bahwa asuransi pada umunya adalah suatu bentuk persetujuan dimana pihak yang menjamin berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.

Adapun asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melaui investasi dalam bentuk aset atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalu akad (perikatan) yang sesuai Syariah

Ada beberapa sumber yang dijadikan rujukan bagi berlangsungnya sistem asuransi tersebut, diantaranya adalah hadis Nabi Muhammad SAW “Seorang mukmin dengan mukmin lainnya dalam suatu masyarakat ibarat satu bangunan, dimana tiap bangunan saling mengokohkan satu sama lain.” (HR Bukhari danMmuslim)

Secara operasional, asuransi yang sesuai dengan Syariah memiliki sistem yang mengandung hal-hal sebagai berikut.

1. Mempunyai akad takafuli (tolong menolong) untuk memberikan santunan atau perlindungan atas musibah yang akan datang

2. Dana yang terkumpul menjadi amanah pengelola dana. Dana tersebut diinvestasikan sesuai dengan instrumen Syariah seperti mudarabah, wakalah, wadi’ah dan murabahah.

3. Premi memiliki unsur tabaru’ atau mortalita (harapan hidup)

4. Pembebanan biaya operasional ditanggung pemegang polis, terbatas pada kisaran 30 % dari premi sehingga pembentukan pada nilai tunai cepat terbentuk pada tahun pertama yang memiliki nilai 70 % dari premi.

5. dari rekening tabaru’ (dana kebajikan seluruh peserta) sejak awal sudah dikhlaskan oleh peserta untuk keperluan tolong menolong bila terjadi musibah.

6. Mekanisme pertanggungan pada asuransi Syariah adalah sharing of risk. Apabila terjadi musibah semua peserta ikut (saling) menanggung dan membantu

7. Keuntungan (profit) dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil (mudarabah),atau dalam akad tabarru’ dapat berbentuk hadiah kepada peserta dan ujrah (fee) kepada pengelola.

8. Mempunyai misi akidah, sosial serta mengangkat perekonomian umat Islam atau misi iqtisadi


I. SISTEM LEMBAGA KEUANGAN NON BANK YANG SESUAI DENGAN PRINSIP HUKUM ISLAM
Sistem lembaga keuangan non Bank yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam antara lain adalah sebagai berikut.

1. Koperasi

Koperasi mempunyai dua fungsi, yakni :

1. Fungsi ekonomi dalam bentuk kegiatan-kegiatan usaha ekonomi yang dilakukan koperasi untuk meringankan beban hidup sehari-hari para anggotanya dan

2. Fungsi soisal dalam bentuk kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan secara gotong royong atau dalam bentuk sumbangan berupa uang yang berasal dari bagian laba koperasi disishkan untuk tujuan-tujuan sosial, misalnya untuk mendirikan sekolah atau tempat ibadah. BMT (Baitul Mal wat Tamwil)


J. PERILAKU YANG MENCERMINKAN KEPATUHAN TERHADAP HUKUM ISLAM TENTANG KERJASAMA
Ekonomi Islam di Indonesia hingga saat ini mengalami perkembangan yang signifikan. Hal ini ditandai dengan maraknya kajian-kajian ekonomi Syariah, banyaknya lembaga keuangan yang berorientasi Syariah serta semakin tingginya kesadaran masyarakat Indonesia dalam menerapkan kerjasama ekonomi berdasarkan Syariah. Ada beberapa aspek perilaku yang harus mencerminkan kepatuhan terhadap hukum Islam di segala aspek kehidupan, khusunya tentang kerja sama ekonomi Islam yaitu sebagai berikut.

1. Tanggung Jawab

2. Tolong Menolong

3. Adil

4. Amanah/jujur



BAB III 

KESIMPULAN 

Muamalah adalah Hukum Islam yang berkaitan dengan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain , atau antara seseorang dengan badan hukum , atau antara badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lainnya .

Semoga asas-asas transaksi ekonomi Islam dapat diterapkan dalam jual beli serta kerja sama ekonomi yang Islami .

Demikianlah beberapa hal yang menyangkut Hukum Islam tentang Muamalah.

Oleh karena kurangnya literatur, dan waktu yang sangat terbatas, maka makalah yang sederhana ini banyak kekurangannya. Oleh karena itu, saran-saran yang bersifat membangun dalam penyempurnaan makalah ini sangat diharapkan .


N.B : Untuk mendapatkan file diatas, silahkan klik DISINI

No comments:

Post a Comment