Wednesday, May 13, 2020

Hukum Lingkungan ( Peran serta masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup )


Peran serta masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup 
Hak berperan serta semakin luas tersebar dalam segala bidang pengelolaan lingkungan. Pasal 37 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Pemukiman; pasal 24 UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera; pasal 52 UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem budidaya Tanaman; pasal 29 UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Kehutanan serta Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Semua perumusan pasal-pasal diatas pada prinsipnya memberikan hak kepada masyarakat baik perorangan, organisasi maupun lembaga swadaya masyarakat untuk berperan serta dalam bidang-bidang di atas Tiga wilayah peran serta masyarakat yakni;
(1) pada wilayah pengambilan keputusan (decision making) dalam hal penyusunan propenas, legislasi, properda, APBN, APBD, penataan ruang, perizinan konsensi, AMDAL dengan tujuan memberikan pengaruh pada keputusan (influence) metode yang dapat digunakan dengar pendapat, konsultasi public, notofikasi public untuk mengundang masukan public;
(2) wilayah pelaksanaan (support) dalam hal keikutsertaan masyarakat dalam kepemilikan usaha/konsensi tertentu, keikutsertaan melaksanakan program-program Negara yang telah diputuskan secara partisipatif. Tujuan mendapatkan manfaat dari keputusan (benefit) peran serta masyarakat dalam desain, pelaksanaan dan evaluasi program;
(3) wilayah pengawasan (evaluation) antara lain kegiatan pemantauan masyarakat terhadap ketaatan tata ruang yang disepakati, pengawasan terhadap pelaksanaan sebuah peraturan perundang-undangan, pengawasan terhadap tingkat ketaatan terhadap persyaratan izin dan RKL, RPL, AMDAL. Tujuan tersebut menjaga tingkat ketaatan (compliance), metode dalam hal pengawasan tersebut adalah keterlibatan dalam tim/komite pengawas/pemantauan bersama, permintaan masyarakat untuk melaksanakan sanksi administrasi, permintaan public tentang laporan penataan, litigasi dapat melalui prosedurstanding LSM, Citizen Suit atau Class Action.

Hak dan Kewajiban dalam informasi 
Jika diamati, maka hak – hak dan kewajiban yang diberikan UUPLH 1997 selain lebih tegas [ eksplisit ] juga lebih ekstentif dibandingkan dengan apa yang diatur oleh UUPLH 1982. Prinsip – prinsip yang belum tegas diatur dalam UUPLH 1982, misalnya mengenai hak partisipatif masyarakat yang bersifat luas dalam pembangunan lingkungan, yang dalam UUPLH 1997 dirumuskan secara tegas [ ayat 1 ] dan secara elaboratif [ ayat 2 ].
Hal yang sama juga berlaku pada hak dan kewajiban informasi.
Menurut UUPLH 1997, hal ini diatur secara tegas sebagai hak individual dalam pengelolaan lingkungan [Pasal 5 ayat 2], serta menjadi kewajiban bagi pelaku usaha untuk memberikan informasi yang sebaik – baiknya yang dapat dilihat dalam Pasal 6 ayat 2, yang menyatakan bahwa: 
“Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.”
Implementasi prinsip di atas, yang dapat di lihat misalnya dalam UU No 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang [ UUTR ], dalam pasal 4 ditentukan bahwa setiap orang berhak mengetahui Rencana Tata Ruang, dan berperan serta dalam penyusunaan Rencana Tata Ruang, pemanfaatan tata ruang, dan pengendalian manfaat tata ruang.  Peran serta masyarakat, baik menyangkut hak dan kewajibannya dalam masalah tata ruang telah diiatur dalam PP No.69 Tahun 1996 tentang pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta bentuk dan tata cara Peran serta Masyarakat dalam penataan ruang. Keperansertaan masyarakat menyangkut pemeliharaan kualitas ruang, hak dan kewajiban, serta menyangkut ketatatertiban proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan, dan pengendalian tata ruang, serta penataan rencana tata ruang. 
Manajemen informasi penting bagi semua pihak, termasuk masyarakat, karena dengan adanya arus informasi, sistem pengambilan keputusan akan semakin sempurna, terutama yang menyangkut aspek-aspek pengelolaan lingkungan. Pemberian informasi yang benar adalah prasyarat bagi keperansertaan masyarakat (public participation) dalam rangka pengambilan keputusan, yakni dalam hal : 
  • Yang berkaitan dengan informasi, masyarakat memiliki hak untuk menyatakan pendapat sesuai dengan kepentingannya ( misalnya dalam suatu rencana kegiatan atau pemberian izin untuk melakukan kegiatan, masyarakat dapat menolaknya karena akan merusak lingkungan, menerima dengan syarat tertentu, bahkan berperan sebagai penyokong jika kegiatan itu dipandang bersifat positif ); 
  • Masyarakat dapat memberikan konstribusinya untuk berpatisipasi melakukan pengelolaan lingkungan; 
  • Masyarakat dapat memahami apa yang menjadi kewajibannya atas suatu pengelolaan lingkungan; 
  • Dalam sistem amdal khususnya, prisip pemberian informasi yang benar dan akurat kepada masyarakat merupakan syarat mutlak, yang untuk selanjutnya masyarakat dapat menentukan sikapnya terhadap suatu rencana kegiatan. 


Karena pentingnya informasi, maka hampir semua negara maju menata informasi dengan sistem manajemen yang sebaik-baiknya (modern management system). Disadari atau tidak, dewasa ini informasi sudah merupakan sumber daya pokok untuk semua aspek kehidupan. Mulai dari aspek-aspek manajemen teknologi-pembangunan, ekonomi, sosial, pendidikan, kehidupan bermasyarakat, hingga pengembangan budaya, adat istiadat, agama dan lainnya.
Semua hal itu sesuai dengan apa yang dikatakan oleh John Naisbit bahwa semua dunia dapat disatukan menjadi bagian kecil karena teknologi informasi. Tidak ada lagi yang tertutup, dan semua ketertututpan data atau kondisi dapat disingkap untuk dikelola, diperbaiki, dikendalikan, dikembangkan, dan diresikel (daur ulang), tidak terkecuali dalam masalah-masalah pengelolaan lingkungan. 
Begitu pentingnya sumber daya informasi bagi lingkungan hidup menyebabkan masyarakat Eropa pada 25 Juni 1998 Di Aarhus, Denmark, berhasil membentuk sebuah konvensi tentang akses informasi partisipasi publik dalam pengambilan keputusan dan akses keadilan masalah lingkungan. Konvensi itu lazim disebut dengan Aarhus Convention, yang nama resminya adalah Convention on Acces to Information, Public Participation in Decision Making and Access to Justices in Environmental Matters. 
Sasaran atau tujan dari konvensi ini adalah membberikan perlindungan atas hak-hak dari setiap orang pada masa kini dan mendatang untuk mendapatkan kehidupan dalam lingkungan yang layak secara sehat dan baik. Oleh karena itu, setiap negara peserta harus menjamin hak-hak akses atas informasi, menjamin adanya kesempatan bagi masyarakat berpatisipasi dalam pengambilan keputusan, dan adanya akses keadilan dalam masalah-masalah lingkungan (access to justice in environmental matters). 
Berkaitan dengan isu lingkungan, maka pemberian informasi diatur sedemikian rupa dengan sistem –sistem seperti dibawah ini : 
1. Adanya kepastian penerimaan informasi, dimana badan-badan tertentu diwajibkan memberikan pengumuman atas rencana kegiatan melalui media massa, baik lokal, regional, maupun nasional. Badan-badan itu bahkan diwajibkan untuk melakukan pameran dari rencana kegiatan (proyek) secara lengkap. 
2. Adanya informasi lintas batas terhadap laut bebas, atau wilayah yang tidak bernaung dibawah yurisdiksi nasional. Deplu, Council on Environmental Quality, dan badan-badan federal lainnya diwajibkan untuk menyediakan keterangan yang kontinu mengenai lingkungan, dan bagaimana negara lain diberitahu tentang dampak kegiatan tersebut. 
3. Adanya informasi tepat waktu (timely information), yakni informasi diberikan pada saat belum diambil suatu keputusan yang mengikat serta masih ada kesempatan untuk mengusulkan keputusan alternatif. 
4. Pemberian informasi yang lengkap (comprehensive information). Hal ini ditentukan dalam rangka peran serta masyarakat, supaya masyarakat diberikan informasi yang lengkap dan diatur dalam peraturan perundang-undangan. 
5. Adanya informasi yang dapat dipahami (comprahensive information), yakni keterangan-keterangan yang diinformasikan hendaknya dapat dipahami masyarakat. 
Di Australia terdapat undang-undang yang melindungi warga negara masyarakat yang memberi informasi mengenai perbuatan kriminal, termasuk dalam lingkungan. Undang-undang ini disebut sebagai Whistle Blower Protection Act 1993 (No.21 of 1993), yang bukan saja mengatur mengenai pelindungan para pelapor, tetapi juga memberikan jaminan keamanan bagi setiap orang yang bertindak menjadi saksi. 
Di Amerika Serikat, berdasarkan UUPLH-nya, yakni NEPA 1970, ditentukan supaya diumumkan kepada masyarakat tentang penyusunan Amdal (EIA), dan kepada setiap orang yang menjadi calon terkena dampak harus dikirim pengumuman tersbut, demikian juga kepada LSM. 
Di Perancis, yang telah dimulai dengan UUPLH-nya, yakni French Nature Protection law 1976, informasi kepada masyarakat diberikan dengan cara public hearing, atau dapat dilakukan dengan mempublikasikannya dalam media cetak yang berjangkauan luas. Hal yang sama juga dianut oleh Jerman, Australia, dan Swiss, terutama dalam perizinan.

Pengakuan atas Hak-hak Lingkungan Hidup Baik
UUPPLH, UUPLH 1997 dan UULH 1982 sama-sama memuat hak-hak setiap orang dalam kaitannya dengan lingkungan hidup. Tetapi jika dibandingkan antara ketiganya, UUPPLH memmuat hak-hak lebih banyak daripada UUPLH 1997 dan UULH 1982. Ada delapan hak yang diakui dalam UUPPLH, yaitu : 
  1. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai hak asasi manusia; 
  2. Hak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup; 
  3. Hak akses informasi; 
  4. Hak akses partisipasi; 
  5. Hak mengajukan usul atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegaiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup; 
  6. Hak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; 
  7. Hak untuk melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan lingkungan hidup; dan 
  8. Hak untuk tidak dapat dituntut secara pidan dan perdata dalam memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat. 

Diantara kedelapan hak itu ada hak substantif (substantive right to environmental quality) dan hak prosedural (procedural right). Hak atas lingkungan hidupyang baik dan sehat merupakan hak substantif, sedangkan hak akses informasi, hak akses partisipasi, hak berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan termasuk kedalam hak-hak prosedural.
Perkembangan penting dan baru adalah hak yang dirumuskan dalam pasal 66 UUPPLH, yaitu hak setiap orang untuk tidak dapat dituntut secara pidan dan perdata. Penegasan pengakuan atas keberadaan hak untuk tidak dituntut dilatarbelakangi oleh adanya kasus warga yang melaporkan terjadinya pencemaran lingkungan justru kemudian dituntut atau digugat balik oleh pihak yang diduga telah melakukan pencemaran. Fakta ini tentu dapat membuat orang enggan untuk menyuarakan hak-haknya dan terjadinya masalah lingkungan karena ia dapat dijadikan sasaran penuntutan atau gugatan. 
UUPLH 1997 mengakui adanya tiga jenis hak lingkungan hidup (environmental rights), yaitu : Hak atas lingkungan hidupyang baik dan sehat; hak atas informasi lingkungan hidup; dan hak untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Sebaliknya, dalam UULH 1982 tidak ditentukan ditemukan adanya hak atas informasi lingkungan hidup. Dalam UULH 1997, hak substantif lingkungan hidup dirumuskan dalam pasal 5 ayat (1), yaitu : 
“ Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” 
Dalam kepustakaan ilmu hukum di Eropa Kontinen, hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 65 ayat (1) UUPPLH dan pasal 5 ayat 1 UUPLH 1997 itu, digolongkan sebagai hak-hak subjektif (subjective rights). Menurut Heinhard Steiger, sebagaimana dikutip dalam Koesnadi Hardjasoemantri, adanya hak-hak subjktif itu mengandung dua fungsi yakni; fungsi pertama mengandung pengakuan hak setiap orang untuk mencegah terjadinya gangguan terhadap lingkungannya. Fungsi kedua mengakui adanya hak setiap orang untuk menuntut si pencemar atau perusak lingkungan agar memulihkan atau memperbaiki lingkungan.

Kesimpulan 
Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapatlah kiranya disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 
1. Masalah lingkungan hidup merupakan kewajiban asasi manusia untuk dikelola sebagaimana mestinya menurut amanah Tuhan Yang Maha Esa, sehingga setiap manusia baik secara langsung maupun tidak langsung bertanggung jawab terhadap kelangsungan lingkungan hidup. Oleh karena itu peran serta masyarakat dalam menciptakan lingkungn hidup juga berkait erat dengan kewajiban untuk menjaga lingkungan itu sendiri. 
2. Bahwa setiap orang adalah bagian dari masyarakat dan masyarakat memiliki hak, kewajiban dan peran yang sama dalam pengelolaan lingkungan, tanpaterkecuali masyarakat desa, pelosok maupun kota, karena ruang lingkup lingkungan bukan hanya ditempat-tempat
tertentu saja namun seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan masyarakat akan efektif sekali jika perannya dalam mengontrol pengelolaan lingkungan yang ada bisa diwujudkan. 
3. Bahwa setiap orang adalah bagian dari masyarakat dan masyarakat memiliki hak, kewajiban dan peran yang sama dalam pengelolaan lingkungan, tanpa terkecuali masyarakat desa, pelosok maupun kota, karena ruang lingkup lingkungan bukan hanya ditempat-tempat tertentu saja namun seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan masyarakat akan efektif sekali jika perannya dalam mengontrol pengelolaan lingkungan yang ada bisa diwujudkan.

Contoh Pengelolaan Lingkungan Hidup 
Tentang Peran masyarakat dalam perlindungan Hidup Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, adalah sebagai contoh beberapa perilaku yang bijak saat dalam hutan adalah : 
1. Tidak mencoret-coret batang pohon dan bebatuan yang ada dihutan. Perilaku mencoret-coret pohon dan bebatuan selain merusak keindahan hutan, juga dapat menyakiti pohon. Kenapa ? karena tindakan ini dapat menutupi stomata (tempat keluar masuknya udara, yakni CO2 dan O2) yang secara tidak langsung akan mengganggu pertukaran udara dari sel tumbuhan ke lingkungan dan sebaliknya. 
2. Tidak menangkap, melukai, dan membunuh hewan penghuni hutan. Erilaku mengganggu hewan (satwa) yang hidup liar dihutan meskipun binatang tersebut bukan termasuk hewan langka dan dilindungi dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. 
3. Saat berkemah dihutan, mempergunakan tempat yang telah tersedia, atau jika tidak tersedia tempat berkemah, pergunakanlah bagian hutan yang agak lapang dan datar tanpa perlu menebang pohon, sekalipun hanya semak, perdu atau pohon kecil. 
4. Tidak meninggalkan puntung rokok yang belum benar-benar mati. Meskipun hanya bara kecil tetapi untung rokok bisa menjadi salah satu penyebab kebakaran hutan, terutama saat musim kemarau. 
5. Tidak meninggalkan sampah, terutama sampah anorganik seperti plastik dan kaleng.
Sikap dan perilaku bijak didalam hutan ini terlihat sederhana dan kecil namun memberikan manfaat yang besar bagi kelestarian alam dan hutan. Dengan perilaku bijak seperti ini berarti kita mampu menikmati tanpa menyakiti.




No comments:

Post a Comment