Hukum Perdata ( Perjanjian Perkawinan, Akibat Perjanjian Kawin dan Isi Perjanjian Kawin )
Hukum Perdata :
Perjanjian Perkawinan
Perjanjian
perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan No. I Tahun 1974.
Perjanjian
Perkawinan adalah: Perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/istri mengenai
kedudukan harta setelah mereka melangsungkan pernikahan.
Menurut
KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta
asal maupun harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali ada perjanjian
perkawinan.
UU
Perkawinan No. I Tahun 1974 mengenai 2 (dua) macam harta perkawinan, yaitu:
- Harta
asal/harta bawaan
- Harta
bersama (Pasal 35)
Harta
asal adalah harta yang dibawa masing-masing suami/istri ke dalam perkawinan, di
mana pengurusannya diserahkan pada masing-masing pihak.
Harta
bersama adalah harta yang dibentuk selama perkawinan.
Berbeda
dengan yang ada dalam KUHPerdata, dalam UU Perkawinan No. I Tahun 1974, adanya
perkawinan harta itu tidak bersatu tetap dibedakan antara harta asal dan harta
bersama.
Dengan
adanya perjanjian perkawinan, maka harta asal suami istri tetap terpisah dan
tidak terbentuk harta bersama, suami istri memisahkan harta yang didapat
masing-masing selam perkawinan. Dalam penjelasan pasal 29 disebutkan bahwa
tak’ilik-talak tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian
perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung.
Perjanjian
perkawinan itu harus dibuat secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak
yang disahkan Pencatat Perkawinan. Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan, maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersebut tersangkut.
Perjanjian
perkawinan itu dimulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh
dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak
merugikan pihak ketiga yang tersangkut.
Hukum Perdata : Akibat
Hukum Perkawinan
Dengan
adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta
kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
a. Akibat
Perkawinan Terhadap Suami istri
Suami
istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
Hak
dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat
(Pasal 31 ayat (1)).
- .Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum (ayat 2).
- Suami
adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
- Suami
istri menentukan tempat kediaman mereka.
- Suami
istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.
- Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
- Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
- Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan
b. Timbul
harta bawaan dan harta bersama.
Suami
atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk
melakukan perbuatan hokum apapun.
Suami
atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hokum
terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).
c. Akibat
Perkawinan Terhadap Anak
Kedudukan anak
- Anak
yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)
- Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan
ibunya dan kerabat ibunya saja.
Hak dan kewajiban antara orang tua
dan anak
- Kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut
kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).
- Anak
wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
- Anak
yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke
atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).
- Kekuasaan
orang tua
- Anak
yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan
orang tua.
- Orang
tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
- Orang
tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar
pengadilan.
- Orang
tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin
9. Kekuasaan
orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila:
- sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak
- berkelakuan buruk sekali
- Meskipun
orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya
pemeliharaan kepada anaknya.
Sedang
yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah:
Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah
dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan.
Isi
kekuasaan orang tua adalah:
- Kewenangan
atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya.
- Kewenangan
untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hokum di dalam maupun di luar
pengadilan.
- Kekuasaan
orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya.
- Kekuasaan
orang tua berakhir apabila:
- Anak
itu dewasa
- Anak
itu kawin
- Kekuasaan
orang tua dicabut
Isi Perjanjian Kawin
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak memuat aturan
mengenai isi perjanjian kawin. UU Perkawinan hanya menentukan bahwa isi
perjanjian kawin tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
Dengan demikian sesuai dengan pendapat Mahkamah Agung, isi KUH Perdata
(Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang mengatur mengenai
perkawinan dipandang masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU
Perkawinan.
KUH
Perdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan isi perjanjian
kawin. Namun perjanjian kawin tersebut harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan
berikut:
Tidak memuat janji-janji yang
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Perjanjian
kawin tidak boleh:
- Mengurangi
hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai suami, yaitu hak suami untuk
menentukan tempat kediaman atau hak suami untuk mengurus kebersamaan harta
perkawinan.
- Mengurangi
hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua.
- Mengurangi
hak-hak yang ditentukan oleh undang-undang bagi suami atau istri yang hidup
terlama.
- Tidak
dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan keluarga
sedarah mereka dalam garis ke bawah.
- Tidak
dibuat janji-janji bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar
daripada bagiannya dalam aktiva.
- Tidak
dibuat janji dengan kata-kata umum, bahwa harta perkawinan mereka akan diatur
oleh undang-undang negara asing dan peraturan yang pernah berlaku di Indonesia
atau di Nederland, maupun oleh hukum adat.
Di
dalam undang-undang hanya terdapat 2 macam pembatasan terhadap kebersamaan
harta kekayaan, yaitu:
- Kebersamaan
untung dan rugi. Ini berarti suami dan istri masing-masing memiliki harta
bawaan, yaitu harta yang dimiliki sebelum perkawinan, serta hibah, hibah wasiat
dan pewarisan yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan harta benda lain dan
hutang-hutang yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi milik bersama.
- Kebersamaan
hasil dan pendapatan. Perjanjian kawin model ini mirip dengan kebersamaan
untung dan rugi. Namun apabila ada kerugian yang terjadi dalam perkawinan, maka
hanya suami yang menanggungnya. Sedangkan istri dibebaskan dari kerugian
tersebut.
- Meskipun demikian, di Indonesia pada umumnya isi perjanjian kawin adalah untuk meniadakan sama sekali kebersamaan harta.
Sumber :
Berbagai Sumber

No comments:
Post a Comment