Wednesday, May 13, 2020

Hukum Perdata ( Perjanjian Perkawinan, Akibat Perjanjian Kawin dan Isi Perjanjian Kawin )



Hukum Perdata : Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan No. I Tahun 1974.
Perjanjian Perkawinan adalah: Perjanjian yang dilakukan oleh calon suami/istri mengenai kedudukan harta setelah mereka melangsungkan pernikahan.
Menurut KUHPerdata dengan adanya perkawinan, maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal maupun harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali ada perjanjian perkawinan.
UU Perkawinan No. I Tahun 1974 mengenai 2 (dua) macam harta perkawinan, yaitu:
  1. Harta asal/harta bawaan
  2. Harta bersama (Pasal 35)

Harta asal adalah harta yang dibawa masing-masing suami/istri ke dalam perkawinan, di mana pengurusannya diserahkan pada masing-masing pihak.
Harta bersama adalah harta yang dibentuk selama perkawinan.
Berbeda dengan yang ada dalam KUHPerdata, dalam UU Perkawinan No. I Tahun 1974, adanya perkawinan harta itu tidak bersatu tetap dibedakan antara harta asal dan harta bersama.
Dengan adanya perjanjian perkawinan, maka harta asal suami istri tetap terpisah dan tidak terbentuk harta bersama, suami istri memisahkan harta yang didapat masing-masing selam perkawinan. Dalam penjelasan pasal 29 disebutkan bahwa tak’ilik-talak tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan itu dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan berlangsung.
Perjanjian perkawinan itu harus dibuat secara tertulis atas persetujuan kedua belah pihak yang disahkan Pencatat Perkawinan. Apabila telah disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, maka isinya mengikat para pihak dan juga pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersebut tersangkut.
Perjanjian perkawinan itu dimulai berlaku sejak perkawinan berlangsung dan tidak boleh dirubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak dengan syarat tidak merugikan pihak ketiga yang tersangkut.

Hukum Perdata : Akibat Hukum Perkawinan
Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan akibat baik terhadap suami istri, harta kekayaan maupun anak yang dilahirkan dalam perkawinan.
a.    Akibat Perkawinan Terhadap Suami istri
Suami istri memikul tanggung jawab yang luhur untuk menegakan rumah tangga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 30).
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat (Pasal 31 ayat (1)).
  1. .Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hokum (ayat 2).
  2. Suami adalah kepala keluarga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
  3. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka.
  4. Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, saling setia.
  5. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai dengan kemampuannya.
  6.  Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya.
  7. Akibat Perkawinan Terhadap Harta Kekayaan

b.   Timbul harta bawaan dan harta bersama.
Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap harta bawaan untuk melakukan perbuatan hokum apapun.
Suami atau istri harus selalu ada persetujuan untuk melakukan perbuatan hokum terhadap harta bersama (Pasal 35 dan 36).

c.    Akibat Perkawinan Terhadap Anak
Kedudukan anak
  1. Anak yang dilahirkan dalam perkawinan adalah anak yang sah (Pasal 42)
  2. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan kerabat ibunya saja.

Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak
  1. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya sampai anak-anak tersebut kawin dan dapat berdiri sendiri (Pasal 45).
  2. Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendaknya yang baik.
  3. Anak yang dewasa wajib memelihara orang tua dan keluarga dalam garis keturunan ke atas sesuai kemampuannya, apabila memerlukan bantuan anaknya (Pasal 46).
  4. Kekuasaan orang tua
  5. Anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin ada di bawah kekuasaan orang tua.
  6. Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
  7. Orang tua dapat mewakili segala perbuatan hokum baik di dalam maupun di luar pengadilan.
  8. Orang tua tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah kawin

9.      Kekuasaan orang tua bisa dicabut oleh pengadilan apabila:
  1. sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak
  2. berkelakuan buruk sekali 
  3. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.

Sedang yang dimaksud dengan kekuasaan orang tua adalah:
Kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu terhadap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
Isi kekuasaan orang tua adalah:
  1. Kewenangan atas anak-anak baik mengenai pribadi maupun harta kekayaannya.
  2.  Kewenangan untuk mewakili anak terhadap segala perbuatan hokum di dalam maupun di luar pengadilan.
  3. Kekuasaan orang tua itu berlaku sejak kelahiran anak atau sejak hari pengesahannya.
  4. Kekuasaan orang tua berakhir apabila:
  5. Anak itu dewasa
  6. Anak itu kawin
  7. Kekuasaan orang tua dicabut

Isi Perjanjian Kawin
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) tidak memuat aturan mengenai isi perjanjian kawin. UU Perkawinan hanya menentukan bahwa isi perjanjian kawin tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Dengan demikian sesuai dengan pendapat Mahkamah Agung, isi KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) yang mengatur mengenai perkawinan dipandang masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU Perkawinan.
KUH Perdata memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan isi perjanjian kawin. Namun perjanjian kawin tersebut harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan berikut:
Tidak memuat janji-janji yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
Perjanjian kawin tidak boleh:
  1. Mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan suami sebagai suami, yaitu hak suami untuk menentukan tempat kediaman atau hak suami untuk mengurus kebersamaan harta perkawinan.
  2. Mengurangi hak-hak yang timbul dari kekuasaan orang tua.
  3. Mengurangi hak-hak yang ditentukan oleh undang-undang bagi suami atau istri yang hidup terlama.
  4. Tidak dibuat janji-janji yang mengandung pelepasan hak atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke bawah.
  5. Tidak dibuat janji-janji bahwa salah satu pihak akan memikul hutang lebih besar daripada bagiannya dalam aktiva.
  6. Tidak dibuat janji dengan kata-kata umum, bahwa harta perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang negara asing dan peraturan yang pernah berlaku di Indonesia atau di Nederland, maupun oleh hukum adat.

Di dalam undang-undang hanya terdapat 2 macam pembatasan terhadap kebersamaan harta kekayaan, yaitu:
  1. Kebersamaan untung dan rugi. Ini berarti suami dan istri masing-masing memiliki harta bawaan, yaitu harta yang dimiliki sebelum perkawinan, serta hibah, hibah wasiat dan pewarisan yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan harta benda lain dan hutang-hutang yang diperoleh selama perkawinan akan menjadi milik bersama.
  2. Kebersamaan hasil dan pendapatan. Perjanjian kawin model ini mirip dengan kebersamaan untung dan rugi. Namun apabila ada kerugian yang terjadi dalam perkawinan, maka hanya suami yang menanggungnya. Sedangkan istri dibebaskan dari kerugian tersebut.
  3. Meskipun demikian, di Indonesia pada umumnya isi perjanjian kawin adalah untuk meniadakan sama sekali kebersamaan harta.


Sumber :
Berbagai Sumber



No comments:

Post a Comment