Filsafat Ilmu ( Epistimologi Hermeneutika )
Filsafat Ilmu
( Epistemologi Hermeneutika )
Dibuat dan disusun Oleh :
Sohibul Fadilah ( 4011611073 )
Kelas C Semester 2
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
FAKULTAS HUKUM
T.A 2016/2017
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb
Segala puji syukur senantiasa kita tuturkan atas rahmat dan karunia Allah Swt yang telah memberikan kesehatan dan nikmat yang tak terhitung, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Makalah ini membahas tentang Epistemoogi Hermeneutika. Dan didalamnya mencakup tentang pengertian hermeneutika, sejarah dan perkembangan hermeneutika dan tiga pradima hermeneutika kontemporer. Mengingat begitu pentingnya pembahasan ini, sehingga disamping untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu, tetapi yang terpenting untuk mencapai pemahaman kita tentang Epistemelogi Hermeneutika. semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan pembacanya.
Penulis menyadari bahwa sebagai manusia yang memiliki keterbatasan, tentu hasil karya ini tidak luput dari kekurangan, Maka dari itu dengan mengharapkan ridha Allah swt penulis sangat membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi untuk memperbaiki makalah ini menjadi lebih baik.
Wassalamualaikum wr.wb
Balunijuk, 18 April 2017
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Hermeneutik Baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis sekarang. Martin Heidegger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter hermeneutis dari pemikirannya. Filsafat itu sendiri, kata Heidegger, bersifat (atau harus bersifat) “hermeneutis”.
Sesungguhnya istilah hermeneutika ini bukanlah sebuah kata baku, baik dalam filsafat maupun penelitian sastra; dan bahkan dalam bidang teologi penggunaan term ini sering muncul dalam makna yang sempit yang berbeda dengan penggunaan secara luas dalam “Hermeneutika Baru” teologis kontemporer.
Hermeneutika selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks. Meski terjadi perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks. Pada kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad 20) tidak membentuk suatu tantangan pemikiran yang berarti bagi pemikiran agama, sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam aliran-aliran filsafat hermeneutika. Sementara itu, hermeneutika filosofis dan turunannya dalam teori-teori kritik sastra dan semantik telah merintis jalan bagi tantangan serius yang membentur metode klasik dan pengetahuan agama
Metode hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Yahudi-Kristen. Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru, dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan usaha berkelanjutan dalam menanganinya.
Para filosof hermeneutika adalah mereka yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada ambang batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala sesuatu yang ada di alam ini sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu membedakan dua kondisi ini satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan dua macam fenomena: ilmu dan pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan epistemologi, sedangkan masalah pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika. Sehingga dengan demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang berdampingan.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang dimaksud dengan epistemeologoi hermeneutika?
2. Bagaimana sejarah dan perkembangan hermenetika?
3. Apa saja tiga pradigma hermeneutika kontemporer?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang epistemologi hermeneutika.
2. Untuk mengethui tentan sejarah dan perkebangan ermeneutika.
3. Untuk mengetahui tiga pradigma hermeneuikakontemporer.
BAB II
PEBAHASAN
A. Pengertian Hermeneutika
Istilah hermeneutika secara longgar dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat mengenai interpetasi makna. Dengan membuka webster dictionary, stilah ini terungkap pula dalam bahasa inggris hermeneutics yang berarti enafsiran, atau menangka makna kata-kata dan ugkapan pengarang, serta menjelaskannya kepada orang lain. Sedangkan secara etimologis, akar kata hermeneutika berasal dari bahasa yunani dengan kata kerja hermeneuein yang berarti “menafsirkan” dan kata benda hermeneia yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “penfsiran” atau interpretasi”. Istilah Yunani tersebut dinisbahkan kepada tokoh mitologis yang bernama Heres, yaitu seorang utsan yang mempunyai tugas menyapaikan pesan jupiter kepada manusia.
Hermes bertugas menejemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Alympus kedalam bahasa yang dapat dimengerti oleh umat manusia. Di sinilah fungsi signifkan Hermes: ia harus maumpu menginterretasikan atau menyadur sebuah pesan kedalam bahasa yang dipergunakan oleh pendegarnya, dalam hal ini umat manusia. Sejak saat itu Hermes menjadi simbol seorang duta yang dibebani dengan sebuah misi tertentu. Berasil tidaknya misi itu seenuhnya tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampakan.
Menurut seyyed Hossein Nas, Hermes adalah Nabi Idris yang disebut seagai ‘Bapak para filsuf” (father of Philosophers-Abu’l Hukama’) yang menyampaikan pesan-pesan Tuhan baik dalam aspek gnostik (ma’rifah atau irfan) maupun aspek-asepek filsafat atau teosof (al-Hikmah). Sementara itu, istilah hermeneutik yang diasosiasikan kepada Hermes sebagai pembawa pesan, dala perspektif Richard E. Palmer merangkum tiga bentuk makna dasar. Petama, adalah mengekspresikan (to express), menegaskan (to assert) atau mengatakan (to say). Disini, seorang pembawa pesan bukan hanya menjelaskan tetapi juga mendeklarasikan (to proclaim).
Kedua, adalah menjelaskan (to explain). Artinya, hal yang terpenting bukanlah mengatakan sesuatu saja, melainkan menjelaskannya, merasioalisasikannya serta menjadikanya jelas dan terpahami (make it clear). Ketiga, adalah menerjemakan (to translate) yang maknanya identik dengan menafsiran (to interpate). Menerjemahkan dalam arti, seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat diahami ke dalam media bahasanya sendiri.
Denga uraian arti diatas, terlihat jelas bahwa hermeneutik mencakup makna yang luas. Bukan sekedar pemahaman terhadap karakter dan kondisi-kondisi tertentu dimasa silam melainkan juga merupakan saha menjebatai ruangpemisah antara masa lalu dan masa kini.
D. Sejarah dan Perkembangan Hermenutika
Statemen yang menyatakn “an interpreter being main is “ (manusia adalah makhluk enafsir), mengidikasika bahwa sejarah hermeneutka sebagai problem penafsiran, usiaya setua manusia itusendiri. Dala tradisi filosofis yunani klasik, Aristoeles telah memperbincangkan hermeneutika dalam karya besarnya, organon, peri hermeneies, yang dialihkan kedalam bahasa ingris menjadi on interpretation. Menrut priode sebelunya, ternyata hermeneutika sudah disinggung pula oleh guru Aristoteles yaitu Plato dalam karyanya Oedepus at olonus.
Leih jauh lagi, dalam telaah teologis atau mitologis, waana hermeneutika sudah dimulai sejak era Hermes atau Nabi Idris sebagai pioner filsuf yang memulai penulisan. Itula mengapa kelahiran hermeneutika secara historis-sossilogis selalu berhubungan dengan interpretasi filologi dan teologi atau teks-teks suci. Dalam perspektif Richard palmer, jika ditinjausecara historis-sosiologis, setiaknya terdapat enam tipologi hermeneutka.
Pertama, sejarah perkembanga hermeneutika khususya hermeneutika atas tek-teks dapat ditelusuri dalam sejarah teologis dan lebih umum lagi, sejara pemikiran teolgis yudeo-kristiani. Dalam tradsi agama Yahudi, tafsir atas tekstes Taurat (Tora), dilakukan oleh para ahli kitab, yaitu mereka yang membaktikan hidunya untuk mempelajari dan menasirkan hukum-hukum agama. Selain para ahli kitab, dalam masyarakat Yahudi juga muncul tokoh-tokoh tafsir lainnya, yaitu para Nabi.
Kedua, hermeneutika sebagai metologi filologis. Dalam perjalanannya kemudian, pada abad ke-17 dan ke-18, hermeneutika dipakai utuk menafsirkan teks-teks klasik (Yunani dan Romawi) disamping kitab suci. Hermeeutika dalam tradisi Bart, pada abd ke-18, muncul dua mazhab, yaitu mazab hermeneutika rtansendental dan mazhab historis-psiokologs. Yang peratama berpandang bahwa untuk menemukan suatu kebenaran dalam teks tidak harus mengaitkan pengarangnya karena sebuah kebenaran bisa berdiri otonom ketika tampil dalam teks.
Ketiga, hermeneutika sebagai ilmu pemahaman linguistik. Baru pada akhir abad ke-18 sekaligus menjelang awal abad ke-19, friedrich schlermacher berusaha memasukan pertimbangan epistemologis ke dalam wacana metodologis sebagai pendekatan perama dalam sejarah hemeneutika. Dengan kata lain, schleiermacher merupakan seorang perintis pemikiran tentang hermeneutika filsafati karena mengangkat masalah pemahaman sebagai masalah spesifik.
Keempat, hermeneutika sebagai fondasi metodologi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan. Wilhelm Dilthey merupakan salahsatu filsuf besar pada akhir abad ke-19 yang mewakli cara kerja hermeneutika sebagai fondasi metodelogi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan bagi Dilthey, hemeneutika merupakan inti disiplin metodologi yang dapat melayani sebagai pondasi bagi ilmu-ilmu kemanusiaan yang mencakup semua disiplin ilmu yang memfokuskan pada ranah pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia.
Kelima, hermeneutika seagai fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Live ini diwakili oleh Martin Heidegger dan murid cemerlagnya Hans-Georg Gadamer. Martin Heidegger, dalam menghadapi persoalan ontologis, meminjam metode fenomenologis dari gurunya, Edmund Husserl, dan mengguakan studi fenomenolgi terhadap cara berada keseharian manusia didunia. Studi ini sekarang diakui seagai masterwork-nya dan sebagai kunci memahami secara jelas pemikirannya. Da menyebut analisisnya yang dipersentasikan dalam karya Being and Time (1927), sebagai “hermeneutika Dasein”
Keenam, hermenetika sebagai sistem penafsiran. Dalam pengertian terakhir ini, hermenewtika menjadi sebuah teori tentang seperangkat aturan yang menentukan suatu interpetasi terhadap berbagai teks. Salah seorang hermeneut yang paling representatif untk makna terakhir ini adalah Paul Ricoeur. Di sini Ricoeur sangat berperan dengan menyunguhkan suatu sistem interpretasi yang sangat kaya sisteatis, dan juga complicated.
E. Tiga Pradikma Hermeneutika Kontemporer
Dalam perspektif Josef Bleicher, paling tidak terdapat tiga tipologi hermeneutika kontemporer yaitu hermeneutika teoretis (hermeneutical theory), hermeneutika filosofis (philosophical hermeneutic), dan hemeneutika kritis (critical hermeneutic). Secara umum, hermeneutika teoritis diwakili oleh Friedrich Schleimacher dan Wilhelm Dilthey; Hermeneutika filosofis diwakili dua filsuf terkenal dari Jerman: Martin Heidegger dan Hans G. Gadamer; serta hermeneutika kritis diakili oleh karl O. Apel dan Jurgen Habermas. Mari kita bahas ketiga tipologi hermeneutika tersebut sekilas dengan menghadirkan pandangan tokoh-tokohnya.
1. Hermeneutika Teoritis
Dalam hermeneutika teoritis (hermeneutical theory) problem hermeneutis-nya adalah metode, yakni mempersoalkan metode apa yang sesuai untuk menafsirkan teks sehingga mampu menghindarkan seorang penafsir dari kesalahpahaman, dus menemukan makna objektif dengan metode yang valid pula.
Menurut Schleiermacher, ada dua bagian penafsiran yang perlu diperhatikan dalam paradigma hermeneutika teoritis ini; pertama, penafsiran gramatikal. Dalam penafsiran ini mengandung prinsip: 1). “segala sesuatu yang membutuhkan ketepatan (makna); 2). “Makna dari sebuah kata dari sebuah batang tubuh teks ditetapkan dengan merujuk pada koeksistensinya dengan kata-kata lain”.
Jadi penafsiran selalu bersifat holistik dan parsial, sekaligus. Seorang penafsir tidak mungkin memahami suatu objek, seperti teks atau kalimat, sebagai sebuah bagian partikular tanpa merujuk kepada keseluruhan konteksnya. Sebaliknya, kita juga tidak dapat memahami keseluruhan tanpa merujuk kepada bagian-bagiannya. Konsep ini oleh Schleiermacher disebut sebagai “lingkaran hermeneutis” yang tampaknya tidak ditemukan ujung pangkalnya. Menurutnya, lingkaran hermeneutis memang tidak dapat dipecahkan oleh logika struktural, tapi harus diatasi secara intuitif atau penafsiran psikologis. Untuk yakin dengan kebenaran penafsiran kita harus “melompat” ke dalam lingkaran hermeneutis tersebut, seperti lompatan kepada keyakinan.
Penafsiran gramatikal bagi Schleiermacher, tidak akan valid kecuali dilanjutkan dengan penafsiran yang kedua, psikologis, seperti lompatan keyakinan tadi. Dengan menggunakan pengetahuan linguistik dan sejarah kebahasaan yang diperoleh sebelumnya, seorang mufasir harus merekonstruksi secara imajinatif (psikologisasi) suasana batin pengarang, dan inilah yang disebuah oleh Bleicher sebagai penafsiran psikologis.
Ringkasnya, Schleiermacher membawa penafsiran gramatikal pada titik tolak wacana umum tentang suatu (bahasa), kebudayaan, dan penafsiran psikologis didasarkan pada subjektivitas pengarang. Pembaca berupaya merekonstruksi subyektivitas tersebut sehingga dapat memahami maksud pengarang, bahkan sampai pada keyakinan lebih baik dari bagaimana ia mengerti karyanya sendiri.
Dilthey yang mengembangkan hermenutika teoritis memiliki pandangan yang hampir serupa. Namun demikian berbeda dengan psikologisme Schleiermacher, proses penafsiran digambarkan sebagai peristiwa sejarah, dan bukan peristiwa mental. Penafsiran dipahami secara konseptual sebagai verstehen (memahami) yang dibedakan dari erkleren (menjelaskan). Menafsirkan dalam pengertian verstehen ini adalah proses untuk memahami teks sebagai bagian dari ekspresi sejarah. Karena itu, yang perlu direproduksi bukan kondisi batin pengarangnya, tapi maknamakna dari peristiwa sejarah yang mendorong lahirnya teks.
Dapat dikatakan bahwa pengarang tidak mempunyai otoritas atas makna teks, tapi sejarahlah yang menentukan maknanya. Idealisme dan intensi pengarang direduksi menjadi refleksi atau dominasi kekuatankekuatan dalam sejarah yang menentukan penulisan teks. Istilah “seseorang adalah anak zamannya” mungkin tepat untuk menggambarkan pandangan ini. Tentu saja, pandangan semacam ini bersifat totaliter, mengandaikan bahwa tidak ada pemikir atau teksnya yang mampu keluar dari belenggu sejarah, dus merubah sejarah.
Tokoh pelopor yang mem-back up perspektif ini diantaranya adalah: Schleiermacher, W. Dilthey dan juga Emilio Betti. Kelemahan dari perspektif ini adalah pengandaikan akan adanya makna awal atau makna sejati yang dapat direproduksi (reliving masa lalu), yang kemudian menjadi obyek kritik bagi perspektif selanjutnya.
2. Hermeneutika Flosofis
Hans Georg Gadamer meyakini bahwa hermeneutika merupakan penyelidikan proses universal dari tindak pemahaman yang juga diklaim sebagai hakikat kapasitas manusia sebagai sebuah Ada. “Pemahaman” atau “mengerti” harus dipandang sebagai sikap yang paling fundamental dalam eksistensi manusia, atau lebih sederhananya keadaan “paham/ mengerti” itu tidak lain daripada cara berada manusia itu sendiri. Dengan demikian eksistensi manusia selalu dibangun oleh kualitas proses pemahaman sendiri. Pemahaman adalah dinamika dasar wujud manusia, bukan perbuatan subjektivitas, pemahaman adalah ‘suatu modus keberadaan’, bukan sesuatu yang seseorang lakukan diantara berbagai hal yang ia kerjakan. Pemahaman adalah sebagian dari faktisitas, ia mengalir dari kenyataan wujud manusia. Pemahaman adalah suatu peristiwa, terbuka, tidak diduga, tidak ada ketentuan sebelumnya dan tidak direncanakan untuk pengakuan suatu kebenaran. Jadi, pemahaman bukanlah suatu penalaran diskursif, ia lebih dahulu dari pada penalaran diskursif. Tidak ada pembakuan normatif, harus begini atau begitu.
Lain halnya dengan Betti, Scleiermacher dan Dilthey yang merupakan penggagas aliran hermeneutika obyektivis, di mana hermeneutik menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan alam positivisme yang notabene mensyaratkan commensurable, yaitu obyektivisme. Sekalipun ketiga tokoh hermeneutik tersebut memiliki perbedaan dalam konteks obyektivismenya, seperti Schleiermacher lebih memfokuskan kepada “pengarang” dan Dilthey lebih pada “teks”, namun ketiganya secara utopis mensyaratkan tampilan hermeneutika yang steril dari intervensi historisitas penafsir. Hal ini tentunya melahirkan dilema bagi hermeneutika lantaran sebagai ilmu interpretasi tentu saja ia tidak bisa begitu saja dilepaskan dari entitas penafsir atau pembaca itu sendiri yang tentu memiliki wilayah historisitasnya sendiri. Dalam krusialitas inilah Gadamer memunculkan entitesis yang sangat akstrem dengan hermeneutika filosofisnya, bahwa upaya obyektivistik hanya akan menjadi kesia-siaan bagi siapapun yang ingin menafsirkan sebuah teks. Sebab antara pengarang dan penafsir terjalin jurang tradisi yang tak mungkin disatukan lagi serta bahwa penafsir tidak mungkin dikosongkan dari arus kulturalnya yang memberikan watak tersendiri sebagai modal hermeneutisnya. Dengan kata lain, bagi Gadamer, hermeneutikan yang bisa dihidupkan dengan baik ialah subyektivisme interpretasi yang relevan dengan perandaian yang dibangun oleh historisitasnya di masa kini. Dia menegaskan bahwa justru yang terpenting dalam jurang waktu dan tradisi itu adalah dialektika atau dialog produktif antara masa lalu dengan masa kini, dan ini hanya bisa dimasuki oleh bahasa. Dengan pemahaman hermenuitika yang demikian, Gadamer memproklamirkan diri sebagai penentang positivisme dalam kancah hermeneuitika.
3. Hermeneutika Kritis Habermas dan Apel
Diantara tokoh-tokoh hermeneutika kritis pada masa awal adalah Karl Otto Apel, Lorenzer, Sandkuhler dan Paul Ricoeur. Habermas merupakan penerus estafet dari generasi awal.
Di tengah dominasi positivisme, sekelompok intelektual Jerman yang dikomandoi Horkhaimer dan Adorno mendengungkan kembali semangat Sokratian-Marxian. Mereka merintis apa yang nantinya dikenal dengan sebutan teori kritis. Sebuah ramuan teoretisasi berbagai disiplin ilmu yang bermuara pada kritik ideologi yang membebaskan. Positivisme pun dicibir sebagai pendukung setia konservatisme.
Jürgen Habermas adalah generasi kedua pengusung teori kritis. Ia termasyhur karena menjejakkan teoretisasi pendahulunya di anak tangga pemikiran selanjutnya. Di tangannya lahir berbagai teoretisasi baru yang menghangatkan kembali teori kritis yang sempat membeku di tangan generasi sebelumnya.
Menurut Jurgen Habermas, teori kritis bukanlah teori ilmiah, yang biasa dikenal dikalangan publik akademis dalam masyarakat kita. Jurgen Habermas menggambarkan Teori kritis sebagai suatu metodologi yang berdiri di dalam ketegangan dialektis antara filsafat dan ilmu pengetahuan (sosiologi). Teori Kritis tidak hanya berhenti pada fakta-fakta objektif, yang umumnya dianut oleh aliran positivistic. Teori krtis berusaha menembus realitas sosial sebagai fakta sosiologis, untuk menemukan kondisi yang bersifat trasendental yang melampaui data empiris. Dapat dikatakan, Teori kritis merupakan kritik ideologi. Teori kitis ini dilahirkan oleh Mazhab Frankfurt memiliki maksud membuka seluruh selubung ideologis dan irasionalisme yang telah melenyapkan kebebasan dan kejernihan berpikir manusia modern. Akan tetapi, semua itu konsep Teori Kritis yang ditawarkan oleh para pendahulu Jurgen Habermas (Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse) mengalami sebuah kemacetan atau berakhir dengan kepesimisan. Akan tetapi, teori ini tidak berakhir begitu saja, Jurgen Habermas sebagai penerus Mazhab Frankfurt akan membangkitkan kembali teori tersebut dengan sebuah paradigma baru.
Program Marxian yang diusung oleh madzhab Frankfurt pertama adalah membawa filsafat ke ranah praksis. Dari yang abstrak menjadi konkrit. Oleh karena itu muncul filsafat kerja. Manusia dianggap ada kalau bekerja. Dengan bekerja manusia akan menghasilkan teknologi dan kebudayaan. Sehingga mucullah rasio instrumentalis.
Namun, proyek rasionalisasi tersebut menemui pesimisme. Ia mereduksi filsafat praksis menjadi filsafat kerja. Ia lupa bahwa ia telah membuat distingsi antropologis terhadap manusia; a tool making animal dan a symbolizing animal. Dan filsafat pekerjaan hanya menyentuh wilayah a tool making animal saja.
Habermas memandang pendekatan fenomenologis yang mengikutsertakan dunia kehidupan dalam analisis sosial sungguh merupakan koreksi tajam terhadap sosiologi objektivis. Namun, ia juga menggugat bias subjektivis dalam pendekatan fenomenologi sosial, khususnya yang digagas oleh Schustz. Schutz menurut Habermas gagal menjembatani antara yang subjektif dan yang sosial. Norma, institusi, nilai dan lain sebagainya bukan produk kesadaran subjektif melainkan komunikasi intersubjektif. Dengan kata lain, intersubjektivitas yang dibagi bersama dalam satu lingkup sosial tertentu bukan sesuatu yang siap jadi (ready-made) melainkan dibangun secara sosial melalui komunikasi. Kita, menurut Habermas, menginternalisasi secara subjektif apa-apa yang sesungguhnya dibangun melalui komunikasi intersubjektif. Prioritas para fenomenolog sosial pada kesadaran privat digeser Habermas menjadi prioritas pada relasi komunikatif. Pengalaman dan kesadaran harus memberi jalan bagi bahasa.
Menurut Habermas, Marx dan madzhab Frankfurt awal melupakan salah satu dimensi yang mereka dengung-dengungkan sndiri, yakni dimensi komunikatif. Selanjutnya, ia melakukan program intregatif-komunikatif dalam wilayah sosiologis-filosofis. Proyek tersebut selanjutnya disebut Teori Kritis.
Berikut beberapa cirri teori kritis:
1. Kritis Terhadap dinamika masyarakat.
2. Teori Kritis berpikir secara historis dan berpijak pada proses masyarakat yang historis.
3. Teori Kritis juga berpijak pada dimensi kritik internal.
4. Teori kritis tidak memisahkan teori dan praktek.
Ciri-ciri umum dari teori kritis madzhab Frankfurt diatas jika ditarik pada titik spesifik program dialektika Habermas, maka akan ditemukan teori yang mendasari pemkiran Habermas.
1. Psikoanalisi Freud.
Psikoanalisis membuka factor komunikatif manusia meskipun dalam alam bawah sadar. Padahal kesadaran inilah yang dilanggar oleh rasio industrial. Psikoanalisis berusaha mengungkapkan permasalahan sekitar jiwa yang sakit, the sick soul dalam diri manusia yang terdepresi oleh problem kehidupannya, yang dirasa tidak nyaman.
2. Diskursus Penjelasan dan Pemahaman.
Ada perbedaan orientasi hermeneutis dari penjelasan dan pemahaman.
Anasir dari Penjelasan:
a. Penjelasan bersifat Theoritical oriented-monologis-definitif. Dari sifat yang demikan, seakan fakta tidak bisa di konstruk. Objek adalah bebas nilai, karean ia berada di luar pengetahuan subjek. Ia ada sebelum ditekan oleh interpretasi subjek.
b. Oleh karena fakta itu sudah ada sebelum ditemukan oleh subjek, maka akan tercipta pengetahuan maksimal tentang makna fakta di saat present. Tanpa intervensi interpretative dari subjek, sebuah fakta sudah mampu menciptakan makna sendiri secara utuh.
c. Sudah adanya makna maksimal dari sebuah fakta, bukan berarti stagnansi future. Artinya dalam setiap kebenaran masih terdapat celah kesalahan. Tugas teori kritis adalah menambal sisa kesalahan tersebut.
Anasir dar Pemhaman:
a. Pemahaman itu bersifat experimental-oriented-subjektif.
b. Pemahaman adalah bertemunya pengertian teoritis (Penjelasan) dan pengalaman (Pemahaman).
c. Adanya makna pada diri objek dipengaruhi oleh adanya pemaknaan dari subjek.
Jadi, subjek berhak untuk “memaknai sebuah objek. Maka makna baru bagi sebuah objek akan ditentukan oleh dinamisme-kritis dari aktifitas interpretative si subjek. Tidak ada fakta terkonstruk-naturalis.
3. Rasio Instrumen dan Rasio Komunikatif
Habermas memasukkan Rasio Komunikatif untuk menjadikan manusia tidak hanya a tool making animal akibat filsafat pekejaan “ulah” Marx.
Berkaitan dengan teori praksis komunikasi Habermas membagi tindakan menjadi 4 macam, yaitu:
a. Tindakan teleologis
Yaitu sebuah tindakan yang mana pelaku melakukan hal tertentu untuk mencapai atau mempertahankan tujuan yang khusus. Untuk mencapainya dibutuhkan sarana yang tepat dan sesuai, yaitu keputusan, kebijaksanaan. Untuk membina tindakan ini diperlukan model dan strategi untuk keberhasilan tindakan pelaku, juga antisipasi dari keputusan yang menjadi bagian yang ditambahkan pada tujuan yang hendak dicapai. Jadi konsep pokok tindakan ini adalah keputusan.
b. Tindakan normatif
Tindakan ini tidak diarahkan dan tidak ditujukan untuk kepentingan sendiri. Pelaku melakukan perbuatan ini untuk anggota-anggota masyarakat.
Manusia adalah zoon politicon, maka dia tak pernah bisa hidup tanpa manusia yang lain. Karena itulah maka manusia mempunyai kecenderungan manyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang berlaku umum di masyarakat, upaya mengukur sebuah tindakan itu atas dasar norma masyarakat atau tidak. Jadi konsep utama tindakan ini adalah pemenuhan terhadap norma.
c. Tindakan dramaturgic
Tindakan yang dilakukanoleh seseorang bukan karena untuk kepentingan dirinya atau memenuhi norma social, melainkan ditujukan untuk masyarakat umum. Pelaku mencoba menampilkan diri dalam image atau gambaran penampilan dirinya itu. Konsep utama tindakan ini adalah penampilan diri di depan umum.
d. Tindakan komunikatif
Yaitu tindakan yang menunjuk pada interaksi, sekurang-kurangnya dua orang yang mempunyai kemampuan berbicara dan bertindak, serta dapat membentuk hubungan antar pribadi, baik secara verbal maupun non-verbal. Di sini pelaku mencapai pemahaman terhadap situasi tindakan serta rencana tindakan-tindakannya, juga tindakan terbaik atas dasar persetujuan. Konsep pokok tindakan ini adalah interpretasi atau penafsiran.
BAB III
PENUTUP
Istilah hermeneutika secara longgar dapat didefinisikan sebagai suatu teori atau filsafat mengenai interpetasi makna. Dengan membuka webster dictionary, stilah ini terungkap pula dalam bahasa inggris hermeneutics yang berarti enafsiran, atau menangka makna kata-kata dan ugkapan pengarang, serta menjelaskannya kepada orang lain. Sedangkan secara etimologis, akar kata hermeneutika berasal dari bahasa yunani dengan kata kerja hermeneuein yang berarti “menafsirkan” dan kata benda hermeneia yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “penfsiran” atau interpretasi”. Istilah Yunani tersebut dinisbahkan kepada tokoh mitologis yang bernama Heres, yaitu seorang utsan yang mempunyai tugas menyapaikan pesan jupiter kepada manusia.
sejarah perkembanga hermeneutika khususya hermeneutika atas tek-teks dapat ditelusuri dalam sejarah teologis dan lebih umum lagi, sejara pemikiran teolgis yudeo-kristiani. Dalam tradsi agama Yahudi, tafsir atas tekstes Taurat (Tora), dilakukan oleh para ahli kitab, yaitu mereka yang membaktikan hidunya untuk mempelajari dan menasirkan hukum-hukum agama. Dalam perjalanannya kemudian, pada abad ke-17 dan ke-18, hermeneutika dipakai utuk menafsirkan teks-teks klasik (Yunani dan Romawi) disamping kitab suci. Hermeeutika dalam tradisi Bart, pada abd ke-18, muncul dua mazhab, yaitu mazab hermeneutika rtansendental dan mazhab historis-psiokologs. hermenetika sebagai sistem penafsiran. Dalam pengertian terakhir ini, hermenewtika menjadi sebuah teori tentang seperangkat aturan yang menentukan suatu interpetasi terhadap berbagai teks. Salah seorang hermeneut yang paling representatif untk makna terakhir ini adalah Paul Ricoeur. Di sini Ricoeur sangat berperan dengan menyunguhkan suatu sistem interpretasi yang sangat kaya sisteatis, dan juga complicated.
Dalam perspektif Josef Bleicher, paling tidak terdapat tiga tipologi hermeneutika kontemporer yaitu hermeneutika teoretis (hermeneutical theory), hermeneutika filosofis (philosophical hermeneutic), dan hemeneutika kritis (critical hermeneutic). Secara umum, hermeneutika teoritis diwakili oleh Friedrich Schleimacher dan Wilhelm Dilthey; Hermeneutika filosofis diwakili dua filsuf terkenal dari Jerman: Martin Heidegger dan Hans G. Gadamer; serta hermeneutika kritis diakili oleh karl O. Apel dan Jurgen Habermas
B. Saran
Dengan dibuatnya paper (makalah) ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat memberi wawasan bagi pembaca maupun penulis mengenai pembahasan tentang Epistemologi Hermeneutika.Maka saran dan kritik dari pembaca sekalian selalu kami harapkan demi kesempurnaan paper (makalah) ini.
DAFTAR PUSTAKA
D.r Zaprulkhan, S.Sos.I., M.S.I. Filsafat Ilmu, Sebuah Analisis Kontemporer. 2016, Jakarta, Penerbit Rajawali Pers.
jhttps://jaringskripsi.wordpress.com/2009/09/22/filsafat-hermeneutika/aring skripsi
http://gudangtugasku.blogspot.co.id/2012/09/hermeneutika-filosofis.html
http://catatanhafitsa.blogspot.co.id/2014/12/habermas-dan-hermeneutika-kritis.html
http://www.referensimakalah.com/2012/12/hermeneutika-teoritis-hermeneutical.html
No comments:
Post a Comment