Friday, July 16, 2021

Hukum Acara Pidana ( Ganti Kerugian dan Rehabilitasi )

 

TUGAS HUKUM ACARA PIDANA

PAPER MENGENAI GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI

 


 




DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 :

 

PUTRI ATIKA                        ( 4011611067 )

ZICO WIJAYA                        ( 4011611

UTARI HERDIANA               ( 4011611083 )

OGUM MAHA KARISMA     ( 40116110

OVI OKTAVIANTI                ( 40116110

 

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG

2018/2019

PEMBAHASAN

 

 

A.        GANTI KERUGIAN (PASAL 95 DAN 96 KUHAP)

 

Yang dimaksud dengan ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (pasal 1 butir ke-22 KUHAP).

Gugatan ganti kerugian hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan.

Ganti kerugian terdapat dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya memiliki perbedaan. Dalam hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan dibahas adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.

Ruang lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya (tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang, kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang pasti.

Sedangkan ganti kerugian dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.

Dalam ganti kerugian karena perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.

Apabila permohonan ganti kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan. Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu sama saja seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,. Hakim dalam praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan tersebut.

Jika terdakwa bebas, tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus menentukan hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.

Ganti kerugian merupakan hal baru yang diatur dalam hukum acara pidana Indonesia, meskipun sebenarnya jauh sebelum KUHAP diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 pasal 9 ayat (1) telah mengaturnya: “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.” Kemudian ketentuan ini diubah dengan pasal 9 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.

Berkenaan dengan masalah ganti kerugian tersebut di atas maka dalam pelaksanaannya akan timbul permasalahan sebagai berikut :

1. Kepada siapa tuntutan ganti kerugian ditujukan dan dibebankan; oleh karena yang melakukan tindakan adalah aparat negara maka sudah sepatutnya apabila tuntutan tersebut diajukan kepada negara/pemerintah.

2. Berapa jumlah imbalan uangnya; pasal 9 PP No. 27 Tahun 1983 menentukan jumlah ganti kerugian minimum Rp 5.000,- dan maksimum Rp 1.000.000,- dalam hal tindakan aparat sehingga menyebabkan yang bersangkutan mengalami sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan pekerjaannya atau mati maka besarnya imbalan uang, maksimum adalah Rp 3.000.000,- jo Keputusan Menkeu tgl. 31 Desember 1983 No. 983/KMK.01/1983.

3. Kapan batas waktu mengajukan tuntutan ganti kerugian; KUHAP tidak mengatur hal tersebut, tetapi diatur dalam PP No. 27 Tahun 1983 yaitu 3 bulan dan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dalam hal tindakan keliru dari aparat penegak hukum sebagaimana disebutkan dalam pasal 95 KUHAP. Serta 3 bulan dan sejak saat pemberitahuan penetapan Praperadilan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 77 KUHAP.

Bentuk-Bentuk Ganti Kerugian

1. Tunggal, tuntutan ganti kerugian dalam penghentian penyidikan atau penuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, didalamnya hanya tergantung satu tuntutan ganti kerugian. Karena semua tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum dalam proses pemeriksaan perkara merupakan satu kesatuan proses penegakan hukum yang tak terpisahkan.

2. Alternatif, tuntutan ganti kerugian ini dibuat pemohon agar tuntutan itu mencakup semua alasan sesuai dengan jumlah tindakan yang dikenakan aparat penegak hukum kepadanya. Misalnya dalam hal penghentian penyidikan atau penuntutan dibarengi dengan penangkapan, penahanan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, di samping tuntutan ganti kerugian atas alasan penangkapan atau penahanan sebagai tuntutan primair, pemohon dapat lagi mengajukan tuntutan alternatif berupa tuntutan subsidair atas alasan penghentian penyidikan atau penuntutan.

3. Kumulatif, terhadap kasus penghentian penyidikan atau pentuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau penahan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, dapat diajukan tuntutan ganti kerugian secara kumulatif. Terhadap semua tindakan yang dikenakan kepada tersangka atau terdakwa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian dengan jalan menggabungkan dan menjumlahkan ganti kerugian atas masing-masing tindakan yang tidak sah tersebut. Putusan yang diberikan pengadilan sehubungan dengan gugatan ganti kerugian berbentuk penetapan (pasal 96 ayat 1 KUHAP).

 

CARA PELAKSANAAN GANTI KERUGIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA

 

Dalam ganti kerugian karena perbuatana aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti kerugian terhadap aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat  mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan di ajukan lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.

            Seorang tersangka, terdakwa, terpidana dapat mengajukan ganti kerugian jika penahanan, penangkapan, penggeledahan, pengadilan dan tindakan lain (tindakan diluar penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan tindakan tersebut memang tidak seharusnya dilakukan pada tersangka oleh aparat penegeak hukum). Atas dirinya yang tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Saat yang tepat untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan praperadilan. Seorang tersangkan atau terdakwa tidak bisa menuntut ganti kerugian yang besarnya semaunya atau sesuka suka dia karena KUHAP menentukan jumlah maksimal tuntutan ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu minimal Rp.5000,- dan maksimal Rp.1 Juta atau Rp.3 Jt (Jika tindakan aparat penegak hukum telah menyebabkan sakit atau cacat).

Di Indonesia baru dengan UUKK dalam pasal 9 di cantumkan ganti kerugian dan rehabilitasi terhadap orang yang di tangkap,di tahan, dan/ atau di tuntut secara tidak sah. Penjabaran dalam KUHAP pada akhir tahun 1981. sebelum tercipta UUKK, di Indonesia belum ada peraturan tentang ganti kerugian dan rehabilitasi,kecuali tentu melalui proses perdata yang di dasarkan kepada “perbuatan melanggar hokum” (on recthmatige daad) atau perbuatan melanggar hokum oleh penguasa” (onrecthmatige overheidsdaad ), tersebut dalam pasal 1368 BW.

Dalam hukum acara Pidana lama (HIR) tidak diatur ganti kerugian. Ketentuan ganti kerugian yang di sebabkan oleh penangkapan,penahanan yang tidak sah (unlawful arrest) telah bersifat universal. Hal itu tercantum pula dalam (international covenant on Civil and Political Rights). Pasal 9 yang berbunyi : anyone who has been the victim of unlawful arrest or detention shall have an enforceable rights to compensation. (seseorang yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan tidak sah akan mendapat hak menuntut ganti kerugian).

Ketentuan internasional ini telah di jabarkan pula dalam konvensi eropa yang pada pasal 5 ayat (5) berbunyi :Everyone who has the victim of arrest or detention in contravention  to the provisions of the article an enforceable right to compensation.

Pemikiran menciptakan peraturan di bidang ini telah telah sejak beberapa tahun di lakukan. Ketika Oemar Seno Adji menjabat ketua Mahkamah Agung, Telah di keluarkan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1980 yang memperkenalkan kembali lembaga herziening. Bagaimana proses meminta ganti kerugian setelah dibebaskan atau dilepas dari tuntutan hukum sebagai putusan herziening, tidak diatur. Walaupun ada ketentuan lama dalam reglement op de Strafvordering dahulu, namun itu tidak dapat di terapkan karena selain tidak berlaku lagi, juga di peruntukkan  untuk golongan Eropa. Sebagai kaidah pencerminan pun menurut  pendapat penulis,aturan itu tidak dapat di pergunakan.

Diundangkannya KUHAP cita-cita tersebut dapat terkabul,tercantum dalam pasal 95 sampai dengan 101 KUHAP. Ini merupakan penjabaran Pasal 9 UUPKK tersebut.tetapi ketentuan dalam KUHAP ini masih kurang sempurna, karena masih perlu dijabarkan dalam peraturan pelaksanaan  (peraturan pemerintah), antara lain ketentuan lain yang tegas mengenai dalam hal-hal apakah ganti kerugian itu dapat di berikan dan bagaimana hakim menilai besarnya ganti kerugian tersebut.

Tidak otomatis suatu perkara yang berakhir dengan pembebasan atau lepas dari tuntutan hukum harus diberi ganti kerugian kalau tersangka ditahan.di negeri belanda hal itu diserahkan kepada pertimbangan hakim. Ini didasarkan kepada pertimbangan keadilan dan kebenaran (billijheid en rechtvaardigheid). Pengadilan di sana pernah memutuskan menolak gnti kerugian, walaupun terdakwa diputus bebas, karena hakim tidak yakin terdakwa tidak bersalah untuk mana dia ditahan (Gerechtshof leeuwwaarden22 November 1926 dan Amsterdam, 8 November 1928). Dalam putusan lain dengan alasan yang lain pula hakim menolak ganti kerugian karena terdapat suatu alasan tentang keamanan masyarakat yang cukup penting untuk mengadakan penangkapan, penahanan dan karena perbuatan-perbuatan yang gegabah (roekeloos) itu dilakukan karena kesalahannya sendiri.

Sama dengan itu, Criminal indemnity law jepang yang mengatakan bahwa sebagian atau seluruh permintaan ganti kerugian itu di dasarkan atas pertimbangan yang layak (proper discretion) hakim dapat ditolak, apabila tersangka atau terdakwa tang bersangkutan ditahan, ditangkap,dituntut atau diadili dengan dasar membuat pengakuan-pengakuian palsu, dengan makssutuntuk menyesatkan pejabat-pejabat penyidik, penun tut umum, atau hakim, atau dengan memalsukan bukti-bukti untuk putusan.

Di negeri belanda menurut penelitian, hanya 4-5 dari 29 permintaan dapat di kabulkan dari tahun 1926-1938.

Menjadi masalah pula dalam hal pembebasan (vrijspraak) dan pelepasan dari segala tuntutan hukum dengan hubungannya dengan penahanan, ialah bagaimana jika terjadi dalam suatu perkara  terdakwa didakwa primair berdasar mana ia ditahan secara sah (sesuai dengan pasal 21 KUHAP) dan subsidair berdasar mana (deliok yang didakwakan pada bagian subsidair) tidak dapat dilakukan penahanan, sedangkan terdakwa dibebaskan dari dakwaan primair itu, tetapi dipidana berdasar dakwaan subsidair.

Dalam hal ini pun menurut pendapat penulis, ganti kerugian tidak perlu diberikan, karena pidananya berdasar dakwaan subsidair itu harus dikurangi selama terdakwa atau terpidana berada dalam tahanan, yang semula didasarkan atas dakwaan primair. Hal itu tercanttum dalam Pasal 22 ayat (4) KUHAP yang berbunyi: ”Masa penangkapan dan/atau penahanan dikurung seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan”.

Berdasar HIR dahulu tidak ada ketentuan semacam itu. Hakim dapat memperhitungkan penahanan terdakwa dalam penjatuhan pidana dapat juga tidak.

Jadi, menurut KUHAP pengurangan lamanya pidana dikurangi dengan lamanya penahanan bersifat imperatif, berbeda dengan sistem hukum acara pidana yang lama bersifat fakultatif. Menurut pendapat penulis, kelalaian hakim mengurangi pidana yang di jatuhkan dengan lamanya penahanan merupakan kekeliruan dalam menerapkan hukum, yang dapat dibanding.

 

B.         REHABILITASI (PASAL 97 KUHAP)

 

Yang dimaksud dengan Rehabilitasi menurut pasal 1 butir ke-23 KUHAP adalah “hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

Tujuan rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Padahal tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.

Lembaga yang berwenang memberikan rehabilitasi adalah pengadilan baik melalui proses persidangan biasa maupun melalui proses persidangan praperadilan. Putusan pemberian rehabilitasi diberikan kepada terdakwa apabila ia oleh pengadilan diputus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) apabila perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap (pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang yang melalui proses praperadilan ialah apabila perkaranya tidak dilimpahkan ke pengadilan, (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77 KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan oleh tersangka, terdakwa, ahli warisnya (keluarganya) maupun kuasanya.

Permintaan rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan yang tidak sah diajukan kepada pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.

Apabila pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau apabila permohonan pemohon dalam praperadilan dikabulkan pengadilan, maka dalam amar putusan harus dicantumkan pemberian rehabilitasi yang berbunyi “memulihkan hak terdakwa/pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”. Jadi bagi terdakwa yang diadili dan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tidak perlu mengajukan permohonan rehabilitasi karena pemberian rehabilitasi tersebut dengan sendirinya harus diberikan oleh pengadilan yang memutus dan sekaligus mencantumkan dalam amar putusannya.

Ketentuan tentang rehabilitasi didalam KUHAP hanya pada satu Pasal saja, yaitu Pasal 97. sebelum Pasal itu, dalam Pasal 1butir 23 terdapat definisi tentang rehabilitasi sebagai berikut.

            ”Rehabilitasi adalah  hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang di berikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”

            Senada dengan definisi tersebut, Pasal 97 ayat (1) KUHAP berbunyi: “seseorang yang berhak memperoleh rehabillitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusanya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” selanjutnya ditentukan bahwa rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan tersebut di atas (Pasal 91 ayat (2) KUHAP). Yang tidak dijelaskan dalam KUHAP ialah apakah rehabilitasi akibat putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tersebut bersifat fakultatif (dituntut oleh terdakwa) ataukah imperatif. Artinya, setiap kali hakim memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus diberikan rehabilitasi. Hal; ini mestinya diatur dalam atura pelaksanaan KUHAP.

            Selanjutnya perlu diperhatikan, bahwa bagaimana halnya dengan ketentuan ganti kerugian, pada proses rehabilitasi pun dibedakan antara perkara yang diajukan kepengadilan dan yang tidak. Acara untuk perkara yang diajukan kepengadilan negeri berlaku ketentuan Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP tersebut, sedangkan yang tidak, diputus oleh hakim prapengadilan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP. Hal ini disebut oleh Pasal 97 ayat (3) KUHAP.

Bagaimana bunyi dalam putusan rehabilitasi tersebut tidak diatur dalam KUHAP, sehingga perlu dicantumkan pula dalam aturan pelaksanaan. Begitu pula halnya dengan acaranya, apakah harus dituntut oleh tersangka atau terdakwa.

 

ACARA PELAKSANAAN GANTI KERUGIAN

           

Di muka telah diuraikan tentang penyertaan ganti kerugian itu yang sebagian tersebut dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2). Sedangkan ayat (3) dan (4) pasal itu mengatur tentang pelaksanaan ganti kerugian yang dimaksud.

Dalam aturan pelaksanaan ini tidak disebut-sebut lagi tentang praperadilan yang mempunyai acaranya sendiri. Ini berarti acara pelaksaanaan ganti kerugian dalam Pasal 95 ayat (3) dan (4) KUHAP ini hanya mengatur ganti kerugian yang berhubungan dengan perkara yang di ajukan ke pengadilan negeri.

 

Acaranya demikian.

 

1.        Orang yang berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian ialah tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang  mengadili perkara yang bersangkutan (Pasal 95 ayat (3) KUHAP).

2.        Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut, ketua pengadilan sejauhn mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. Apa maksud ketentuan ini tidak di jelaskan. Menurut pendapat penulis, ketentuan ini tidak perlu dan berkelebihan, karena kalau dibaca penjelasan Pasal 95 ayat (1) maka timbul ketidakserasian. Pnjelasan itu berbunyi:

”Yang dimaksud dengan kerugian karena dikenakan tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.”

Perlu diperhatikan secara seksama kata-kata ”...penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan”. Ketentuan ini akan mendorong hakim yang menyidangkan suatu perkara untuk menjatuhkan pidana tidak akan kurang daripada lamanya penahanan, karena kalau tidak demikian, akan menimbulkan tuntutan ganti kerugian, yang menurut ketentuan tersebut dimuka, hakim itu juga yang akan memeriksa dan memutuskannya.

Inilah rasionya sehingga penulis mengataka ketentuan tersebut tidak perlu dan berlebihan. Penahanan yang sah pada umumnya tidak lebih lama daripada maksimum ancaman pidana delik-delik yang pembuatnya dapat ditahan menurut Pasal 21 ayat (4) KUHAP, kecuali Pasal 282  ayat (2), Pasal 296, dan Pasal 506 KUHP yang ancaman pidananya ringan.

3.        Pemeriksaan dan putusan mengenai tuntutan ganti kerugian mengikuti acara prapradilan.

4.        Putusan tentang pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan yang memuat dengan lengkap semua hal yang di pertimbangkan sebagai alasan bagi putusan tersebut (Pasal 96 ayat (1) dan (2) KUHAP).

 

 

C.         PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN.

 

Hal ini diatur dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP. Pasal 98 ayat (1) KUHAP menyebutkan bahwa “ Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”. Ganti kerugian yang dimaksud pada gabungan perkara gugatan ganti kerugian, bukan tuntutan ganti kerugian akibat penangkapan, penahanan, penuntutan atau peradilan yang tidak berdasar undang-undang. Akan tetapi merupakan tuntutan ganti kerugian :

1.      yang ditimbulkan tindak pidana itu sendiri;

2.      tuntutan ganti kerugian yang diakibatkan tindak pidana kepada si pelaku tindak pidana yaitu terdakwa, dan

3.      tuntutan ganti rugi yang diajukan kepada terdakwa digabung dan diperiksa serta diputus sekaligus bersamaan dengan pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan kepada terdakwa.

Maksud dan tujuan dari penggabungan perkara ini adalah :

1.      untuk menyederhanakan proses pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti kerugian itu sendiri, sehingga dapat dicapai makna yang terkandung dalam asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan;

2.      agar sesegera mungkin orang yang dirugikan mendapat ganti kerugian tanpa melalui proses gugat perdata biasa. Serta tidak diharuskan lebih dulu menunggu putusan pidana baru mengajukan gugatan ganti kerugian melalui gugatan perkara perdata biasa. Dengan demikian penggabungan gugatan ganti kerugian merupakan jalan pintas yang dapat dimanfaatkan orang yang dirugikan untuk secepat mungkin mendapat pembayaran ganti kerugian.

Ketentuan penggabungan perkara ini merupakan hal baru dalam sistem hukum pidana Indonesia, meskipun dalam praktek di lapangan hal ini masih terhitung jarang dilakukan oleh para pencari keadilan yang dalam hal ini “korban tindak pidana” dalam mempergunakan upaya/lembaga ini. Lembaga ini dalam prakteknya memang masih jauh dari pencapaian rasa keadilan masyarakat khususnya korban tindak pidana. Anggapan adanya ketidakadilan tersebut dikarenakan pemenuhan ganti kerugian yang hanya didasarkan pada biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, dengan kata lain ganti kerugian yang pemenuhannya dapat digabungkan dengan perkara pidana yang bersangkutan adalah dalam hal pemenuhan biaya materiil yaitu penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban, sedang biaya inmateriil harus dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata biasa.


 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

.           Monang siahaan, filsafah dan filosofi hukum acara pidana, Jakarta, 2017                             

·         Kuffal, H.M.A, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, 2003.

·         Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, 1983.

·         Sutadi, Marianna, Tanggung Jawab Perdata Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah Agung, RI, 1992.

·         Yahya, Harahap, M, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, 2002


 

No comments:

Post a Comment