Hukum Acara Pidana ( Ganti Kerugian dan Rehabilitasi )
TUGAS HUKUM ACARA PIDANA
PAPER MENGENAI GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
DISUSUN OLEH KELOMPOK 1 :
PUTRI ATIKA ( 4011611067 )
ZICO WIJAYA ( 4011611
UTARI HERDIANA (
4011611083 )
OGUM MAHA KARISMA ( 40116110
OVI OKTAVIANTI (
40116110
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
2018/2019
PEMBAHASAN
A.
GANTI KERUGIAN (PASAL 95 DAN 96 KUHAP)
Yang
dimaksud dengan ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat pemenuhan
atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan,
dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini (pasal 1 butir ke-22 KUHAP).
Gugatan
ganti kerugian hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang ditangkap, ditahan,
dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang
ditetapkan.
Ganti kerugian terdapat
dalam hukum perdata dan pidana. Namun antara keduanya memiliki perbedaan. Dalam
hukum pidana, ruang lingkup pemberian ganti kerugian lebih sempit dibandingkan
dengan pemberian ganti kerugian dalam hukum perdata. Ganti kerugian yang akan
dibahas adalah ganti kerugian dalam hukum pidana.
Ruang
lingkup ganti kerugian dalam hukum perdata lebih luas daripada ganti kerugian
dalam hukum pidana, karena ganti kerugian dalam hukum perdata (mengacu pada
Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata) adalah mengembalikan penggugat ke
dalam keadaan yang semula sebelum kerugian yang ditimbulkan oleh tergugat
terjadi. Dalam hukum perdata ganti kerugian bisa dimintakan setinggi tingginya
(tidak ada jumlah minimum dan maksimum) mencakup kerugian materil dan kerugian
immaterial. Kerugian materil yaitu kerugian yang bisa dihitung dengan uang,
kerugian kekayaan yang biasanya berbentuk uang, mencakup kerugian yang diderita
dan sudah nyata-nyata ia derita. Sedangkan kerugian immaterial/kerugian idiil
atau kerugian moril, yaitu kerugian yang tidak bisa dinilai dalam jumlah yang
pasti.
Sedangkan ganti kerugian
dalam hukum pidana hanya terhadap ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan oleh
pihak korban. Artinya yang immateril itu tidak termasuk. Ganti kerugian dalam
hukum pidana dapat diminta terhadap 2 perbuatan, yaitu karena perbuatan aparat
penegak hukum dan karena perbuatan terdakwa.
Dalam ganti kerugian karena
perbuatan aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti
kerugian terhadap perbuatan aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa
atau terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan ganti kerugian jika
terjadi penghentian penyidikan ataupun penuntutan atas perkaranya dia.
Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan gugatan ganti kerugian lewat praperadilan.
Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus perkaranya, dan dalam putusan itu dia
dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa mengajukan ganti kerugian juga atas
perbuatan ini karena dia sudah dirugikan. Dia bisa mengajukan permohonan ke
pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur di dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika
permohonan diajukan setelah lewat 3 bulan maka ia sudah tidak memiliki hak lagi
untuk mengajukan ganti kerugian.
Apabila permohonan ganti
kerugian atas akibat penghentian penyidikan ataupun penuntutan, itu melawati
jalur praperadilan. Itu sama saja berarti seperti kita mengajukan praperadilan.
Acara praperadilan diatur dalam Pasal 82 ayat (1) KUHAP, acaranya itu sama saja
seperti mengajukan praperadilan, yaitu mengajukan permohonan ke pengadilan
negeri, yang memang berwenang, 3 hari setelah saya mengajukan permohonan
tersebut pengadilan harus sudah menetapkan hari sidang,. Hakim dalam
praperadilan hanya berjumlah satu orang dengan persidangan yang dilakukan
secara cepat paling lama selama 7 hari. Setalah itu hakim harus sudah
menjatuhkan putusan atas permohonan praperadilan ganti kerugian yang dimohonkan
tersebut.
Jika terdakwa bebas,
tuntutan ganti kerugian dimohonkan ke pengadilan negeri dalam jangka waktu
maksimal 3 bulan sejak putusan bebas berkekuatan hukum tetap. Dalam jangka
waktu 3 hari setelah permohonan diterima pengadilan negeri harus menentukan
hakim yang akan memutus permohonan tersebut. Dalam hal ini (masalah ganti
kerugian) sebisa mungkin hakimnya adalah hakim yang memutuskan yang dulu
menangani perkara yang bersangkutan. Namun tidak terutup kemungkinan pada
prakteknya hakim yang menangani permohonan ganti kerugian akan berbeda misalnya
karena hakim yang menangani dimutasi atau sibuk dengan kasus lain. Permohonan
ganti kerugian tersebut harus sudah diputus maksimal 7 hari setelah sidang
pertama. Bentuk putusan tersebut berupa penetapan yang berisi besar jumlah
ganti kerugian atau mungkin juga penolakan atas permohonan ganti kerugian.
Ganti
kerugian merupakan hal baru yang diatur dalam hukum acara pidana Indonesia,
meskipun sebenarnya jauh sebelum KUHAP diundangkan UU No. 14 Tahun 1970 pasal 9
ayat (1) telah mengaturnya: “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut
atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian
dan rehabilitasi.” Kemudian ketentuan ini diubah dengan pasal 9 ayat (1) UU No.
4 Tahun 2004.
Berkenaan
dengan masalah ganti kerugian tersebut di atas maka dalam pelaksanaannya akan
timbul permasalahan sebagai berikut :
1. Kepada siapa tuntutan
ganti kerugian ditujukan dan dibebankan; oleh karena yang melakukan tindakan
adalah aparat negara maka sudah sepatutnya apabila tuntutan tersebut diajukan
kepada negara/pemerintah.
2. Berapa jumlah imbalan
uangnya; pasal 9 PP No. 27 Tahun 1983 menentukan jumlah ganti kerugian minimum
Rp 5.000,- dan maksimum Rp 1.000.000,- dalam hal tindakan aparat sehingga menyebabkan
yang bersangkutan mengalami sakit atau cacat sehingga tidak dapat melakukan
pekerjaannya atau mati maka besarnya imbalan uang, maksimum adalah Rp
3.000.000,- jo Keputusan Menkeu tgl. 31 Desember 1983 No. 983/KMK.01/1983.
3. Kapan batas waktu mengajukan
tuntutan ganti kerugian; KUHAP tidak mengatur hal tersebut, tetapi diatur dalam
PP No. 27 Tahun 1983 yaitu 3 bulan dan sejak putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap dalam hal tindakan keliru dari aparat penegak hukum
sebagaimana disebutkan dalam pasal 95 KUHAP. Serta 3 bulan dan sejak saat
pemberitahuan penetapan Praperadilan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 77
KUHAP.
Bentuk-Bentuk Ganti Kerugian
1. Tunggal, tuntutan ganti
kerugian dalam penghentian penyidikan atau penuntutan yang dibarengi dengan
penangkapan atau penahanan yang tidak sah, didalamnya hanya tergantung satu
tuntutan ganti kerugian. Karena semua tindakan yang dilakukan aparat penegak
hukum dalam proses pemeriksaan perkara merupakan satu kesatuan proses penegakan
hukum yang tak terpisahkan.
2. Alternatif, tuntutan
ganti kerugian ini dibuat pemohon agar tuntutan itu mencakup semua alasan
sesuai dengan jumlah tindakan yang dikenakan aparat penegak hukum kepadanya.
Misalnya dalam hal penghentian penyidikan atau penuntutan dibarengi dengan
penangkapan, penahanan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang,
di samping tuntutan ganti kerugian atas alasan penangkapan atau penahanan
sebagai tuntutan primair, pemohon dapat lagi mengajukan tuntutan alternatif
berupa tuntutan subsidair atas alasan penghentian penyidikan atau penuntutan.
3. Kumulatif, terhadap kasus
penghentian penyidikan atau pentuntutan yang dibarengi dengan penangkapan atau
penahan atau tindakan lain yang tidak berdasarkan undang-undang, dapat diajukan
tuntutan ganti kerugian secara kumulatif. Terhadap semua tindakan yang
dikenakan kepada tersangka atau terdakwa dapat diajukan tuntutan ganti kerugian
dengan jalan menggabungkan dan menjumlahkan ganti kerugian atas masing-masing
tindakan yang tidak sah tersebut. Putusan yang diberikan pengadilan sehubungan
dengan gugatan ganti kerugian berbentuk penetapan (pasal 96 ayat 1 KUHAP).
CARA PELAKSANAAN GANTI
KERUGIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA
Dalam ganti kerugian karena
perbuatana aparat penegak hukum, pihak yang berhak mengajukan permohonan ganti
kerugian terhadap aparat penegak hukum itu adalah tersangka, terdakwa, atau
terpidana. Tersangka atau terdakwa dapat
mengajukan ganti kerugian jika terjadi penghentian penyidikan ataupun
penuntutan atas perkaranya. Tersangka atau terdakwa juga dapat melakukan
gugatan kerugian lewat praperadilan. Tetapi untuk terdakwa yang sudah diputus
perkaranya dan dalam putusan itu dia dinyatakan tidak bersalah, maka dia bisa
mengajukan ganti kerugian juga atas perbuatan ini karena dia sudah dirugikan.
Dia bisa mengajukan permohonan ke pengadilan setidak-tidaknya dalam jangka
waktu 3 bulan sejak putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (diatur
dalam PP 27/1983. 3 bulan). Jika permohonan di ajukan lewat 3 bulan maka ia
sudah tidak memiliki hak lagi untuk mengajukan ganti kerugian.
Seorang tersangka, terdakwa, terpidana dapat mengajukan
ganti kerugian jika penahanan, penangkapan, penggeledahan, pengadilan dan
tindakan lain (tindakan diluar penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan,
dan tindakan tersebut memang tidak seharusnya dilakukan pada tersangka oleh
aparat penegeak hukum). Atas dirinya yang tanpa alasan yang berdasarkan UU atau
karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Saat yang tepat
untuk mengajukan ganti kerugian atas sah tidaknya penangkapan atau sah tidaknya
penahanan adalah sekaligus pada saat mengajukan praperadilan. Seorang
tersangkan atau terdakwa tidak bisa menuntut ganti kerugian yang besarnya
semaunya atau sesuka suka dia karena KUHAP menentukan jumlah maksimal tuntutan
ganti kerugian yang dapat dimintakan, yaitu minimal Rp.5000,- dan maksimal Rp.1
Juta atau Rp.3 Jt (Jika tindakan aparat penegak hukum telah menyebabkan sakit
atau cacat).
Di Indonesia baru dengan UUKK dalam pasal 9 di cantumkan ganti kerugian
dan rehabilitasi terhadap orang yang di tangkap,di tahan, dan/ atau di tuntut
secara tidak sah. Penjabaran dalam KUHAP pada akhir tahun 1981. sebelum
tercipta UUKK, di Indonesia belum ada peraturan tentang ganti kerugian dan
rehabilitasi,kecuali tentu melalui proses perdata yang di dasarkan kepada
“perbuatan melanggar hokum” (on recthmatige daad) atau perbuatan
melanggar hokum oleh penguasa” (onrecthmatige overheidsdaad ),
tersebut dalam pasal 1368 BW.
Dalam hukum acara Pidana lama (HIR) tidak diatur ganti kerugian.
Ketentuan ganti kerugian yang di sebabkan oleh penangkapan,penahanan yang tidak
sah (unlawful arrest) telah bersifat universal. Hal itu tercantum pula
dalam (international covenant on Civil and Political Rights).
Pasal 9 yang berbunyi : anyone who has been the victim of unlawful
arrest or detention shall have an enforceable rights to compensation. (seseorang
yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan tidak sah akan mendapat
hak menuntut ganti kerugian).
Ketentuan internasional ini telah di jabarkan pula dalam konvensi eropa
yang pada pasal 5 ayat (5) berbunyi :Everyone who has the victim of arrest
or detention in contravention to the provisions of the article an
enforceable right to compensation.
Pemikiran menciptakan peraturan di bidang ini telah
telah sejak beberapa tahun di lakukan. Ketika Oemar Seno Adji menjabat ketua
Mahkamah Agung, Telah di keluarkan peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1980
yang memperkenalkan kembali lembaga herziening. Bagaimana
proses meminta ganti kerugian setelah dibebaskan atau dilepas dari tuntutan
hukum sebagai putusan herziening, tidak diatur. Walaupun ada
ketentuan lama dalam reglement op de Strafvordering dahulu,
namun itu tidak dapat di terapkan karena selain tidak berlaku lagi, juga di
peruntukkan untuk golongan Eropa. Sebagai kaidah pencerminan pun
menurut pendapat penulis,aturan itu tidak dapat di pergunakan.
Diundangkannya KUHAP cita-cita tersebut dapat
terkabul,tercantum dalam pasal 95 sampai dengan 101 KUHAP. Ini merupakan
penjabaran Pasal 9 UUPKK tersebut.tetapi ketentuan dalam KUHAP ini masih kurang
sempurna, karena masih perlu dijabarkan dalam peraturan
pelaksanaan (peraturan pemerintah), antara lain ketentuan lain yang
tegas mengenai dalam hal-hal apakah ganti kerugian itu dapat di berikan dan
bagaimana hakim menilai besarnya ganti kerugian tersebut.
Tidak otomatis suatu perkara yang berakhir dengan
pembebasan atau lepas dari tuntutan hukum harus diberi ganti kerugian kalau
tersangka ditahan.di negeri belanda hal itu diserahkan kepada pertimbangan
hakim. Ini didasarkan kepada pertimbangan keadilan dan kebenaran (billijheid
en rechtvaardigheid). Pengadilan di sana pernah memutuskan menolak gnti
kerugian, walaupun terdakwa diputus bebas, karena hakim tidak yakin terdakwa
tidak bersalah untuk mana dia ditahan (Gerechtshof leeuwwaarden22
November 1926 dan Amsterdam, 8 November 1928). Dalam putusan lain dengan alasan
yang lain pula hakim menolak ganti kerugian karena terdapat suatu alasan
tentang keamanan masyarakat yang cukup penting untuk mengadakan penangkapan,
penahanan dan karena perbuatan-perbuatan yang gegabah (roekeloos) itu
dilakukan karena kesalahannya sendiri.
Sama dengan itu, Criminal indemnity law jepang
yang mengatakan bahwa sebagian atau seluruh permintaan ganti kerugian itu di
dasarkan atas pertimbangan yang layak (proper discretion) hakim dapat
ditolak, apabila tersangka atau terdakwa tang bersangkutan ditahan,
ditangkap,dituntut atau diadili dengan dasar membuat pengakuan-pengakuian
palsu, dengan makssutuntuk menyesatkan pejabat-pejabat penyidik, penun tut
umum, atau hakim, atau dengan memalsukan bukti-bukti untuk putusan.
Di negeri belanda menurut penelitian, hanya 4-5
dari 29 permintaan dapat di kabulkan dari tahun 1926-1938.
Menjadi masalah pula dalam hal pembebasan (vrijspraak)
dan pelepasan dari segala tuntutan hukum dengan hubungannya dengan penahanan,
ialah bagaimana jika terjadi dalam suatu perkara terdakwa didakwa
primair berdasar mana ia ditahan secara sah (sesuai dengan pasal 21 KUHAP) dan
subsidair berdasar mana (deliok yang didakwakan pada bagian subsidair) tidak
dapat dilakukan penahanan, sedangkan terdakwa dibebaskan dari dakwaan primair
itu, tetapi dipidana berdasar dakwaan subsidair.
Dalam hal ini pun menurut pendapat penulis, ganti
kerugian tidak perlu diberikan, karena pidananya berdasar dakwaan subsidair itu
harus dikurangi selama terdakwa atau terpidana berada dalam tahanan, yang
semula didasarkan atas dakwaan primair. Hal itu tercanttum dalam Pasal 22 ayat
(4) KUHAP yang berbunyi: ”Masa penangkapan dan/atau penahanan dikurung
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan”.
Berdasar HIR dahulu tidak ada ketentuan semacam itu. Hakim dapat memperhitungkan penahanan terdakwa
dalam penjatuhan pidana dapat juga tidak.
Jadi, menurut KUHAP pengurangan lamanya pidana
dikurangi dengan lamanya penahanan bersifat imperatif, berbeda dengan sistem
hukum acara pidana yang lama bersifat fakultatif. Menurut pendapat penulis,
kelalaian hakim mengurangi pidana yang di jatuhkan dengan lamanya penahanan
merupakan kekeliruan dalam menerapkan hukum, yang dapat dibanding.
B.
REHABILITASI (PASAL 97 KUHAP)
Yang
dimaksud dengan Rehabilitasi menurut pasal 1 butir ke-23 KUHAP adalah “hak
seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau
peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini.”
Tujuan
rehabilitasi adalah sebagai sarana dan upaya untuk memulihkan kembali nama
baik, kedudukan dan martabat seseorang yang telah sempat menjalani tindakan
penegakan hukum baik berupa penangkapan, penahanan, penuntutan atau pemeriksaan
di sidang pengadilan. Padahal tindakan yang dikenakan kepada dirinya merupakan
tindakan tanpa alasan yang sah menurut undang-undang.
Lembaga
yang berwenang memberikan rehabilitasi adalah pengadilan baik melalui proses
persidangan biasa maupun melalui proses persidangan praperadilan. Putusan
pemberian rehabilitasi diberikan kepada terdakwa apabila ia oleh pengadilan
diputus bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van
rechtsvervolging) apabila perkaranya telah mempunyai kekuatan hukum tetap
(pasal 97 ayat 1 KUHAP). Sedang yang melalui proses praperadilan ialah apabila
perkaranya tidak dilimpahkan ke pengadilan, (pasal 97 ayat 3 jo pasal 77
KUHAP). Rehabilitasi dapat diajukan oleh tersangka, terdakwa, ahli warisnya
(keluarganya) maupun kuasanya.
Permintaan
rehabilitasi atas penangkapan atau penahanan yang tidak sah diajukan kepada
pengadilan yang berwenang selambat-lambatnya 14 hari setelah putusan mengenai
sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon.
Apabila
pengadilan menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau
apabila permohonan pemohon dalam praperadilan dikabulkan pengadilan, maka dalam
amar putusan harus dicantumkan pemberian rehabilitasi yang berbunyi “memulihkan
hak terdakwa/pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya”.
Jadi bagi terdakwa yang diadili dan diputus bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, tidak perlu mengajukan permohonan rehabilitasi karena pemberian
rehabilitasi tersebut dengan sendirinya harus diberikan oleh pengadilan yang
memutus dan sekaligus mencantumkan dalam amar putusannya.
Ketentuan tentang rehabilitasi didalam KUHAP hanya
pada satu Pasal saja, yaitu Pasal 97. sebelum Pasal itu, dalam Pasal 1butir 23
terdapat definisi tentang rehabilitasi sebagai berikut.
”Rehabilitasi
adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang di berikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut,
ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini.”
Senada
dengan definisi tersebut, Pasal 97 ayat (1) KUHAP berbunyi: “seseorang yang
berhak memperoleh rehabillitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusanya telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.” selanjutnya ditentukan bahwa rehabilitasi tersebut
diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan tersebut di atas
(Pasal 91 ayat (2) KUHAP). Yang tidak dijelaskan dalam KUHAP ialah apakah
rehabilitasi akibat putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
tersebut bersifat fakultatif (dituntut oleh terdakwa) ataukah imperatif.
Artinya, setiap kali hakim memutus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap harus diberikan rehabilitasi. Hal;
ini mestinya diatur dalam atura pelaksanaan KUHAP.
Selanjutnya
perlu diperhatikan, bahwa bagaimana halnya dengan ketentuan ganti kerugian,
pada proses rehabilitasi pun dibedakan antara perkara yang diajukan
kepengadilan dan yang tidak. Acara untuk perkara yang diajukan kepengadilan
negeri berlaku ketentuan Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP tersebut, sedangkan
yang tidak, diputus oleh hakim prapengadilan sebagaimana yang ditentukan dalam
Pasal 77 KUHAP. Hal ini disebut oleh Pasal 97 ayat
(3) KUHAP.
Bagaimana bunyi dalam putusan rehabilitasi tersebut tidak diatur dalam
KUHAP, sehingga perlu dicantumkan pula dalam aturan pelaksanaan. Begitu pula
halnya dengan acaranya, apakah harus dituntut oleh tersangka atau terdakwa.
ACARA PELAKSANAAN GANTI KERUGIAN
Di muka telah diuraikan tentang penyertaan ganti kerugian itu yang
sebagian tersebut dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2). Sedangkan ayat (3) dan (4)
pasal itu mengatur tentang pelaksanaan ganti kerugian yang dimaksud.
Dalam aturan pelaksanaan ini tidak disebut-sebut lagi tentang
praperadilan yang mempunyai acaranya sendiri. Ini berarti acara pelaksaanaan
ganti kerugian dalam Pasal 95 ayat (3) dan (4) KUHAP ini hanya mengatur ganti
kerugian yang berhubungan dengan perkara yang di ajukan ke pengadilan negeri.
Acaranya demikian.
1. Orang yang berhak
mengajukan tuntutan ganti kerugian ialah tersangka, terdakwa, terpidana, atau
ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara
yang bersangkutan (Pasal 95 ayat (3) KUHAP).
2. Untuk memeriksa dan
memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut, ketua pengadilan sejauhn
mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan.
Apa maksud ketentuan ini tidak di jelaskan. Menurut pendapat penulis, ketentuan
ini tidak perlu dan berkelebihan, karena kalau dibaca penjelasan Pasal 95 ayat
(1) maka timbul ketidakserasian. Pnjelasan itu berbunyi:
”Yang
dimaksud dengan kerugian karena dikenakan tindakan lain ialah kerugian yang
ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan, dan penyitaan yang tidak sah
menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama
daripada pidana yang dijatuhkan.”
Perlu diperhatikan
secara seksama kata-kata ”...penahanan yang lebih lama daripada pidana
yang dijatuhkan”. Ketentuan ini akan mendorong hakim yang
menyidangkan suatu perkara untuk menjatuhkan pidana tidak akan kurang daripada
lamanya penahanan, karena kalau tidak demikian, akan menimbulkan tuntutan ganti
kerugian, yang menurut ketentuan tersebut dimuka, hakim itu juga yang akan
memeriksa dan memutuskannya.
Inilah
rasionya sehingga penulis mengataka ketentuan tersebut tidak perlu dan
berlebihan. Penahanan yang sah pada umumnya tidak lebih lama daripada maksimum
ancaman pidana delik-delik yang pembuatnya dapat ditahan menurut Pasal 21 ayat
(4) KUHAP, kecuali Pasal 282 ayat (2), Pasal 296, dan Pasal 506 KUHP
yang ancaman pidananya ringan.
3. Pemeriksaan dan putusan mengenai tuntutan ganti kerugian mengikuti acara
prapradilan.
4. Putusan tentang pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan yang memuat
dengan lengkap semua hal yang di pertimbangkan sebagai alasan bagi putusan
tersebut (Pasal 96 ayat (1) dan (2) KUHAP).
C.
PENGGABUNGAN PERKARA GUGATAN GANTI KERUGIAN.
Hal ini
diatur dalam pasal 98 sampai dengan pasal 101 KUHAP. Pasal 98 ayat (1) KUHAP
menyebutkan bahwa “ Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam
suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian
bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara
pidana itu”. Ganti kerugian yang dimaksud pada gabungan perkara gugatan ganti
kerugian, bukan tuntutan ganti kerugian akibat penangkapan, penahanan,
penuntutan atau peradilan yang tidak berdasar undang-undang. Akan tetapi
merupakan tuntutan ganti kerugian :
1.
yang ditimbulkan tindak
pidana itu sendiri;
2.
tuntutan ganti kerugian yang
diakibatkan tindak pidana kepada si pelaku tindak pidana yaitu terdakwa, dan
3.
tuntutan ganti rugi yang
diajukan kepada terdakwa digabung dan diperiksa serta diputus sekaligus
bersamaan dengan pemeriksaan dan putusan perkara pidana yang didakwakan kepada
terdakwa.
Maksud dan tujuan dari
penggabungan perkara ini adalah :
1.
untuk menyederhanakan proses
pemeriksaan dan pengajuan gugatan ganti kerugian itu sendiri, sehingga dapat
dicapai makna yang terkandung dalam asas peradilan yang sederhana, cepat dan
biaya ringan;
2.
agar sesegera mungkin orang
yang dirugikan mendapat ganti kerugian tanpa melalui proses gugat perdata
biasa. Serta tidak diharuskan lebih dulu menunggu putusan pidana baru
mengajukan gugatan ganti kerugian melalui gugatan perkara perdata biasa. Dengan
demikian penggabungan gugatan ganti kerugian merupakan jalan pintas yang dapat
dimanfaatkan orang yang dirugikan untuk secepat mungkin mendapat pembayaran
ganti kerugian.
Ketentuan penggabungan
perkara ini merupakan hal baru dalam sistem hukum pidana Indonesia, meskipun
dalam praktek di lapangan hal ini masih terhitung jarang dilakukan oleh para
pencari keadilan yang dalam hal ini “korban tindak pidana” dalam mempergunakan
upaya/lembaga ini. Lembaga ini dalam prakteknya memang masih jauh dari
pencapaian rasa keadilan masyarakat khususnya korban tindak pidana. Anggapan
adanya ketidakadilan tersebut dikarenakan pemenuhan ganti kerugian yang hanya
didasarkan pada biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan, dengan
kata lain ganti kerugian yang pemenuhannya dapat digabungkan dengan perkara
pidana yang bersangkutan adalah dalam hal pemenuhan biaya materiil yaitu
penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh korban, sedang biaya inmateriil
harus dilakukan dengan mengajukan gugatan perdata biasa.
DAFTAR PUSTAKA
. Monang siahaan, filsafah dan filosofi hukum acara pidana,
Jakarta, 2017
·
Kuffal, H.M.A, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, UMM Press, 2003.
·
Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali
Press, 1983.
·
Sutadi, Marianna, Tanggung Jawab Perdata Dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah
Agung, RI, 1992.
·
Yahya,
Harahap, M, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika, 2002
No comments:
Post a Comment