Hukum Adat ( Hak Ulayat Suku Nagari di Sumatera Barat )
(
Hak Ulayat Suku Nagari di Sumatera Barat )
Dibuat
dan disusun oleh :
1. Zico
Wijaya ( 4011611089 )
2. Sohibul
Fadilah ( 4011611063 )
Universitas
Bangka Belitung
Fakultas
Hukum
Ilmu
Hukum
T.A
2018/2019
Kata Pengantar
Segala
puji kepada Allah SWT. Atas berkat rahmatnyalah kami dapat menyelesaikan
makalah Hukum Adat ini tepat waktu.
Kami merasa dengan makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada pembaca dalam mengenal tentang Hak Ulayat Suku
Nagari, sekaligus dengan selesainya makalah ini dapat menuntaskan tugas kami
dalam mata kuliah Hukum Adat.
Dan tidak lupa kami meminta maap
atas kesalahan – kesalahan terhadap yang ada dalam makalah ini, dengan adanya
masukan dari bapak dan pembaca mungkin akan memperbaiki isi dari makalah ini menjadi
lebih baik.
Dengan ini kami mempersembahkan
makalah ini dengan penuh rasa terima kasih kepada bapak dan pembaca semoga
mendapat manfaat. Amin...
Pangkal Pinang, 10 September 2018
Penulis
Daftar Isi
2.1 Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
2.2 Hak Ulayat Nagari di Sumatera Barat
2.3 Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Sumatera Barat
2.3.2 Ninik Mamak dan
Penghulu
2.3.3 Struktur
Kerapatan Adat Nagari (KAN)
2.3.4 Kewenangan dan Peran KAN
2.4 Eksistensi Tanah Ulayat di Sumatera Barat
Bab I
( Pedahuluan )
Sebagai
masyarakat hukum adat, maka tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Tanah
merupakan tempat dimana warga masyarakat hukum adat bertempat tingal, dan tanah
juga memberikan penghidupan baginya. Mengenai hal ini, Iman
“sebagai
salah satu unsur essensil pembentu negara, tanah memegang peran vital dalam
kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan,
lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. dinegara yang rakyatnya
berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah
untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non”
Ahli hukum adat
indonesia mempergunakan pelbagai istilah, seperti misalnya, hal purba
(Djojodigoeno), hak pertuanan (Soepomo), hak bersama (Hazairin), atau
seringkali ada disebutkan “hak ulayat”
Ter
Haar menyatakan, bahwa sebagai suatu totalitas, maka masyarakat hukum adat
menerapkan hak ulayat dengan cara menikmati atau memungut hasil tanah, hewan
maupun tumbuh-tumbuhan. Sebagai badan penguasa, maka masyarakat hukum adat
membatasi kebebasan kebebasan warga masyarakat untuk memungut hasil-hasil
tersebut.
Dengan
demikian, maka masyarakat hukum adat sebagai suatu totalitas, memiliki tanah
dan hak tersebut dinamakan hak ulayat yang oleh hazairin disebut sebagai hak
bersama.noleh karena itu, maka masyarakat hukum adat menguasai dan memiliki
tanah berbatas yang dinmakan lingkungan tanah ( wilayah beschikkingskring).
Lingkungan tanah tersebut lazimnya berisikan tanah kosong murni, tanah larangan
dan lingkungan perusahaan yang terdidi dari tanah yang di atasnya terdapat
pelbagai bentu usaha sebagi perwujudan hak pripadi atau hak peserta atas tanah.
-
Pengertian Tanah Hak Ulayat.
-
Sejarah Minangkabau.
-
Kerapatan Adat Nagari ( KAN ) Disumatera
Barat.
-
Eksistensi Tanah Ulayat Di Sumatera
Barat.
Adapun Tujuan Penulisan dari rumusan
masalah ini adalah :
-
Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Adat.
-
Untuk Mengenal tentang Hak Ulayat.
-
Untuk Mengetahui Sejarah Minangkabau.
-
Untuk Mengetahui Kerapatan Adat Nagari (
KAN ) Di Sumatera Barat.
-
Untuk Mengetahui Eksistensi Hak Ulayat
Di Sumatera Barat.
Supaya makalah ini dapat menjadi bahan referensi untuk
mempelajari tentang Hak Ulayat Suku Nagari dan sebagai wawasan bagi pembaca.
Bab II
( Pembahasan )
2.1
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hak ulayat adalah nama yang diberikan
oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara
masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut
hak ulayat. Dalam perpustakaan Hukum Adat yang berbahasa Belanda, mengikuti
penamaanya oleh van Vollenhoven, lembaganya disebut beschikkingsrecht. Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan
kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang
terletak dalam wilayahnya[2]
Hak ulayat diatur dalam Pasal 3 UUPA yang berbunyi “ Dengan mengingat ketentuan-ketentuan
dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dan masyarakat-masyarakat hukum
adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar persatuan bangsa serta
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang
lebih tinggi.”[3]
Yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat
adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang
berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Menurut Boedi Harsono, hak ulayat masyarakat hukum adat
dinyatakan masih apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:[4]
a.
Masih adanya suatu kelompok orang sebagai
warga suatu persekutuan hukum adat tertentu, yang merupakan suatu masyarakat
hukum adat;
b.
Masih adanya wilayah yang merupakan
ulayat masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari sebagai tanah kepunyaan
bersama para warganya sebagai “labensraum”nya;
c.
Masih adanya penguasa adat yang pada
kenyataannya dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksanaan hak ulayat.
Hak Ulayat masyarakat hukum adat
dianggap masih ada menurut Pasal 2 ayat (2) Permen Agraria/Kepala BPN No. 5
Tahun 1999, apabila:
a.
Terdapat sekelompok orang yang masih
terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan
hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan
tersebut dalam kehidupan sehari-hari;
b.
Terhadap tanah ulayat tertentu yang
menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya
mengambil keperluan hidupnya sehari-har; dan
c.
Terdapat tatanan hukum adat mengenai
pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati
oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Apabila dipandang dari
sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka lingkungan tanah mungkin dikuasai dan
dimiliki oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu atau beberapa masyarakat
hukum adat. Oleh karena itu biasanya dibedakan antara[5]:
a. Lingkungan
tanah sendiri, yang lingkungan tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh satu
masyarakat hukum adat, misalnya, masyarakat hukum adat tunggal (desa di Jawa),
atau masyarakat hukum adat atasan (kuria di Angkola), atau masyarakat hukum
adat bahwa (huta di Penyabungan).
b. Lingkungan
tanah bersama, yaitu suatu lingkungan tanah yang dikuasai da dimiliki oleh
beberapa masyarakat hukum adat yang setingkat dengan, alternatif-alternatif ,
sebagai berikut:
I)
Beberapa masyarakat hukum adat tunggal,
misalnya, beberapa belah di Gayo.
II)
Beberapa masarakat hukum adat atasan,
misalnya, luhat di padang lawas.
III) Beberapa
masyarakat hukum adat bawahan, misalnya, huta-huta di Angkola.
Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu
masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataanya masih ada. Masih
ada hak ulayat pada masyarakat hukum tertentu, antara lain dapat diketahui dari
kegiatan sehari-hari kepala adat dan para tetua adat dalam kenyataannya,
sebagai pengenban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan
tanah ulayat, yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat
yang bersangkutan.[6]
Pengakuan akan adanya hak ulayat
atau hak bersama, juga tercantum di dalam keputusan Mahkamah Agung nomor 75
K/Sip./1969 nomor 76 K/Sip./1969. Apabila ditelaah penelitian yang pernah
dilakukan di sumatera barat, maka peralihan lingkungan tanah, dikemukakan
hal-hal sebagai berikut (Tasyrif Aliumar Hamdan 1977-1978:241,242$.
“Manah sebagai hubungan kaum yang
terjalin antara persekutuan hukum adat (masyarakat) dengan tanah yang
ditempatinya itu, ada tiga macam, sesuai dengan tingkatan masyarakat hukum di
daerah ini: yaitu,
-
Manah kaum
-
Manah suku
-
Manah nagari
Sesuai dengan tingkatan-tingkatannya manat
tersebut diatas maka mengenai pemilikan dan penguasaan tana itu, ada pula tiga
tingkatan pemilikan dan penguasaannya:
1. Manah
kaum, ini dimiliki oleh penghulu/datuk sebagai kepada kaum dalam kaumnya,
meskipun ia sebagai penghulu pucuk tetapi didalam kaumnya sendiri dia pula
sebagai penguasa tanah.
2. Manah
suku, dikuasai dan dimiliki oleh penghulu-penghulu dalam pasukuan, baik
penghulu pucuk maupun penghulu andiko secara bersama-sama.
3. Manah
nagari, dimiliki oleh penghulu-penghulu dalam nagarai yang bersangkutan secara
bersama-sama, terutama penghulu pucuk dalam nagari (adat koto piliang) dan
seluruh penghulu suku (dalam adat bodi caniago)”.
“Di nagari-nagari yang
paling kelihatan adalah manah kaum, yang telah diberikan penguasaannya kepada
kaum sendiri. Sedangkan manah suku di sini walaupun ada tetapi umumnya sudah
digarap pula oleh anggota kaum itu sendiri di dalam persukuannya atau
dikerjakan oleh orang lain persukuan. Jadi dengan demikian “manah” ini berlaku
ke luar dan kedalam.”
Masyarakat hukum adat
adalah sekelompok orang yang terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama satu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas
dasar keturunan.
2.2
Hak Ulayat Nagari di Sumatera Barat[7]
2.2.1
Sejarah Minangkabau
Bersamaan
dengan kedatangan nenek moyang orang Minangkabau elah membagi jenis persukuan
dari empat suku, yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Kelompok-kelompok
persukuan tersebut memilih empat onegal di tempat-tempat yang ketinggian
(perbukitan dan pegunungan). mereka membagi hutan antara persukuan sebagai
ulayatnya masing- imasing, Kemudian kedatangan rombongan lain memilih tempat
tinggal di empat-tempat yang kerendahan (lembah dan daratan sepanjang pinggiran
sungai), dan mereka juga telah membagi lembah dan daratan sepanjang pinggiran
sungai antara persukuan sebagai ulayat masing-masing.
Kedatangan nenek moyang orang
Minangkabau di gelombang pertama yang mengulayati daerah perbukitan dan
pegunungan, kemudian disusul oleh kedatangan gelombang kedua yang mengulayati
daerah lembah dan daratan sepanjang pinggiran sungai, itu berarti bahwa semua
wilayah alam Minangkabau sudah ada yang berwenang di atasnya. Daerah pegunungan
dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, diulayati oleh
persukuan yang datang pada gelombang pertama. Demikian pula daerah
lembah-lembah dan sungai serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
diulayati oleh persukuan yang datang pada gelombang kedua arena masing-masing
suku, baik yang datang pada gelombang pertama pun pada gelombang kedua,
mempunyai tanah ulayat (tanah ulayat suku) cukup luas, maka para pemegang
ulayat pada waktu itu dikenal juga dengan sebutan raja-raja gunung atau
raja-raja sungai.
Dengan demikian, tanah ulayat suku telah
berbentuk semenjak kedatangan nenek moyang Minangkabau di gelombang pertama dan
kedua. Sekalipun belum daerah yang diulayati itu ditempati, namun seluruh
wilayah, mulai dari gunung-gunung sampai ke lembah-lembah sudah ada yang punya
atau sudah ada yang mengendalikannya dengan sistem hutan jauah baulangi, hutan
dakek bakundaro. Hutan jauah baulangi, artinya sekalipun hutan itu belum diolah
namun tetap dikunjungi secara berkala oleh yang mempunyai ulayat untuk
mengambil berbagai hasil-hasil hutan yang terdapat di dalamnya atau sekadar
untuk melakukan pengawasan terhadap lahan yang berada dalam kewenangannya.
Hutan dakek bakundaro artinya hutan itu sudah diolah untuk dijadikan tempat
perladangan (taratak) atau untuk permukiman (dusun atau koto) Lahirnya mamangan
di Minangkabau yaitu sejengkal tanah pun di Minangkabau yang tidak berpunya,
tanah sudah terbagi habis menjadi tanah-tanah ulayat suku.
Selanjutnya kedatangan nenek moyang
Minangkabau gelombang berikutnya mendapati daerah pegunungan, lembah, dan daratan
sepanjang pinggiran sungai telah diulayati oleh masing-masing persukuan yang
datang lebih awal, dengan sendirinya harus bergabung dengan penduduk yang
tinggal di lereng-lereng perbukitan atau pegunungan dan dengan mereka yang
tinggal di lembah atau di daratan sepanjang pinggiran sungai.
Sesuai dengan perkembangan waktu, kalau
tadinya kecil sekarang sudah menjadi besar, kalau tadinya anak kemenakan belum
banyak sekarang sudah berkembang biak. Bertambahnya jumlah anak kemenakan
berarti pada satu sisi jumlah anak kemenakan yang memanfaatkan tanah ulayat
suku semakin banyak dan pada sisi lainnya tanah ulayat suku semakin berkurang.
Dengan kata lain tanah ulayat suku sebagian telah beralih menjadi kewenangan
kaum. Tanah-tanah yang kewenangan berada pada kaum (Mamak Kepala Waris) disebut
dengan tanah ulayat kaum atau dikenal juga dengan sebutan harato pusako tinggi;
harato pusako bertembilang rayuan, bertembilang besi, atau bertembilang tanah
Harta pusaka tinggi; harta pusaka bertembilang ruyung; bertembilang besi;
bertembilang emas dan perak).
Tanah ulayat kaum bertambilang ruyung
berarti, tanah tersebut oleh nenek moyang mereka diperoleh melalui mancacang
marateh (menebang merateh dan manaruko) di tanah ulayat sukunya. Pembentukan
tanah ulayat kaum seperti dikemukakan di atas (melalui mancacang marateh),
bahwa tanah ulayat kaum bermula dari nenek moyang mereka yang memanfaatkan
tanah ulayat suku sebagai tempat tinggal, membuat ladang dan manaruko dan tanah
tersebut diwariskan kepada anak kemenakan secara turun temurun.
Tanah ulayat menurut orang Minangkabau
adalah warisan dari mereka yang mendirikan Nagari. Tanah tersebut bukan saja
kepunyaan umat yang ada sekarang, akan tetapi juga menjadi hak generasi yang
akan datang Berdasarkan hal itu maka hak ulayat bagi orang Minangkabau
mengandung tiga dimensi, yaitu:
a) Hak ulayat merupakan hak atas tanah
yang mereka terima turun
b) Hak ulayat merupakan hak yang sama
dari seluruh warga masyarakat
c Hak ulayat bukan saja dari yang hidup
sekarang tetapi juga hak dari temurun dari para leluhurnya yang mendirikan
Nagari; hukum secara keseluruhan generasi yang akan datang (sustainable development).
Setiap Nagari Minangkabau mempunyai hak
ulayat dengan batas batas yang sesuai dengan keadaan alam sekitarnya, seperti
puncak bukit atau sungai. Luas wilayah suatu Nagari tidak sama, tergantung
kepada posisi Nagari tetangganya. Jika tidak ada Nagari tetangga maka luasnya
ditentukan dengan batas kemampuan berjalan seseorang mungkin sampai di puncak
bukit, tebing yang curam, sungai yang deras, hutan yang lebar yang tidak
tertembus oleh manusia. Ada dua macam hak ulayat dalam uatu nagari. vaitu hak
ulayat nagari dan hak ulayat kaum. Ulayat Nagari berupa hutan yang menjadi
cagar alam dan tanah disebut hutan tinggi. Ulayat kaum adalah tanah yang
dimanfaatkan dan dikelola. Ulayat Nagari di bawah kekuasaan Penghulu Suku yang
juga disebut penghulu empat suku, sedangkan ulayat kaum di bawah kekuasaan
penghulu andiko yang menjadi hasil atau mengambil pajak hasil hutan yang
diperdagangkan. Di sebagian Nagari di Minangkabau ada tanah ulayat nagari
tersebut penggunaannya diatur oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) .
Ulayat menurut ajaran adat Minangkabau
adalah kekuasaan atau kewenangan yang dipunyai masyarakat hukum adat atas
wilayah atau ruang tertentu, yang merupakan lingkungan hidup para warganya,
untuk menikmati manfaat sumber daya alam bagi keangsungan hidupnya, yang timbul
dari hubungan lahiriah dan batiniah, turun-temurun dari nenek moyang sampai ke
generasi sekarang dan diteruskan untuk generasi yang akan dating.
Ulayat dalam tambo adat Minangkabau
adalah meliputi tanah, tumbuh tumbuhan yang tumbuh di atas tanah, dan batuan,
serta kekayaan alam yang berada di dalamnya.
"Sagalo nego hutan tanah, kok ngalau nan babunyi dari jiriek ann sabatang
sampai ka rumpuik nan sahalai, kok capo nan sarumpun, atau batu nan sabuah, kok
aie nan satitiak, kok lauik nan sadidiah, ka ateh tambun jantan, ka bawah
takasiak bumi, adalah penghulu nan punyo ulayat (segala tumbuhan di hutan
atau tanah, seperti ngalau yang mengandung isi dari jirek yang sebatang, sampai
rumput yang helai, seperti capo yang serumpun, sampai ke batu yang sebuah,
sampai ke air yang setitik, sampai ke laut yang sedidih, ke angkasa berembun
jantan, ke bawah sampai ke perut bumi, semuanya penghulu yang punya ulayat).
Di
samping itu, dalam tambo adat Minangkabau didapatkan kejelasan tentang ulayat:
1)
Ulayat di Minangkabau tidak mengandung istilah pemisahan antara permukaan bumi
dengan segala isinya;
2)
Ulayat berada di tangan penghulu.
Dalam
tambo juga disebutkan, penghulu sebagai pemimpin masyarakat hukum adat dan
penguasa ulayat mempunyai tanggung jawab untuk mengatur penggunaan, pemanfaatan
dan pewarisan ulayat kepada kemenakannya. Demikian dalam tambo Minangkabau
disebutkan:
Biriek biriek tabang
kasamak (birik-birik terbang ke semak)
Dari samak tahang ka
halaman (dari semak terbang ke halaman)
Dari niniak turun ka
mamak (dari mamak turun kemenakan)
Pusako baitu juo
(pusaka seperti itu jua)
Idrus
Hakimi, membagi empat cara untuk mendapatkan suatu hak menurut adat
Minangkabau, yaitu:
1.
Sebab dek mana, yaitu harta pusaka
diterima dari nenek moyang yang merupakan kepunyaan kaum suatu wilayah dalam
lorong kampung misalnya pandam pakuburan, rumah gadang, surau, lubuh tapian,
dan sosok jerami.
2.
Sebab dek cancang latich, tambang
taruko, yaitu sawah, ladang atau tambang yang dibuka dan dikerjakan oleh
orang-orang dan dilanjuti oleh anak kemenakan secara turun-temurun.
3.
Sebab dek hibah, yaitu yang didapat
dari pemberian atau hidah orang lain yang menjadi milik penerima.
4.
Sebab dek tabuih atau bali, yaitu
diperdapat dengan pembelian dan penukaran.
Dari
keempat jalan mendapatkan hak tersebut di atas dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu:
1.
Sebab dek mana dan sebab dek cancang latieh, tambang taruko
adalah ulayat Nagari dan ulayat kaum merupakan Pusaka Tinggi.
2.Sebab dek hibah dan sebab dek tabuih bali adalah hak keluarga yang merupakan Harta
Pusaka Rendah.
2.3
Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Sumatera Barat
2.3.1
Komunitas Nagari
Lembaga
pertama yang diberi otoritas oleh komunitas orange Minangkabau adalah Mamak,
kemudian berkembang ke atas kepada penghulu, kemudian berpucuk pada kerapatan
adat, yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN)." mempunyai kewenangan dan peran
dalam pengelolaan tanah ulayat nagari yang dimaksud dengan kewenangan adalah
hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu, Sedangkan adalah
perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh pemegang kedudukan di
masyarakat. Istilah wewenang sering kali disamartil dengan istilah kemampuan
atau bevoegdheid dalam ranah hukum perdata Istilah wewenang sebenarnya tidak
dapat disamakan dengan bevoegdheid karena kedua istilah tersebut mempunyai
perbedaan yang mendasar berkaitan dengan karakter hukumnya. Bevoegdheid digunakan
dalam konsep hukum publik dan hukum privat, sedang istilah wewenang hanya
berlaku dalam konsep hukum publik. Wewenang mengandung arti kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan hukum publik. Atau dengan perkataan lain, wewenang
adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang undang atau ketentuan
yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.
Wewenang merupakan bagian yang sangat
penting dalam hukum administrasi, karenanya pemegang hak baru dapat menjalankan
fungsinya atas dasar wewenang yang diperoleh. Keabsahan tindakan diukur
berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (legaiteit
beginselen).
Suatu kewenangan harus didasarkan pada
ketentuan hukum yang berlaku sehingga bersifat sah. Perihal kewenangan dapat
dilihat pada konstitusi negara yang memberikan legitimasi kepada badan publik
dan lembaga negara dalam menjalankan fungsinya. Suatu kewenangan dapat
diperoleh dari 3 (tiga) sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
Kewenangan atribusi lazim digariskan melalui pembagian kekuasaan negara yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar sedang delegasi dan mandat merupakan suatu
kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Perbedaan antara kewenangan
berdasarkan delegasi dan mandat menurut Philipus M. Hadjon adalah terletak pada
prosedur kelimpahannya, tanggung jawab dan tanggung gugatnya serta kemungkinan
dipergunakannya kembali kewenangan tersebut.
Mamak adalah lelaki yang dituankan dalam
rumah gadangnya atau loh familinya. Di Minangkabau ia merupakan orang ka pai
tampek batana ulang tampek babarito (orang tempat bertanya dan tempat melapor),
vang memimpin dengan mufakat melalui musyawarah di rumah kandangnya Regitu juga
peranan yang dipunyai penghulu. Orang yang dituankan di dalam kampung atau
sukunya, berdasarkan teritorial genealogis, yang memimpin sukunya dengan
mufakat yang diambil melalui musyawarah suku di surau sukunya. Kebiasaan
musyawarah mencari mufakat inilah yang kemudian yang membangun institusi rapat
dalam kehidupan famili, suku, dan rapat adat nagari. Lembaga Kerapatan Adat
Nagari (KAN) adalah merupakan himpunan dari ninik mamak atau penghulu yang
mewakili suku atau kaumnya. dan dibentuk berdasarkan atas hukum adat nagari
setempat.
Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) ini
merupakan lembaga tertinggi dalam hal urusan adat serta hukum adat dalam suatu
nagari. Ninik mamak atau penghulu yang terhimpun dalam lembaga ini mempunyai
kedudukan dan wewenang serta mempunyai hak yang sama untuk menentukan hidup dan
perkembangan hukum adat.
Mamak dan penghulu merupakan pimpinan
dalam kaum, namun mereka selalu mengambil keputusan berdasarkan mufakat melalui
musyawarah kerapatan, terutama yang menyangkut struktur ke luar dari rumah
gadangnya atau sukunya, seorang penghulu akan mewakili sukunya dalam nagari,
Mufakat mereka untuk memimpin diambil dalam rapat adat nagari yang dinamakan
Kerapatan Adat Nagari. Kerapatan Adat Nagari ini merupakan institusi rapat yang
dihadiri oleh kepala suku yang sudah berdiri (batagak penghulu) dalam nagari.
Mereka merupakan perutusan suku/kampung mereka masing-masing.
Kampung-kampung yang mempunyai sifat
teritorial genealogis tersebut dalam perutusan penghulu ke Kerapatan Adat Nagari
(KAN), 2 (dua) kualitas sekaligus, yakni kualitas teritorial dan kualitas
genealogis. Dalam kualitas teritorial ia hadir dengan prinsip dan cara
teritorial kepentingannya, dan sebagai kualitas geneologis ia hadir dengan
prinsip dan cara mufakat genealogis kepentingan. Kedua prinsip ini mempunyai
kaidah-kaidah yang utuh, didukung, dipertahankan, dan dikembangkan berdasarkan
ketentuan yang berlaku; sekali aia gadang sakali tapian barubah (sekali air
besar, sekali tepian berubah). Kaidah-kaidah iniada yang bersifat prinsipil
yang harus dipacik arek, diganggam taguah (di pegang erat, digenggam teguh),
dan ada pula yang bersifat teknis yang menyangkut tata cara pelaksanaannya.
Hasil mufakat yang didapatkan melalui
kerapatan adat nagari, oleh para penghulu disampaikan kepada masyarakat
sukunya, yang biasanya disampaikan melalui mamak-mamak rumah gadang. Hasil
mufakat ini disampaikan juga di surau-surau, yang berlangsung secara dialogis.
Setiap penghulu sangat memerlukan agar
hasil mufakat mereka di kerapatan adat nagari menjadi komunikatif, mempunyai
otoritas. ditaati dan dapat menjadi milik masyarakat sukunya, terutama untuk
dapat menghadapi bermacam-macam tantangan hidup dalam komunitas nagari. Pada
tingkat nagari, biasanya kepentingan masyarakat suku dan kepentingan teritorial
saling bertemu, saling menjaga, yang akhirnya melahirkan dan menumbuhkan
kebutuhan mufakat. Kepentingan inilah yang mendorong diadakannya musyawarah di
dalam kerapatan adat nagari. sehingga kerapatan adat nagari menjadi lembaga tertinggi
nagari yang diakui dan ditaati.
Dalam struktur ke dalam kerapatan adat
nagari, musyawarahnya secara lahir dipimpin oleh tuo rapek (tua rapat) dan
secara batin dipimpin oleh bana (benar), yang diperoleh melalui kata mufakat,
kamanakan barajo ka mamak. mamak barajo
ke panghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat kembali kanan bana (kemenakan
beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat, mufakat
kembali kepada yang benar),
Dari hal tersebut tumbuh dan
berkembangnya pimpinan tunggal mamak dan penghulu, yang menyebabkan komunitas
nagari mempu mempertahankan stabilitas dinamis, dalam kurun waktu yang relatif
panjang. Stabilitas yang dinamis inilah kemudian yang mengantarkan
nagari-nagari di Minangkabau menjadi semacam republik-republik kecil (desa),
seperti yang sering disebut oleh peneliti-peneliti asing.
Kelembagaan adat nagari ini telah
berkembang berabad-abad lamanya jauh sebelum penjajahan Belanda datang ke
Indonesia (Sumatera Barat) Dalam waktu yang relatif panjang itu, orang
Minangkabau telah hidup di bawah pimpinan penghulu penghulu yang terorganisir
dalam lembaga kerapatan adat, yang terdapat pada setiap nagari.
Kepemimpinan nagari di bawah penghulu
penghulu ini, setidak-tidaknya telah mengalami dua pengaruh perkembangan. Pertama,
pengaruh agama hindu yang datang dalam adab pertama Masehi. Karena sifat agama
Hindu yang otokratis bercampur dengan sifat tradisional masyarakat yang telah
ada, akhirnya melahirkan adat Koto Piliang. Sedangkan nagari atau masyarakat
yang tidak dipengaruhi hindu melahirkan adat Bodi Caniago. Perbedaan kedua adat
ini (tidak prinsipil) terletak pada cara pengambilan keputusan dalam kerapatan
adat mereka. Pada Koto Piliang, berlaku asas bajanjang naik batanggo turun
(berjenjang naik bertangga turun), sedangkan pada Bodi Caniago berlaku asas
tuah sakato cilako basilang (bersatu kuat, bercerai celaka). Namun kedua adat
ini secara prinsip tetap sama, yaitu tetap mufakat dalam setiap mengambil kata
putus.
Pada dasarnya kedudukan nagari adalah
suatu wilayah yang mempunyai otonomi penuh, sebagai suatu republik desa di
bawah pimpinan penghulu- penghulu yang terorganisir dalam kerapatan adat
nagari, yang menjalankan pengurusan berdasarkan kata mufakat atau kebijaksanaan
alue jo patuik (arif dan bijaksana).
Bahkan hubungan antar nagari diatur dan dilaksanakan sendiri oleh kerapatan
adat nagari-nagari. Namun, pengurusan kerapatan yang telah ada itulah yang
terus berada dalam ikatan politik yang riil dengan anak nagari. Ikatan ini
tetap dipertahankan, walaupun berbagai kekuasaan dan pengaruh silih berganti
berada di atas pengurusan kerapatan adat nagari. Semua pengaruh ini boleh
dikatakan tidak berpengaruh sama sekali terhadap struktur budaya, politik dan
ekonomi nagari. Ini sekaligus membuktikan bahwa pengurusan nagari oleh
kerapatan adat nagari berdasarkan kebijaksanaan alue jo patuik adalah kuat, karena didukung dipertahankan, dan
dikembangkan secara patut dan mungkin.
2.3.2 Ninik Mamak dan Penghulu
Minangkabau
adalah suatu lingkungan adat yang mengandung makna sosial kultural, sedangkan
Sumatera Barat mengandung makna geografis administratif. Seluruh susunan
masyarakat Minangkabau berdasarkan pembagian penduduk dalam suku-suku, baik di
dalam pemerintahan nagari maupun dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga
Pembagian suku itu tetap mempunyai pengaruh, karena suku itu merupakan satu
Satuan geneologis yang diagungkan. Pembagian itu ternyata berlaku kela walaupun
masyarakat Minangkabau telah hidup berabad-abad lamanya.
Jumlah suku (artinya empat) pada awalnya
seperti nama itu send menunjukkan tidak lebih daripada empat, yakni Koto,
Piliang, Bodi, da Caniago. Pembagian dalam empat suku ini, sangat sederhana
timb pada tingkatan perkembangan pertama dari perkauman Minangkabau Pembagian
dalam empat suku ini diciptakan oleh dua orang tokoh Minangkabau, yaitu Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nar Sebatang, supaya mereka dapat
kawin-mengawini. Akan tetapi merek dilarang endogami, yaitu kawinnya laki-laki
dan perempuan yang sesuku
Jadi, orang-orang yang sesuku itu
menganggap mereka berdunsanak mempunyai moyang yang sama, sama berhak mendiami
satuan teritorial kampungnya, harus bergotong-royong dalam semua kegiatan
ekonomi dan upacara-upacara adat. Suatu kenyataan yang terdapat di Minangkabau
adalah persatuan yang tersembunyi di dalam lingkungan kesukuan. Persatuan in
dikuatkan oleh kepercayaan bahwa mereka semoyang dulunya, dan karena itu mereka
harus seragam dan setia kawan turun-temurun.
Bilamana terjadi perselisihan di antara
anggota-anggota sesuku, maka perselisihan itu diselesaikan di dalam kalangan
suku oleh penghulu. penghulunya, tanpa meminta bantuan orang luar. Persatuan,
keseragaman dan kesetiakawanan itu pula yang menetapkan kaidah bahwa seluruh
anggota suku turut bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan oleh seorang
anggota sukunya. Sasakik sasanang sahino semalu (sama hina dan sama menanggung
malu, sama menderita dalam kesusahan dan sama menikmati kesenangan). Barek samo
dipikua, ringan samo dijinjiang (berat sama dipikul, kalau ringan sama dijinjing).
Seperti yang telah diketahui pada
penduduk Minangkabau berlaku sistem matrilineal, yang mereka hidup di dalam
satu ketertiban masyarakat yang di dalamnya kekerabatan dihitung menurut garis
ibu semata-mata, dan pusaka serta warisan diturunkan menurut garis ibu pula.
Ini berarti bahwa anak laki-laki dan perempuan termasuk keluarga. Clan dan
perkauman ibunya, dan bukan dari ayahnya melainkan dari ibu, mamak dan bibinya
seorang anak menerima warisan harta benda.
Sistem matrilineal di Minangkabau itu
mempunyai 7 (tujuh) ciri yaitu:
1. Keturunan
dihitung menurut garis ibu;
2. Suku
terbentuk menurut garis ibu;
3. Tiap
orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami):
4. Kekuasaan
di dalam suku, menurut teori terletak di tangan "ibu" tetapi jarang
sekali dipergunakannya;
5. Yang
berkuasa adalah saudara laki-lakinya;
6. Perkawinan
bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya
7. Hak-hak
dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya, dari saudara laki-laki
ibu kepada anak dari saudara perempuan
Perkataan
nagari bukanlah asli Minangkabau, mungkin sekali berasal dari kata Sansekerta
nagara, yang dibawa oleh bangsa Hindu pada zaman Hindu yang mungkin menciptakan
pembagian nagari, serta menentukan mereka yang bersuku-suku dulunya diam di
beberapa nagari di dataran tinggi Minangkabau, yang terbentuk nagari-nagari
kecil yang berpemerintahan sendiri.
Penduduk suatu nagari merupakan suatu
sosial yang bersendikan dan kebudayaan dan dasar kebatinan, dengan arti bahwa
mereka bersama sama mendiami suatu tempat karena mereka berasal dari nenek
moyang yang sama, mempunyai satu kebudayaan dan satu kepercayaan, bukan saja
diikat oleh kehendak ingin hidup bersama dengan rukun, tetapi juga oleh satu
kepatuhan kepada norma-norma pergaulan hidup yang sama Setelah lama hidup
bersama di dalam suatu nagari, orang-orang yang dari berbagai suku itu lalu
menjadi suatu perkauman teritorial, dan mempunyai kepentingan-kepentingan yang
hampir bersamaan, hingga timbul semangat tolong-menolong, gotong-royong dan
keinginan hidup bersama secara damai di kalangan mereka.
Setiap nagari mempunyai satu pusat yang
dinamakan koto. Di sinilah mulanya rumah-rumah penduduk didirikan. Koto berasal
dari kata Sansekerta pula yang artinya suatu tempat yang diperketat untuk
menahan serangan musuh dari luar. Pada masa dulu tiap koto di pagar dengan
bambu berduri, dan tidak jarang pula yang dilingkari dengan tanah dan batu atau
parit.
Di dalam kota itu terdapat kumpulan
rumah gadang yang ditegakkan berdekat dekatan, dipisahkan oleh pekarangan atau
oleh halaman. Pada waktu suatu nagari didirikan koto hanya didiami oleh mereka
yang terdiri dari sebuah paruik atau yang sekarang dinamakan sakampuang. Jadi,
di dalam koto itu berdiam meka yang dekat dan agak jauh pertalian darahnya,
yang mempunyai satu moyang yang sama, kemudian berjurai-jurai, bersama
mengalami kesenangan dan kesusahan sama menitikberatkan persatuan batin antara
orang-orang yang sekota, yang dipertalikan oleh persatuan darah.
Lama-kelamaan kumpulan rumah gadang ini
ditambah dengan rumah-rumah baru yang didirikan oleh orang-orang dari suku lain
yang pindah kesitu dan ingin menetap selamanya di situ dengan izin keturunan
dari tokoh-tokoh yang menegakkan koto itu. Demikian koto itu tumbuh
berangsur-angsur menjadi satu nagari yang lebih luas.
Organisasi kemasyarakatan di Minangkabau
yang kecil adalah unit paruik merupakan terpenting yang erat sekali hubungannya
dengan kaum. Kaum terdiri dari beberapa buah paruik yang mendiami rumah gadang.
Kaum itulah yang dipimpin oleh Mamak Kepala Waris, tetapi jika tidak terdapat
kaum, maka paruiklah yang dipandang sebagai kaum. Dalam hal ini sama pengertian
paruik dan kaum. Sebagai persekutuan hukum kaum merupakan organisasi yang
penting karena kaum mempunyai pimpinan sendiri, yaitu Mamak Kepala Waris yang
mereka sebut juga penghulu, rakyat sendiri, yaitu anak kemenakan dan kekayaan
sendiri yaitu harta pusaka tinggi.
Menurut Adat Minangkabau, arti Ninik Mamak adalah hubungan dengan Gelar
Pusaka yang diterima secara turun-temurun di dalam suatu kaum yang fungsinya
sebagai kepala kaum atau sebagai kepala adat (Penghulu). yang harus dipangku
oleh seorang laki-laki yang bertali dalam gelar pusako yang bersangkutan.
Para ninik mamak atau penghulu dipilih
dan diangkat oleh anak kemenakan sebagai pemimpin dari anggota kaumnya
mempunyai kedudukan yang tinggi dan peranan yang sangat penting atau sangat
menentukan dalam kaum dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan adat
serta hukum adat dalam suatu daerah atau nagari yang bersangkutan.
Seorang penghulu atau ninik mamak di
Minangkabau jika telah lakukan pengangkatan secara mufakat dalam lingkungan
kaumnya urut adat yang berlaku di daerah setempat, lazimnya dipanggil dengan
gelar Datuk Seorang penghulu adalah orang yang dihormati dan disegani oleh
anggota kaum dan masyarakat, dalam istilah adat disebutkan "Orang dianjung
tinggi dan diamba gadang, kapai tampek batanyo, kapulang tampek habarito, nan
bak kayu gadang di tangah kato, urek tampek baselo, batang tapek basanda, daun
tampek bagantuang, daun rimbun tampek bataduah kehujanan tampek balindung
kapanasan, nan bakato bana dan menghukum adia (artinya: seorang penghulu harus
berbudi pekerti yang baik, sopan santun, rendah hati, tempat orang bertanya,
tempat orang berdiskusi, tempat orang minta tolong dalam kesusahan dan
kesulitan).
Penghulu Minangkabau bertugas untuk
memelihara anak kemenakannya lahir dan batin, moril dan materil, dunia dan
akhirat. Seorang penghulu seharusnya melengkapi diri dengan sifat-sifat
penghulu itu adalah bersifat benar, dipercaya lahir dan batin, cerdas dan sifat
menyampaikan.
Seorang penghulu (pemimpin) haruslah
bersifat benar (siddiq), tidak bersifat dusta, karena kepadanya diserahkan
segala persoalan anak kemenakan, baik mental maupun spiritual untuk mengurus
dan memimpinnya. Apabila seorang penghulu tidak bersifat benar, maka hancurlah
anak kemenakan, kemakmuran akan menjauh, kebenaran dan keadilan sukar
ditegakkan.
Seorang penghulu hendaklah dipercaya
lahir dan batin (amanah). karenanya harus bersifat jujur, lurus, dan benar,
tidak penipu lain di mulut lain di hati. Jangan hendaknya sifat penghulu itu
dalam tindakannya sehari-hari merugikan kepada anak kemenakan dan masyarakat.
seorang penghulu (pemimpin) tidak mengenal korupsi, mengorek keuntungan dari
anak kemenakan dan orang lain untuk kepentingan pribadinya.
Penghulu adalah cerdas cerdik)
berpendidikan dan berilmu athanah), Tangan orang yang akan diangkat menjadi
penghulu itu orang doh. Kecerdasan ini dapat dimiliki seseorang dengan menuntut
an, baik ilmu agama, ilmu pengetahuan umum, yang ilmu pengetahuan, baik ilmu
agama, ilmu pengetahuan umum, yang unakan untuk memimpin anak kemenakan ke arah
mencapai kemakmuran lahir dan batin.
Seorang penghulu hendaknya lancar
berbicara dan sifat menyampaikan (tabligh) kepada anak kemenakan tentang
suruhan dan larangan yang harus diketahui dan diamalkan oleh anak kemenakan,
baik suruhan dan larangan dari bidang keagamaan maupun dari pemerintahan.
Dalam menjalankan tugasnya penghulu itu
mencakupi segala bidang kehidupan kaum dan anak kemenakannya seperti bidang
ekonomi, pendidikan, kesehatan, perumahan, keamanan, agama dari kaum dan anak
kemenakan serta menyelesaikan sengketa dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya. Apabila terjadi perselisihan dalam lingkungan anak
kemenakannya, antara kaumnya dengan kaum lain atau antara anggota kaumnya
dengan anggota masyarakat nagari. Tugas yang dilakukan harus mengikat dan
terikat dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada di dalam masyarakat adat di
Minangkabau, yaitu:
1.
Menurut Alur yang lurus, yaitu:
Seorang penghulu dalam melaksanakan tugasnya harus
menurut ketentuan adat lama pusaka using sebagaimana yang telah digariskan oleh
nenek moyang Minangkabau, yakni meletakkan sesuatu itu haruslah pada tempatnya,
yang berdasarkan kepada ketentuan yakni:
a) Menurut
kata pusaka (kato pusako)
Artinya seorang penghulu itu dalam melaksanakan
tugasnya haruslah berusaha sejauh mungkin meletakkan sesuatu itu menurut
tempatnya. berbuat dan bertindak harus tepat lurus dan benar menurut semestinya
sesuai dengan yang digariskan oleh ketentuan adat itu sendiri.
b) Melaksanakan
kata mufakat (kato mufakat)
Artinya dalam setiap mengambil keputusan haruslah
terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan anak kemenakan atau anggota kaumnya.
setelah sama dipertimbangkan baik buruknya dalam suatu persoalan, yang buruk
dibuang dan yang baik diambil, barulah diperoleh kata sepakat, sehingga kata
mufakat ini adalah merupakan ciri-ciri khas dari demokrasi di Minangkabau.
Segala sesuatu yang akan dilaksanakan itu merupakan kehendak dari bawah, yakni
kehendak dari kemauan dari anak kemenakan
c) Kata
dahulu ditepati (kato dahulu batapati) Artinya seorang penghulu itu dalam
setiap perkataan dan janji yang telah diucapkannya bisa dijadikan suatu
pegangan dan tidak pernah dipungkiri.
2.
Menempuh jalan yang sudah ditentukan
(menempuh jalan nan pasa)
Penghulu sebagai pemimpin dalam melaksanakan
tugasnya haruslah sesuai dengan jalan yang telah ditentukan oleh adat, tidak
menyimpang serta tidak melanggarnya.
3.
Memelihara harta pusaka (mamaliharo
harta pusaka)
Di Minangkabau seorang laki-laki apalagi seorang
penghulu berkewajiban untuk memelihara harta pusaka dari kaumnya. Harta pusaka
itu jangan sampai terjual atau berpindah pada orang lain, tanpa alasan yang
dibenarkan oleh adat Minangkabau."
4.
Memelihara anak kemenakan (mamaliharo
anak kemenakan)
Memelihara anak kemenakan ini adalah tugas penghulu
yang berat tetapi murni dan suci. Seorang penghulu yang baik dan bijaksana akan
dapat memberikan arah kepada anak kemenakannya di dalam segala lapangan
kehidupan, serta kewajiban-kewajiban dari anak kemenakannya terhadap perintah
dan larangan agama dan sebagai warga negara termasuk juga berkewajiban menyuruh
anak kemenakannya berbuat kebajikan," Kehadiran mamak dan penghulu sebagai
pimpinan di dalam famili dan suku, yang bertujuan menjawab tantangan
kepentingan yang dihadapi anak nagari, menyebabkan mereka berkewajiban
memelihara kelanjutan keturunan manusia, harta pusaka dan budi luhur bagi
generasi mendatang. Jadi, seorang mamak dan penghulu di Minangkabau mengenal
baik akan kaidah-kaidah yang menjadi dasar kehidupan bersama, dan mengenal baik
sistem musyawarah mufakat dengan pola authority dan partisipasi mengambil kata
putus. Oleh karena itu, ditentukan sifat-sifat dan karakter seorang penghulu
seperti ungkapan berikut
Kanan jalan koto Rang
Kurai
Sasimpang ka ampek
angkek
Penghulu kaganti lantai
Kok tapijak jan
manjungkek
Adat taluak timbunan
kappa
Adat lurah timbunan air
Adat gunung timbunan
kabuki
Adat penghulu tahan
upek
Anggang lalu atah
jatuah
Pulang pa babasah-basah
Penghulu jikok takicuah
Kampung halaman kataju
Oleh
karena itu, seorang penghulu harus pula merupakan orang yang 20 mempunyai:
Lubuak aka lautan budi
Aie nan janiah dayak
manlandai
Bak kayu di tangah
padang
Ureknyo tampek baselo
Batangnyo tampek
basanda
Daunnya tampek balinduang
Dahannyo tampek
bagantuang
Dengan
kata lain, seorang penghulu haruslah orang yang mampu menciptakan dan
memberikan hidup damai dalam masyarakat dan memelihara hidup lahir dan batin
dari kaumnya.
2.3.3 Struktur Kerapatan Adat Nagari (KAN)
berdasarkan Perda No. 13 Tahun 1983
ditetapkanlah nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi
Sumatera Barat dan Pelaksanaannya adalah KAN. Dalam membicarakan organisasi KAN
menurut Perda No. 13 Tahun 1983 ini yaitu sesudah berlakunya Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979 dikemukakan hal-hal sebagai berikut Susunan Pengurus KAN:
Dalam Pasal 4 Perda No. 13 Tahun 1983 ditentukan organisasi KAN sebagai
berikut:
1.
Di setiap nagari dikukuhkan kerapatan
adat nagari yang telah ada dan hidup di Nagari di Sumatera Barat
2.
Kerapatan adat nagari terdiri dari
unsur-unsur penghulu adat yang berlaku menurut sepanjang adat dalam
masing-masing nagari sesuai dengan sistem penerapannya antara lain: a) Pucuk adat
dan/atau Ketua:
b) Datuk-datuk kaampek suku;
c) Penghulu penghulu andiko;
d) Urang ampek jinih.
3.
Kerapatan adat nagari dipimpin oleh
seorang ketua dan/atau oleh pucuk adat. Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa
unsur-unsur KAN adalah:
a) Ketua, sebagai pimpinan Kerapatan Adat Nagari
diangkat dari pucuk adat yang telah ada ataupun terpilih, baik dalam sistem
Koto Piliang maupun dalam sistem Bodi Caniago.
b) Datuk Kaampek suku adalah jabatan adat yang turun
temurun dalam suku pada nagari yang menganut sistem Koto Piliang, sedangkan
Bodi Caniago disebut Pangka Tuo Nagari.
c). Urang ampek jinih penghulu andiko adalah
fungsional adat dalam sebuah kaum pada setiap nagari, fungsional adat yang
turun-temurun sebagai kelengkapan adat bersendi syarak, syarak bersendi
kitabullah yaitu penghulu, manti, malin, dan dubalang dalam suku pada nagari
yang menganut sistem Koto Piliang, sedangkan pada sistem Bodi Caniago tidak
turun-temurun atau disebut dengan Gadang Balees
Dalam
ayat (3) disebutkan bahwa untuk memimpin KAN dikukuh pimpinan KAN yang telah
ada menurut sepanjang adat yang berlaku pada setia nagari. Pasal 5 Perda No.
13/1983 menyebutkan bahwa :
1. Susunan
kerapatan adat nagari diatur dan ditetapkan serta disesuaikan dengan susunan
yang telah ada dan hidup pada tiap-tiap nagari di Sumatera Barat.
2. Pimpinan
kerapatan adat nagari ditetapkan dengan musyawarah panjang adat dan disampaikan
kepada gubernur kepala daerah melalui bupati/walikotamadya kepala daerah
Dalam
Pasal 5 ini ditentukan bahwa susunan KAN diatur ditetapkan serta disesuaikan
dengan susunan yang telah ada dan bila pada tiap-tiap nagari di Sumatera Barat.
Pimpinan KAN ditetapkan dengan musyawarah sepanjang adat disampaikan kepada
gubernur kepala daerah melalui bupati/walikotamadya kepala daerah tingkat II
Selanjutnya
Pasal 6 menyebutkan bahwa:
1)
Kerapatan adat nagari mempunyai sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala
tata usaha yang disebut dengan nagari.
2)
Manti nagari dipilih oleh dan dari anggota kerapatan adat nagari
3)
Manti nagari bertanggung jawab kepada ketua dan/atau pucuk adat kerapatan adat
nagari.
KAN mempunyai sekretaris yang dipimpin
oleh seorang Kepala Tata Usaha yang disebut Manti Nagari, mempunyai tugas
mengatur dan penyelenggaraan ketatausahaan Nagari yang meliputi urusan:
1)
Perdamaian adat
2)
Pembinaan dan pengembangan adat
3)
Harta kekayaan nagari;
4)
Peningkatan kesejahteraan masyarakat nagari;
5)
Keuangan nagari;
Struktur
kepengurusan KAN pada umumnya terdiri dari:
1)
Ketua
2)
Wakil ketua
3)
Sekretaris
4)
Wakil sekretaris
5)
Bendahara
6)
Wakil bendahara
7)
Bidang-bidang seperti bidang adat, bidang pembangunan, bidan keuangan, bidang
harta kekayaan nagari.
2.3.4
Kewenangan dan Peran KAN
Kewenangan
dan peran KAN merupakan hak dan kekuasaan yan dimilikinya untuk melakukan tugas
dan fungsi yang ditetapkan oleh aturan perundang-undangan, sedangkan peran KAN
dalle dakan yang diharapkan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya tersebut Pada
prinsipnya baik sebelum maupun sesudah berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun
1979 dan Perda Nomor 13 Tahun 1983, KAN mempunyai fungsi dan tugas yang sama.
Dalam Pasal 4 Perda No 13 Tahun 1983 diatur tentang fungsi dan tugas KAN dalam
pengurusan hukum adat Istiadat sebagai berikut :
1)
Memberikan kedudukan hukum menurut hukum
adat yang menyangkut Sako dan Pusako dengan kegiatan sebagai berikut :
a.
Menginventarisasi silsilah/ranji kaum
dan kedudukan suku menurut barih balabeh adat, untuk memperjelas pewarisan Sako
dan Pusako melalui legalisasi KAN
b.
Menyelesaikan perkara adat melalui
musyawarah dan mufakat untuk mewujudkan perdamaian yang dilakukan secara
bajanjang naiak batanggo turun sepanjang adat yang berlaku dengan memedoman
silsilah/ranji suku dan kaum yang bersangkutan
c.
Risalah kesimpulan perkara perdata adat,
didasarkan atas musyawarah mufakat dalam sidang majelis KAN yang merupakan kata
putuih" KAN untuk dipedomani oleh lembaga Peradilan
d.
KAN dapat meminta pertimbangan dan
nasihat kepada lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) kecamatan,
Tingkat II dan Tingkat I Sumatera Barat.
2)
Menyelenggarakan pembinaan dan
pengembangan adat istiadat dengan kegiatan sebagai berikut :
a. Membina
masyarakat nagari dalam memantapkan pengalaman adat istiadat yang didasarkan kepada
adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah melalui Pendidikan, wirid,
ceramah adat dan agama di masis-masjid, surau, balai adat/rumah gadang dan
tempat-tempat lainnya
b. Memelihara
dan melestarikan nilai-nilai budaya adat Minangkabau dalam memperkaya khasanah
kebudayaan nasional sebagai perwujudan ungkapan adat "Adat dipakai baru,
kain dipakai usang, usang-usang diperbaharui, lapuak-lapuak dikajangi
Dalam
Pasal 5 Perda nomor 13 Tahun 1983 diatur mengenai fungsi dan tugasKAN dalam
memelihara dan memanfaatkan kekayaan nagari, Ulayat suku dan kaum untuk
kesejahteraan masyarakat nagari dapat dilakukan sebagai berikut:
1.
Melakukan inventarisasi harta kekayaan
nagari serta ulayat suku dan kaum;
2.
Melegalisasikan harta kekayaan nagari,
ulayat, suku, dan kaum oleh KAN:
3.
Memanfaatkan harta kekayaan nagari,
ulayat, suku dan kaum oleh masyarakat/anak nagari harus mendapat persetujuan
dalam bentuk legalisasi oleh KAN:
a) Terhadap pemanfaatan harta kekayaan nagari
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari KAN.
b) Terhadap pemanfaatan ulayat suku dan kaum
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Ninik Mamak Penghulu Suku, Kepala
waris/kaum yang bersangkutan.
4.
Pemanfaatan harta kekayaan nagari,
ulayat, suku dan kaum oleh pemerintah, untuk kepentingan umum dan sosial harus
mendapat persetujuan dalam bentuk legalisasi oleh KAN:
a) Terhadap pemanfaatan harta kekayaan nagari
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari KAN.
b) Terhadap pemanfaatan ulayat suku dan kaum
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Ninik Mamak Penghulu Suku, Kepala
Waris/Kaum yang bersangkutan.
5.
Pemanfaatan harta kekayaan nagari,
ulayat, suku dan kaum oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan sosial
dilakukan dengan cara adat diisi lombago dituang/silsilah jariah berdasarkan
musyawarah mufakat
6.
Pemanfaatan harta kekayaan nagari,
ulayat, suku dan kaum oleh investor/swasta, BUMN, BUMD, Koperasi, dan Yayasan
harus mendapat persetujuan dalam bentuk legalisasi oleh IKAN, yaitu
a) Terhadap pemanfaatan harta kekayaan nagari
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari KAN.
b) Terhadap pemanfaatan ulayat suku, dan kaum
terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Ninik Mamak Penghulu Suku, kepala
waris/kaum yang bersangkutan.
7.
Pemanfaatan harta kekayaan nagari,
ulayat, suku dan kaum oleh investor/swasta, BUMN, BUMD, Koperasi, dan Yayasan
dilakukan dengan cara adat "Adat diisi limbago dituang berdasarkan mufakat
berupa:
a) Sebagai penyertaan saham
b) Sebagai penyertaan hak guna usaha;
c) Sebagai penyertaan hak guna bangunan
d) Sebagai penyertaan hak pakai;
e) Sebagai penyertaan hak sewa;
f) Sebagai penyertaan hak pengelolaan
g) Sebagai penyertaan dalam bentuk lainnya.
Dalam
Pasal 7 ayat (1) Perda No. 13 Tahun 1983 merinci tugas-tugas KAN sebagai
berikut
a.
Mengurus dan mengelola hak-hal yang
berkaitan dengan sehubungan dengan sako dan pusako;
b.
Menyelesaikan perkara-perkara perdata
adat dan adat istiadat
c.
Mengusahakan perdamaian dan memberikan
kekuatan hukum terhadap anggota-anggota masyarakat yang bersengketa serta
memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut
sepanjang adat;
d.
Mengembangkan kebudayaan masyarakat
nagari dalam upaya melestarikan kebudayaan daerah dalam rangka memperkaya
khazanah kebudayaan nasional:
e.
Menginventarisasi, menjaga memelihara
dan mengurus serta memanfaatkan kekayaan nagari untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat nagari:
f.
Membina dan mengoordinir masyarakat
hukum adat dari kaum menurut sepanjang adat yang berlaku pada setiap nagari
berieniane baik bertangga turun yang berpucuk kepada KAN serta memupuk rasa
kekeluargaan yang tinggi di tengah-tengah masyarakat nagari dalam rangka
meningkatkan kesadaran sosial dan semangat kegotongroyongan;
g.
akili nagari dan bertindak atas nama dan
untuk nagari atau masyarakat hukum adat nagari dalam segala perbuatan hukum
didalam dan di luar peradilan untuk kepentingan dan/atau hal-hal
Dari
uraian pasal-pasal yang terdapat dalam Perda No. 13 Tahun 1983 Membantu
pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan menyangkut dengan hak dan
harta kekayaan milik nagari tersebut di atas terdapat beberapa fungsi dari KAN,
yaitu
a.
pembangunan di segala bidang, terutama
di bidang kemasyarakatan dan budaya;
b.
Mengurus urusan hukum adat istiadat
dalam nagari;
c.
Memberikan kedudukan hukum menurut hukum
adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat nagari guna
kepentingan hubungan keperdataan adat juga dalam hal adanya persengketaan atau
perkara perdata adat
d.
Menyelenggarakan pembinaan dan
pengembangan nilai-nilai adat Minangkabau, dalam rangka memperkaya,
melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan
Minangkabau pada khususnya
e.
Menjaga, memelihara, dan memanfaatkan
kekayaan nagari untuk kesejahteraan masyarakat nagari.
Fungsi-fungsi
tersebut dilakukan oleh KAN berdasarkan asas musyawarah dan mufakat menurut
alur dan patut sepanjang tidak bertentangan dengan adat bersendi syarak syarak
bersendi kitabullah untuk kepentingan ketertiban, ketenteraman, dan
kesejahteraan masyarakat nagari. Selanjutnya tugas KAN dalam hal urusan hukum
adat dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah gelar adat (sako) dan harta
pusaka (pusako).
Memerhatikan fungsi dan tugas KAN
berdasarkan Perda No 13 tahun 1983 itu, KAN dibebani tugas menyelesaikan
sengketa atau perkara vang terjadi antara sesama anak nagari, baik perkara
mengenai gelar adat (sako) maupun perkara harta pusaka (pusako). Tugas tersebut
harus menciptakan suatu keputusan yang adil yang bisa diterima oleh semua pihak
yang bersengketa dan bukan memutuskan siapa yang menang dan siapa vang kalah
2.4
Eksistensi Tanah Ulayat di Sumatera Barat
2.4.1
Bentuk Tanah Ulayat
Masyarakat
di daerah Sumatera barat memahami dan menghayati betul tentang adanya tanah
ulayat, memahami tentang hak dan kewajiban atas tanah ulayat baik sebagai
anggota masyarakat hukum adat maupun selaku Pemangku Adat. Berdasarkan kepada
kenyataan yang ada, tanah ulayat yang terdapat di Sumatera Barat dapat
dibedakan atas 3 (tiga) kelompok, yaitu: 1. Tanah Ulayat Kaum
Tanah ulayat kaum adalah tanah yang
dimiliki bersama kaum secara turun temurun, pengawasannya berada di tangan
mamak kepala waris dan diwariskan menurut garis keturunan ibu (matrilineal).
Hal ini sesuai dengan pepatah adat basuku kabakeh ibu, babangso kabakeh ayah
jauah mancari indu, dakek mancari suku. (bersuku mengikuti ibu, berbangsa
mengikuti ayah, jauh mencari indu, dekat mencari suku).
Tanah ulayat kaum adalah tanah pusaka
yang dimiliki oleh kaum yang berada dalam suatu suku tertentu. Setiap anggota
kaum dari masing-masing suku mempunyai hak untuk mengakses ke tanah ulayat suku
yang disebut dengan wewenang pilih. Artinya, setiap anggota kaum diperkenalkan
untuk memilih sebidang tanah yang diinginkannya di tanah ulayat suku sesuai
dengan kebutuhannya. Tanah-tanah ulayat suku yang sudah menjadi pilihan dari
salah seorang anggota kaumnya, tidak boleh lagi dijadikan pilihan oleh anggota
kaum lainnya, sampai tanda-tanda yang dibuat oleh anggota kaum yang pertama
kali memilih masih terlihat lelassene tekukan pada sejumlah pepohonan yang
terdapat di lahan pilihan Wewenang pilih dari salah seorang anggota kaum di
tanah oliver sk ini, selanjutnya dapat atau akan berkembang berturut-turut
menjadi hak terdahulu, hak menikmati, hak mengolah (untuk dijadikan ladang dan
atau sawah), hak milik dan hak mewariskan kepada cucunya secara turun temurun.
Bagian tanah ulayat yang dipilih, dinikmati, dimiliki secara turun-temurun oleh
seorang anggota pesukuan disebut tanah ulayat kaum dengan kata lain tali
kendali atas tanah yang tadinya berada di lembaga suku sekarang beralih ke
lembaga kaum. Secara struktural eksistensi tanah ulayat suku dewasa ini sudah
banyak yang beralih menjadi tanah ulayat kaum, yang dikelola secara individu
atau menjadi tanah ganggam bantuak.
Orang yang berada di luar kaum untuk
mendapatkan tanah ulayat dari suku tertentu terlebih dahulu harus memenuhi
persyaratan, adat diisi limbago dituang. Artinya orang itu harus menjadi
anggota kaum dari salah satu suku di mana dia ingin mendapatkan tanah ulayat,
dan berjanji akan mematuhi segala peraturan yang berlaku di dalam suku yang
bersangkutan Pepatah adat mengatakan inggok mancakam, tabang basitumpu, mamak
ditinggakan mamak didapati.
Sedangkan tanah yang digunakan oleh
anggota kaum dinamakan dengan ganggam bantuak. Ganggam bantuak diberikan kepada
anggota yang paling membutuhkan, pada pokoknya diberikan kepada perempuan yang
mempunyai tanggungan seperti ibu atau nenek. Secara prinsip pemberian ganggam
bantuak tidak sama, berbeda-beda luasnya sesuai dengan kebutuhan anggota kaum.
Misalnya, pemberian ganggam bantuak untuk perempuan yang bersuamikan orang kaya
tidak akan sama dengan perempuan yang bersuamikan orang miskin. Dan perempuan
yang memiliki banyak anak berbeda dengan yang mempunyai jumlah anak sedikit.
Ganggam
bantuak memberikan hak eksklusif kepada penerimanya untuk
menggunakan, memanfaatkan dan mengonsumsi hasilnya yang diberikan secara
terus-menerus. Tetapi, tidak menghalangi kemungkinan terjadinya pembagian
kembali ganggam bantuak itu setelah kaumnya berkembang karena kontrol ulayat
masih kuat. Jika pemegang ganggam bantuak meninggal dunia, maka ganggam bantuak
diwariskan kepada anak-anak dalam gars keturunan perempuan. Ganggam bantuak
dalam bentuk rumah menjadi hak anak perempuan, sedangkan tanah pertanian boleh
dimanfaatkan bersama oleh anak laki-laki dan perempuan. Ganggam bantuak yang
tidak mencube untuk semua anak, maka pengelolaan tanah tersebut dilakukan
bergiliran. Apabila anggota kaum yang mendapatkan ganggam bantuak penuh, maka
ganggam bantuak kembali menjadi tanah ulayat kaum, kecuali sebelum meninggal
diangkat seorang anak yang berasal dari keluarga terdekat untuk mewarisinya.
Pada saat ini, tanah ulayat kaum juga
telah banyak yang berubah menjadi tanah individu atau ganggam bantuak.
Tanah-tanah yang pengendaliannya berada di lembaga kaum disebut harta pusaka.
Harta pusaka dilihat dari asal-usulnya dapat dibedakan atas:
a.
Harato pusako tambilang ruyuang (harta
pusaka tambilang ruyung). merupakan harta pusaka yang digali dari tunggul
pohon, artinya harta yang dikumpulkan oleh nenek moyang dengan cara mengolah
hutan. Inilah harta pusaka yang sesungguhnya yang diwariskan turun temurun
melalui anggota kaum dari generasi ke generasi.
b.
Harato pusako tambilang ameh (harta
pusaka tembilang emas), artinya Tanah Ulayat Suku harta pusaka yang diperoleh
dengan menggunakan emas (kemudian uang) atau harta pusaka yang asalnya dibeli,
disebut juga harta pusaka rendah.
c.
Harato pusako tambilang basi ) harta
pusaka tembilang besi), artinya harta pusaka yang diperoleh dengan menggunakan
tembilang besi, inilah tanah yang baru di taruko (lahan bukaan baru).
d.
Harato pusako tambilang kaitan (harta
pusaka tembilang kaitan), artinya harta pusaka yang diperoleh melalui hibah.
2.
Tanah ulayat suku
adalah
suatu wilayah yang dimiliki oleh semua anggota suku secara turun-temurun di
bawah penguasaan penghulu pusuk atau penghulu suku. Tanah tersebut berasal dari
penemuan pertama dari tanah vang tidak bertuan, dengan manaruko, tanah ini
dipelihara dan dikuasai oleh penghulu dalam suku tersebut.
3,
Tanah Ulayat Nagari
Tanah
ulayat nagari adalah tanah/wilayah yang dimiliki atau dikuasai kuku yang
terhimpun dalam kerapatan Adat Nagari ( KAN ) suatu nagari, tanah hutan atau
tanah yang berada dalam pengelolaan suatu nagari. Tanah atau wilayah tersebut
meliputi hutan atau suatu areal hutan yang belum diolah, tetapi masyarakat
nagari selalu mengambil hasil dari datang.
Lahan sebagai sumber daya ekonomi harus
dijaga kelestariannya penataan, penggunaan pemanfaatan, dan pencadangan serta
menjaga keseimbangannya. Artinya, tanah ulayat harus digunakan sesuai dengan
kondisi dan kemampuannya, jangan sampai lahan yang miring dijadikan tempat
perladangan karena dapat menimbulkan erosi yang dapat merusak kesuburan lahan,
dan mengakibatkan banjir. Lahan yang miring hendaklah terus dipertahankan untuk
selalu ditutupi pepohonan atau dijadikan hutan
Tanah ulayat di Sumatera Barat mempunyai
fungsi sosial, oleh karena itu pada dasarnya tidak menghambat pelaksanaan
pembangunan dalam arti yang seluas-luasnya, bahkan dapat dan harus dimanfaatkan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk mendapatkan adanya batas subjek
hukum dan hal-hal lainnya untuk mencapai kepastian hukum pada waktu sekarang
dan masa datang guna pencapaian pemanfaatan maksimal dalam pembangunan perlu
dilakukan pengarahan yang tepat dalam perencanaan dan penentuan penggunaannya
melalui inventarisasi registrasi, pendaftaran dan pemetaan seluruh tanah ulayat
di Sumatera Barat.
Pemanfaatan tanah ulayat dalam
pembangunan dalam arti yang seluas-luasnya meliputi seluruh bidang mental,
spiritual, dan fisik Namun, penggunaan tanah ulayat pada prinsipnya dilakukan
oleh anggota warga masyarakat (anggota kaum). Setiap warga nagari, sebagai
sebuah masyarakat hukum adat atau persekutuan hidup di Minangkabau, mempunyai
kesempatan yang sama untuk memilih sebidang tanah di atas tanah ulayat seluas
yang diinginkannya, dan mengambil hasil yang terdapat di dalamnya serta
memakainya untuk dijadikan lahan pertanian, permukiman, perkuburan dan untuk
keperluan lainnya. Apabila masyarakat nagari kurang mampu, maka dapat dilakukan
oleh pihak luar dengan prinsip bahwa tanah ulayat harus produktif
Khusus tanah ulayat kaum dapat
dimanfaatkan oleh anggota kaum dalam bentuk hak pakai dengan istilah ganggam
bantuak. Anggota masyarakat hukum adat dalam kaum yang memanfaatkan tanah
ulayat kaum tidak di nungut uang adat, tetapi memerlukan izin dari Mamak Kepala
Waris. Tanah ulayat kaum tidak boleh dibagi, kecuali apabila terjadi pembelahan
Tanah ulayat kaum dimanfaatkan oleh anggota kaum untuk pertanian perumahan, dan
apabila tanah yang dimiliki kaum melebihi dari jumlah anggota, maka tanah itu
boleh dibagikan. Tanah ulayat kaum yang berlebih daikan untuk kepentingan kaum
dan dicadangkan untuk penghulu atau pemangku adat yang disebut sawah
pengadangan gala. Sawah panggadangan ala dikerjakan oleh para kemenakan untuk
pemangku adat dengan tujuan agar pemangku adat bisa melaksanakan kewajibannya
sebagai Mamak Kepala Waris tanpa terganggu oleh kesulitan ekonomi.
Setiap orang harus menaati aturan adat
yang berlaku di nagari, baik penduduk asli maupun pendatang. Mereka diwajibkan
oleh adat untuk melakukan pembayaran-pembayaran, dan pembayaran ataupun
pemungutan adat dinamakan isi adat atau wang adat. Pemungutan atas suatu hasil
disebut dengan Bunga (bunga). Wang adat biasanya dibayarkan kepada pemegang hak
ulayat. Bilamana seseorang ingin mengolah sebidang tanah rimbo di nagari, ia
harus membayar kepada nagari, tetapi kalau berkenaan dengan rimbo yang diolah
oleh orang yang bukan anggota masyarakat kaum yang bersangkutan, maka ia harus
membayar kepada penghulu yang punya hak ulayat.
Pembayaran wang adat di Minangkabau
dibagi atas:
1.
Bungo tanah, suatu penggantian kerugian
dalam melakukan penebangan di atas tanah orang lain, baik yang belum diolah
maupun yang sedang diolah. Untuk pengelolaan penambangan oleh orang luar/asing
atas tanah nagari, pembayaran wang adat dilakukan kepada nagari. Pembayaran ini
sifatnya semacam penggantian kerugian terhadap pengambilan tambang dari dalam
tanah.
2.
Bunpo kayu, suatu pergantian kerugian
sekaligus pengakuan terhadap hak ulayat yang harus dibayarkan oleh orang dari
daerah negeri lain yang memotong atau mengumpulkan hasil hutan dari dalam hutan
vang berhak melakukan pungutan ini adalah gabungan kepala adat Wane ladang atau
bunga tanah, semacam wang pengganti kerugian dan sekaligus pengakuan terhadap
hak ulayat yang harus dibayar oleh suatu nagari atau oleh pemegang hak ulayat
yang bersangkutan
3.
orang yang berladang di atas tanah
ulayat. Pembayaran wang nagari atau kepada pemegang hak ulayat berupa pemberian
"upeti". tidak sama di semua daerah/nagari.
4.
Pembayaran dapat kepada pasie (bunga
pasir), berupa wang adat untuk kepentingan nagari, waktu membuat kolam-kolam
garam atau penangkapan ikan sepanjang daerah pantai termasuk ke dalam hak
ulayat suatu nagari. Semua pembayaran ini diwajibkan kepada orang luar
masyarakat hukum adat yang bersangkutan
Dalam
hukum adat Minangkabau, tanah adalah kepunyaan bersama anggota masyarakat hukum
(kaum, suku, dan nagari) yang tidak boleh diperseorangkan. Antara hak
perseorangan dan hak ulayat sangat erat kaitannya bahkan tidak dapat dipisahkan
satu sama lain. Kedua hak ini harus dibicarakan sejalan, sebab hak perseorangan
tidak terlepas dari hak ulayat itu sendiri. Hak ulayat berlaku ke dalam
dibatasi oleh hak perseorangan, sedangkan hak perseorangan atas tanah dibatasi
oleh kelonggaran yang ditentukan oleh hak ulayat.
Ada
bermacam-macam hak perseorangan atas tanah seperti :
1.
Hak berburu dan mengumpulkan hasil
hutan;
2.
Hak membuka tanah, hak terdahulu, dan
hak menikmati
3.
Hak milik (semacam hak menikmati);
4.
Hak pakai yang dikenal dengan ganggan
bauntuak
Pengertian
hak seorang warga masyarakat untuk membuka dan mengerjakan/mengolah tanah
adalah warga tersebut berhak sepenuhnya atas tanah dengan ketentuan wajib
menghormati
1.
Hak ulayat desa/nagarinya:
2.
Kepentingan orang lain yang memiliki
tanah
3.
Peraturan adat seperti kewajiban memberi
izin ternak orang dalam tanah pertanian itu tidak digunakan.
Bab III
( Penutup )
3.1
Kesimpulan[8]
(I)
Masyarakat hukum/anggotanya bersama-sama
dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang
hidup diatasnya.
(II)
Anggota suku bangsa/masyarakat hukum,
untuk keperluan sendiri, berhak untuk berburu, mengumpulkan hasil hutan (yang
kemudian dimiliki dengan hak milik) bahkan berhak memiliki beberapa batang
pohon itu dipelihara olehnya.
(III)
Mereka mempunyai hak untuk membuka tanah
dengan sepengetahuan kepala suku/masyarakat huku. Pembukaan tanah dengan
sepengetahuan kepala suku/masyarakat hukum/desa, merupakan sebuah yang mendapat
perlindungan dalam masyarakat hukum itu. Hubungan hak antara orang yang membuka
tanah dan tanah yang dibuka, makin lama maikin kuat apabila tanah tersebut
terus-menerus dipelihara/digarap, dan akhirnya dapat menjadi hak milik si
pembuka. Sekalipun demikian, hak masyarakat hukum atas tanah itu tetap ada
walaupun melemah. Apabila tanah yang sudah dibuka itu dibiarkan tidak
diurus/ditelantarkan, maka tanah akan kembali menjadi hak menjadi hak ulayat
masyarakat hukum desa.
3.2
Saran
Negara
harus lebih memperhatikan kehidupan hak ulayat yang masih berlaku didalam
masyarakat guna mengakui suku-suku adat yang masih hidup dimasyarakat.
Daftar
Pustaka
Dr.Rosnidar
Sembiring.,S.H.,M.Hum., Hukum Pertanahan
Adat,
(
PT.RajaGrafindo : Depok, 2017 ).
Dr. Urip Santoso,
S.H.,M.H., Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas
Tanah,
(
Kencana :Jakarta, 2009 )
Drs.Nico Ngani, S.H., Perkembangan Hukum Adat Indonesia, (
Pustaka Yustisia :
Yogyakarta,
2012 )
Dr.Urip Santosa,
S.H.,M.H., Hukum Agraria – Kajian
Komprehensif, ( Kencana :
Jakarta,
2012 )
Soerjono Sukanto &
Soeman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia,
(
PT.RajaGrafindo : Jakarta, 2003 )
Supriadi, S.H.,M.Hum., Hukum Agraria, ( Sinar Grafika :
Jakarta, 2007 ).
Samuan Ismaya, Pengantar Hukum Agraria, ( Graha Ilmu :
Yogyakarta, 2011 ).
[1]
Soerjono Sukanto & Soeman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia,( PT.RajaGrafindo :
Jakarta, 2003 ), Hal.164-178
[2] Supriadi, S.H.,M.Hum., Hukum
Agraria, ( Sinar Grafika : Jakarta, 2007 )., Hal.61
[3] Dr.Urip Santosa, S.H.,M.H., Hukum Agraria – Kajian Komprehensif, ( Kencana :Jakarta, 2012 ), Hal.81.
[4] Dr. Urip Santoso, S.H.,M.H., Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, ( Kencana :Jakarta, 2009 ),
Hal.79-81.
[5] Soerjono Sukanto & Soeman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia,( PT.RajaGrafindo : Jakarta, 2003 ), Hal.164-178
[6]
Samuan
Ismaya, Pengantar Hukum Agraria, (
Graha Ilmu : Yogyakarta, 2011 ).,Hal.50
[7]
Dr.Rosnidar Sembiring.,S.H.,M.Hum., Hukum Pertanahan Adat,( PT.RajaGrafindo : Depok, 2017 )., Hal.171
[8]
Drs.Nico
Ngani, S.H., Perkembangan Hukum Adat
Indonesia, ( Pustaka Yustisia :Yogyakarta, 2012 ).,Hal.53-60.
No comments:
Post a Comment