Wednesday, July 21, 2021

Hukum Adat ( Hak Ulayat Suku Nagari di Sumatera Barat )

 

 

 Hukum Adat

( Hak Ulayat Suku Nagari di Sumatera Barat )

 


Dibuat dan disusun oleh :

1.      Zico Wijaya        ( 4011611089 )

2.      Sohibul Fadilah  ( 4011611063 )

 

 

Universitas Bangka Belitung

Fakultas Hukum

Ilmu Hukum

T.A 2018/2019

 

 

Kata Pengantar  

Segala puji kepada Allah SWT. Atas berkat rahmatnyalah kami dapat menyelesaikan makalah Hukum Adat ini tepat waktu.

            Kami merasa dengan makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca dalam mengenal tentang Hak Ulayat Suku Nagari, sekaligus dengan selesainya makalah ini dapat menuntaskan tugas kami dalam mata kuliah Hukum Adat.

            Dan tidak lupa kami meminta maap atas kesalahan – kesalahan terhadap yang ada dalam makalah ini, dengan adanya masukan dari bapak dan pembaca mungkin akan memperbaiki isi dari makalah ini menjadi lebih baik.

            Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih kepada bapak dan pembaca semoga mendapat manfaat. Amin...

 

Pangkal Pinang, 10 September 2018

 

 

Penulis

 

 

 

 

 

 

Daftar Isi

Kata Pengantar. 2

Bab I. 4

( Pedahuluan ). 4

1.1        Latar Belakang. 4

1.2        Rumusan Masalah. 5

1.3        Tujuan Penulisan. 5

1.4        Manfaat Penulisan. 5

Bab II. 6

( Pembahasan ). 6

2.1 Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 6

2.2 Hak Ulayat Nagari di Sumatera Barat 9

2.2.1 Sejarah Minangkabau. 9

2.3 Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Sumatera Barat 14

2.3.1 Komunitas Nagari 14

2.3.2  Ninik Mamak dan Penghulu. 18

2.3.3  Struktur Kerapatan Adat Nagari (KAN). 25

2.3.4 Kewenangan dan Peran KAN.. 27

2.4 Eksistensi Tanah Ulayat di Sumatera Barat 31

2.4.1 Bentuk Tanah Ulayat 31

Bab III. 38

( Penutup ). 38

3.1 Kesimpulan. 38

3.2 Saran. 38

Daftar Pustaka. 39

 

Bab I

( Pedahuluan )

1.1  Latar Belakang[1]

Sebagai masyarakat hukum adat, maka tanah mempunyai fungsi yang sangat penting. Tanah merupakan tempat dimana warga masyarakat hukum adat bertempat tingal, dan tanah juga memberikan penghidupan baginya. Mengenai hal ini, Iman 

“sebagai salah satu unsur essensil pembentu negara, tanah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. dinegara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non

Ahli hukum adat indonesia mempergunakan pelbagai istilah, seperti misalnya, hal purba (Djojodigoeno), hak pertuanan (Soepomo), hak bersama (Hazairin), atau seringkali ada disebutkan “hak ulayat”

Ter Haar menyatakan, bahwa sebagai suatu totalitas, maka masyarakat hukum adat menerapkan hak ulayat dengan cara menikmati atau memungut hasil tanah, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Sebagai badan penguasa, maka masyarakat hukum adat membatasi kebebasan kebebasan warga masyarakat untuk memungut hasil-hasil tersebut.

Dengan demikian, maka masyarakat hukum adat sebagai suatu totalitas, memiliki tanah dan hak tersebut dinamakan hak ulayat yang oleh hazairin disebut sebagai hak bersama.noleh karena itu, maka masyarakat hukum adat menguasai dan memiliki tanah berbatas yang dinmakan lingkungan tanah ( wilayah beschikkingskring). Lingkungan tanah tersebut lazimnya berisikan tanah kosong murni, tanah larangan dan lingkungan perusahaan yang terdidi dari tanah yang di atasnya terdapat pelbagai bentu usaha sebagi perwujudan hak pripadi atau hak peserta atas tanah.

1.2  Rumusan Masalah

-       Pengertian Tanah Hak Ulayat.

-       Sejarah Minangkabau.

-       Kerapatan Adat Nagari ( KAN ) Disumatera Barat.

-       Eksistensi Tanah Ulayat Di Sumatera Barat.

1.3  Tujuan Penulisan

Adapun Tujuan Penulisan dari rumusan masalah ini adalah :

-       Untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Hukum Adat.

-       Untuk Mengenal tentang Hak Ulayat.

-       Untuk Mengetahui Sejarah Minangkabau.

-       Untuk Mengetahui Kerapatan Adat Nagari ( KAN ) Di Sumatera Barat.

-       Untuk Mengetahui Eksistensi Hak Ulayat Di Sumatera Barat.

1.4  Manfaat Penulisan

Supaya makalah ini dapat menjadi bahan referensi untuk mempelajari tentang Hak Ulayat Suku Nagari  dan sebagai wawasan bagi pembaca.

 

 

 

 

 

Bab II

( Pembahasan )

2.1 Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut hak ulayat. Dalam perpustakaan Hukum Adat yang berbahasa Belanda, mengikuti penamaanya oleh van Vollenhoven, lembaganya disebut beschikkingsrecht. Hak ulayat merupakan seperangkat wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam wilayahnya[2]

Hak ulayat diatur dalam Pasal 3 UUPA yang berbunyi Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak  yang serupa dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasar persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”[3]

            Yang dimaksud dengan hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.

            Menurut Boedi Harsono, hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:[4]

a.       Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adat tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat;

b.      Masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari sebagai tanah kepunyaan bersama para warganya sebagai “labensraum”nya;

c.       Masih adanya penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksanaan hak ulayat.

Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada menurut Pasal 2 ayat (2) Permen Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, apabila:

a.       Terdapat sekelompok orang yang masih terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari;

b.      Terhadap tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-har; dan

c.       Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Apabila dipandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat, maka lingkungan tanah mungkin dikuasai dan dimiliki oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu atau beberapa masyarakat hukum adat. Oleh karena itu biasanya dibedakan antara[5]:

a.       Lingkungan tanah sendiri, yang lingkungan tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh satu masyarakat hukum adat, misalnya, masyarakat hukum adat tunggal (desa di Jawa), atau masyarakat hukum adat atasan (kuria di Angkola), atau masyarakat hukum adat bahwa (huta di Penyabungan).

b.      Lingkungan tanah bersama, yaitu suatu lingkungan tanah yang dikuasai da dimiliki oleh beberapa masyarakat hukum adat yang setingkat dengan, alternatif-alternatif , sebagai berikut:

I)           Beberapa masyarakat hukum adat tunggal, misalnya, beberapa belah di Gayo.

II)        Beberapa masarakat hukum adat atasan, misalnya, luhat di padang lawas.

III)     Beberapa masyarakat hukum adat bawahan, misalnya, huta-huta di Angkola.

Hak ulayat diakui eksistensinya bagi suatu masyarakat hukum adat tertentu, sepanjang menurut kenyataanya masih ada. Masih ada hak ulayat pada masyarakat hukum tertentu, antara lain dapat diketahui dari kegiatan sehari-hari kepala adat dan para tetua adat dalam kenyataannya, sebagai pengenban tugas kewenangan mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah ulayat, yang merupakan tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan.[6]

Pengakuan akan adanya hak ulayat atau hak bersama, juga tercantum di dalam keputusan Mahkamah Agung nomor 75 K/Sip./1969 nomor 76 K/Sip./1969. Apabila ditelaah penelitian yang pernah dilakukan di sumatera barat, maka peralihan lingkungan tanah, dikemukakan hal-hal sebagai berikut (Tasyrif Aliumar Hamdan 1977-1978:241,242$.

“Manah sebagai hubungan kaum yang terjalin antara persekutuan hukum adat (masyarakat) dengan tanah yang ditempatinya itu, ada tiga macam, sesuai dengan tingkatan masyarakat hukum di daerah ini: yaitu,

-          Manah kaum

-          Manah suku

-          Manah nagari

 Sesuai dengan tingkatan-tingkatannya manat tersebut diatas maka mengenai pemilikan dan penguasaan tana itu, ada pula tiga tingkatan pemilikan dan penguasaannya:

1.      Manah kaum, ini dimiliki oleh penghulu/datuk sebagai kepada kaum dalam kaumnya, meskipun ia sebagai penghulu pucuk tetapi didalam kaumnya sendiri dia pula sebagai penguasa tanah.

2.      Manah suku, dikuasai dan dimiliki oleh penghulu-penghulu dalam pasukuan, baik penghulu pucuk maupun penghulu andiko secara bersama-sama.

3.      Manah nagari, dimiliki oleh penghulu-penghulu dalam nagarai yang bersangkutan secara bersama-sama, terutama penghulu pucuk dalam nagari (adat koto piliang) dan seluruh penghulu suku (dalam adat bodi caniago)”.

“Di nagari-nagari yang paling kelihatan adalah manah kaum, yang telah diberikan penguasaannya kepada kaum sendiri. Sedangkan manah suku di sini walaupun ada tetapi umumnya sudah digarap pula oleh anggota kaum itu sendiri di dalam persukuannya atau dikerjakan oleh orang lain persukuan. Jadi dengan demikian “manah” ini berlaku ke luar dan kedalam.”

Masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terkait oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama satu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.

2.2 Hak Ulayat Nagari di Sumatera Barat[7]

2.2.1 Sejarah Minangkabau

Bersamaan dengan kedatangan nenek moyang orang Minangkabau elah membagi jenis persukuan dari empat suku, yaitu Koto, Piliang, Bodi dan Caniago. Kelompok-kelompok persukuan tersebut memilih empat onegal di tempat-tempat yang ketinggian (perbukitan dan pegunungan). mereka membagi hutan antara persukuan sebagai ulayatnya masing- imasing, Kemudian kedatangan rombongan lain memilih tempat tinggal di empat-tempat yang kerendahan (lembah dan daratan sepanjang pinggiran sungai), dan mereka juga telah membagi lembah dan daratan sepanjang pinggiran sungai antara persukuan sebagai ulayat masing-masing.

Kedatangan nenek moyang orang Minangkabau di gelombang pertama yang mengulayati daerah perbukitan dan pegunungan, kemudian disusul oleh kedatangan gelombang kedua yang mengulayati daerah lembah dan daratan sepanjang pinggiran sungai, itu berarti bahwa semua wilayah alam Minangkabau sudah ada yang berwenang di atasnya. Daerah pegunungan dengan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, diulayati oleh persukuan yang datang pada gelombang pertama. Demikian pula daerah lembah-lembah dan sungai serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya diulayati oleh persukuan yang datang pada gelombang kedua arena masing-masing suku, baik yang datang pada gelombang pertama pun pada gelombang kedua, mempunyai tanah ulayat (tanah ulayat suku) cukup luas, maka para pemegang ulayat pada waktu itu dikenal juga dengan sebutan raja-raja gunung atau raja-raja sungai.

Dengan demikian, tanah ulayat suku telah berbentuk semenjak kedatangan nenek moyang Minangkabau di gelombang pertama dan kedua. Sekalipun belum daerah yang diulayati itu ditempati, namun seluruh wilayah, mulai dari gunung-gunung sampai ke lembah-lembah sudah ada yang punya atau sudah ada yang mengendalikannya dengan sistem hutan jauah baulangi, hutan dakek bakundaro. Hutan jauah baulangi, artinya sekalipun hutan itu belum diolah namun tetap dikunjungi secara berkala oleh yang mempunyai ulayat untuk mengambil berbagai hasil-hasil hutan yang terdapat di dalamnya atau sekadar untuk melakukan pengawasan terhadap lahan yang berada dalam kewenangannya. Hutan dakek bakundaro artinya hutan itu sudah diolah untuk dijadikan tempat perladangan (taratak) atau untuk permukiman (dusun atau koto) Lahirnya mamangan di Minangkabau yaitu sejengkal tanah pun di Minangkabau yang tidak berpunya, tanah sudah terbagi habis menjadi tanah-tanah ulayat suku.

Selanjutnya kedatangan nenek moyang Minangkabau gelombang berikutnya mendapati daerah pegunungan, lembah, dan daratan sepanjang pinggiran sungai telah diulayati oleh masing-masing persukuan yang datang lebih awal, dengan sendirinya harus bergabung dengan penduduk yang tinggal di lereng-lereng perbukitan atau pegunungan dan dengan mereka yang tinggal di lembah atau di daratan sepanjang pinggiran sungai.

Sesuai dengan perkembangan waktu, kalau tadinya kecil sekarang sudah menjadi besar, kalau tadinya anak kemenakan belum banyak sekarang sudah berkembang biak. Bertambahnya jumlah anak kemenakan berarti pada satu sisi jumlah anak kemenakan yang memanfaatkan tanah ulayat suku semakin banyak dan pada sisi lainnya tanah ulayat suku semakin berkurang. Dengan kata lain tanah ulayat suku sebagian telah beralih menjadi kewenangan kaum. Tanah-tanah yang kewenangan berada pada kaum (Mamak Kepala Waris) disebut dengan tanah ulayat kaum atau dikenal juga dengan sebutan harato pusako tinggi; harato pusako bertembilang rayuan, bertembilang besi, atau bertembilang tanah Harta pusaka tinggi; harta pusaka bertembilang ruyung; bertembilang besi; bertembilang emas dan perak).

Tanah ulayat kaum bertambilang ruyung berarti, tanah tersebut oleh nenek moyang mereka diperoleh melalui mancacang marateh (menebang merateh dan manaruko) di tanah ulayat sukunya. Pembentukan tanah ulayat kaum seperti dikemukakan di atas (melalui mancacang marateh), bahwa tanah ulayat kaum bermula dari nenek moyang mereka yang memanfaatkan tanah ulayat suku sebagai tempat tinggal, membuat ladang dan manaruko dan tanah tersebut diwariskan kepada anak kemenakan secara turun temurun.

Tanah ulayat menurut orang Minangkabau adalah warisan dari mereka yang mendirikan Nagari. Tanah tersebut bukan saja kepunyaan umat yang ada sekarang, akan tetapi juga menjadi hak generasi yang akan datang Berdasarkan hal itu maka hak ulayat bagi orang Minangkabau mengandung tiga dimensi, yaitu:

a) Hak ulayat merupakan hak atas tanah yang mereka terima turun

b) Hak ulayat merupakan hak yang sama dari seluruh warga masyarakat

c Hak ulayat bukan saja dari yang hidup sekarang tetapi juga hak dari temurun dari para leluhurnya yang mendirikan Nagari; hukum secara keseluruhan generasi yang akan datang (sustainable development).

Setiap Nagari Minangkabau mempunyai hak ulayat dengan batas batas yang sesuai dengan keadaan alam sekitarnya, seperti puncak bukit atau sungai. Luas wilayah suatu Nagari tidak sama, tergantung kepada posisi Nagari tetangganya. Jika tidak ada Nagari tetangga maka luasnya ditentukan dengan batas kemampuan berjalan seseorang mungkin sampai di puncak bukit, tebing yang curam, sungai yang deras, hutan yang lebar yang tidak tertembus oleh manusia. Ada dua macam hak ulayat dalam uatu nagari. vaitu hak ulayat nagari dan hak ulayat kaum. Ulayat Nagari berupa hutan yang menjadi cagar alam dan tanah disebut hutan tinggi. Ulayat kaum adalah tanah yang dimanfaatkan dan dikelola. Ulayat Nagari di bawah kekuasaan Penghulu Suku yang juga disebut penghulu empat suku, sedangkan ulayat kaum di bawah kekuasaan penghulu andiko yang menjadi hasil atau mengambil pajak hasil hutan yang diperdagangkan. Di sebagian Nagari di Minangkabau ada tanah ulayat nagari tersebut penggunaannya diatur oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) .

Ulayat menurut ajaran adat Minangkabau adalah kekuasaan atau kewenangan yang dipunyai masyarakat hukum adat atas wilayah atau ruang tertentu, yang merupakan lingkungan hidup para warganya, untuk menikmati manfaat sumber daya alam bagi keangsungan hidupnya, yang timbul dari hubungan lahiriah dan batiniah, turun-temurun dari nenek moyang sampai ke generasi sekarang dan diteruskan untuk generasi yang akan dating.

Ulayat dalam tambo adat Minangkabau adalah meliputi tanah, tumbuh tumbuhan yang tumbuh di atas tanah, dan batuan, serta kekayaan alam yang berada di dalamnya.

"Sagalo nego hutan tanah, kok ngalau nan babunyi dari jiriek ann sabatang sampai ka rumpuik nan sahalai, kok capo nan sarumpun, atau batu nan sabuah, kok aie nan satitiak, kok lauik nan sadidiah, ka ateh tambun jantan, ka bawah takasiak bumi, adalah penghulu nan punyo ulayat (segala tumbuhan di hutan atau tanah, seperti ngalau yang mengandung isi dari jirek yang sebatang, sampai rumput yang helai, seperti capo yang serumpun, sampai ke batu yang sebuah, sampai ke air yang setitik, sampai ke laut yang sedidih, ke angkasa berembun jantan, ke bawah sampai ke perut bumi, semuanya penghulu yang punya ulayat).

Di samping itu, dalam tambo adat Minangkabau didapatkan kejelasan tentang ulayat:

1) Ulayat di Minangkabau tidak mengandung istilah pemisahan antara permukaan bumi dengan segala isinya;

2) Ulayat berada di tangan penghulu.

Dalam tambo juga disebutkan, penghulu sebagai pemimpin masyarakat hukum adat dan penguasa ulayat mempunyai tanggung jawab untuk mengatur penggunaan, pemanfaatan dan pewarisan ulayat kepada kemenakannya. Demikian dalam tambo Minangkabau disebutkan:

Biriek biriek tabang kasamak (birik-birik terbang ke semak)

Dari samak tahang ka halaman (dari semak terbang ke halaman)

Dari niniak turun ka mamak (dari mamak turun kemenakan)

Pusako baitu juo (pusaka seperti itu jua)

Idrus Hakimi, membagi empat cara untuk mendapatkan suatu hak menurut adat Minangkabau, yaitu:

1. Sebab dek mana, yaitu harta pusaka diterima dari nenek moyang yang merupakan kepunyaan kaum suatu wilayah dalam lorong kampung misalnya pandam pakuburan, rumah gadang, surau, lubuh tapian, dan sosok jerami.

2. Sebab dek cancang latich, tambang taruko, yaitu sawah, ladang atau tambang yang dibuka dan dikerjakan oleh orang-orang dan dilanjuti oleh anak kemenakan secara turun-temurun.

3. Sebab dek hibah, yaitu yang didapat dari pemberian atau hidah orang lain yang menjadi milik penerima.

4. Sebab dek tabuih atau bali, yaitu diperdapat dengan pembelian dan penukaran.

Dari keempat jalan mendapatkan hak tersebut di atas dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu:

1. Sebab dek mana dan sebab dek cancang latieh, tambang taruko adalah ulayat Nagari dan ulayat kaum merupakan Pusaka Tinggi.

2.Sebab dek hibah dan sebab dek tabuih bali adalah hak keluarga yang merupakan Harta Pusaka Rendah.

2.3 Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Sumatera Barat

2.3.1 Komunitas Nagari

Lembaga pertama yang diberi otoritas oleh komunitas orange Minangkabau adalah Mamak, kemudian berkembang ke atas kepada penghulu, kemudian berpucuk pada kerapatan adat, yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN)." mempunyai kewenangan dan peran dalam pengelolaan tanah ulayat nagari yang dimaksud dengan kewenangan adalah hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu, Sedangkan adalah perangkat tingkah laku yang diharapkan dimiliki oleh pemegang kedudukan di masyarakat. Istilah wewenang sering kali disamartil dengan istilah kemampuan atau bevoegdheid dalam ranah hukum perdata Istilah wewenang sebenarnya tidak dapat disamakan dengan bevoegdheid karena kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan yang mendasar berkaitan dengan karakter hukumnya. Bevoegdheid digunakan dalam konsep hukum publik dan hukum privat, sedang istilah wewenang hanya berlaku dalam konsep hukum publik. Wewenang mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik. Atau dengan perkataan lain, wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang undang atau ketentuan yang berlaku untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.

Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam hukum administrasi, karenanya pemegang hak baru dapat menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperoleh. Keabsahan tindakan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan (legaiteit beginselen).

Suatu kewenangan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku sehingga bersifat sah. Perihal kewenangan dapat dilihat pada konstitusi negara yang memberikan legitimasi kepada badan publik dan lembaga negara dalam menjalankan fungsinya. Suatu kewenangan dapat diperoleh dari 3 (tiga) sumber, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Kewenangan atribusi lazim digariskan melalui pembagian kekuasaan negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar sedang delegasi dan mandat merupakan suatu kewenangan yang berasal dari pelimpahan. Perbedaan antara kewenangan berdasarkan delegasi dan mandat menurut Philipus M. Hadjon adalah terletak pada prosedur kelimpahannya, tanggung jawab dan tanggung gugatnya serta kemungkinan dipergunakannya kembali kewenangan tersebut.

Mamak adalah lelaki yang dituankan dalam rumah gadangnya atau loh familinya. Di Minangkabau ia merupakan orang ka pai tampek batana ulang tampek babarito (orang tempat bertanya dan tempat melapor), vang memimpin dengan mufakat melalui musyawarah di rumah kandangnya Regitu juga peranan yang dipunyai penghulu. Orang yang dituankan di dalam kampung atau sukunya, berdasarkan teritorial genealogis, yang memimpin sukunya dengan mufakat yang diambil melalui musyawarah suku di surau sukunya. Kebiasaan musyawarah mencari mufakat inilah yang kemudian yang membangun institusi rapat dalam kehidupan famili, suku, dan rapat adat nagari. Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) adalah merupakan himpunan dari ninik mamak atau penghulu yang mewakili suku atau kaumnya. dan dibentuk berdasarkan atas hukum adat nagari setempat.

Lembaga Kerapatan Adat Nagari (KAN) ini merupakan lembaga tertinggi dalam hal urusan adat serta hukum adat dalam suatu nagari. Ninik mamak atau penghulu yang terhimpun dalam lembaga ini mempunyai kedudukan dan wewenang serta mempunyai hak yang sama untuk menentukan hidup dan perkembangan hukum adat.

Mamak dan penghulu merupakan pimpinan dalam kaum, namun mereka selalu mengambil keputusan berdasarkan mufakat melalui musyawarah kerapatan, terutama yang menyangkut struktur ke luar dari rumah gadangnya atau sukunya, seorang penghulu akan mewakili sukunya dalam nagari, Mufakat mereka untuk memimpin diambil dalam rapat adat nagari yang dinamakan Kerapatan Adat Nagari. Kerapatan Adat Nagari ini merupakan institusi rapat yang dihadiri oleh kepala suku yang sudah berdiri (batagak penghulu) dalam nagari. Mereka merupakan perutusan suku/kampung mereka masing-masing.

Kampung-kampung yang mempunyai sifat teritorial genealogis tersebut dalam perutusan penghulu ke Kerapatan Adat Nagari (KAN), 2 (dua) kualitas sekaligus, yakni kualitas teritorial dan kualitas genealogis. Dalam kualitas teritorial ia hadir dengan prinsip dan cara teritorial kepentingannya, dan sebagai kualitas geneologis ia hadir dengan prinsip dan cara mufakat genealogis kepentingan. Kedua prinsip ini mempunyai kaidah-kaidah yang utuh, didukung, dipertahankan, dan dikembangkan berdasarkan ketentuan yang berlaku; sekali aia gadang sakali tapian barubah (sekali air besar, sekali tepian berubah). Kaidah-kaidah iniada yang bersifat prinsipil yang harus dipacik arek, diganggam taguah (di pegang erat, digenggam teguh), dan ada pula yang bersifat teknis yang menyangkut tata cara pelaksanaannya.

Hasil mufakat yang didapatkan melalui kerapatan adat nagari, oleh para penghulu disampaikan kepada masyarakat sukunya, yang biasanya disampaikan melalui mamak-mamak rumah gadang. Hasil mufakat ini disampaikan juga di surau-surau, yang berlangsung secara dialogis.

Setiap penghulu sangat memerlukan agar hasil mufakat mereka di kerapatan adat nagari menjadi komunikatif, mempunyai otoritas. ditaati dan dapat menjadi milik masyarakat sukunya, terutama untuk dapat menghadapi bermacam-macam tantangan hidup dalam komunitas nagari. Pada tingkat nagari, biasanya kepentingan masyarakat suku dan kepentingan teritorial saling bertemu, saling menjaga, yang akhirnya melahirkan dan menumbuhkan kebutuhan mufakat. Kepentingan inilah yang mendorong diadakannya musyawarah di dalam kerapatan adat nagari. sehingga kerapatan adat nagari menjadi lembaga tertinggi nagari yang diakui dan ditaati.

Dalam struktur ke dalam kerapatan adat nagari, musyawarahnya secara lahir dipimpin oleh tuo rapek (tua rapat) dan secara batin dipimpin oleh bana (benar), yang diperoleh melalui kata mufakat, kamanakan barajo ka mamak. mamak barajo ke panghulu, panghulu barajo ka mufakat, mufakat kembali kanan bana (kemenakan beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke mufakat, mufakat kembali kepada yang benar),

Dari hal tersebut tumbuh dan berkembangnya pimpinan tunggal mamak dan penghulu, yang menyebabkan komunitas nagari mempu mempertahankan stabilitas dinamis, dalam kurun waktu yang relatif panjang. Stabilitas yang dinamis inilah kemudian yang mengantarkan nagari-nagari di Minangkabau menjadi semacam republik-republik kecil (desa), seperti yang sering disebut oleh peneliti-peneliti asing.

Kelembagaan adat nagari ini telah berkembang berabad-abad lamanya jauh sebelum penjajahan Belanda datang ke Indonesia (Sumatera Barat) Dalam waktu yang relatif panjang itu, orang Minangkabau telah hidup di bawah pimpinan penghulu penghulu yang terorganisir dalam lembaga kerapatan adat, yang terdapat pada setiap nagari.

Kepemimpinan nagari di bawah penghulu penghulu ini, setidak-tidaknya telah mengalami dua pengaruh perkembangan. Pertama, pengaruh agama hindu yang datang dalam adab pertama Masehi. Karena sifat agama Hindu yang otokratis bercampur dengan sifat tradisional masyarakat yang telah ada, akhirnya melahirkan adat Koto Piliang. Sedangkan nagari atau masyarakat yang tidak dipengaruhi hindu melahirkan adat Bodi Caniago. Perbedaan kedua adat ini (tidak prinsipil) terletak pada cara pengambilan keputusan dalam kerapatan adat mereka. Pada Koto Piliang, berlaku asas bajanjang naik batanggo turun (berjenjang naik bertangga turun), sedangkan pada Bodi Caniago berlaku asas tuah sakato cilako basilang (bersatu kuat, bercerai celaka). Namun kedua adat ini secara prinsip tetap sama, yaitu tetap mufakat dalam setiap mengambil kata putus.

Pada dasarnya kedudukan nagari adalah suatu wilayah yang mempunyai otonomi penuh, sebagai suatu republik desa di bawah pimpinan penghulu- penghulu yang terorganisir dalam kerapatan adat nagari, yang menjalankan pengurusan berdasarkan kata mufakat atau kebijaksanaan alue jo patuik (arif dan bijaksana). Bahkan hubungan antar nagari diatur dan dilaksanakan sendiri oleh kerapatan adat nagari-nagari. Namun, pengurusan kerapatan yang telah ada itulah yang terus berada dalam ikatan politik yang riil dengan anak nagari. Ikatan ini tetap dipertahankan, walaupun berbagai kekuasaan dan pengaruh silih berganti berada di atas pengurusan kerapatan adat nagari. Semua pengaruh ini boleh dikatakan tidak berpengaruh sama sekali terhadap struktur budaya, politik dan ekonomi nagari. Ini sekaligus membuktikan bahwa pengurusan nagari oleh kerapatan adat nagari berdasarkan kebijaksanaan alue jo patuik adalah kuat, karena didukung dipertahankan, dan dikembangkan secara patut dan mungkin.

2.3.2  Ninik Mamak dan Penghulu

Minangkabau adalah suatu lingkungan adat yang mengandung makna sosial kultural, sedangkan Sumatera Barat mengandung makna geografis administratif. Seluruh susunan masyarakat Minangkabau berdasarkan pembagian penduduk dalam suku-suku, baik di dalam pemerintahan nagari maupun dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga Pembagian suku itu tetap mempunyai pengaruh, karena suku itu merupakan satu Satuan geneologis yang diagungkan. Pembagian itu ternyata berlaku kela walaupun masyarakat Minangkabau telah hidup berabad-abad lamanya.

Jumlah suku (artinya empat) pada awalnya seperti nama itu send menunjukkan tidak lebih daripada empat, yakni Koto, Piliang, Bodi, da Caniago. Pembagian dalam empat suku ini, sangat sederhana timb pada tingkatan perkembangan pertama dari perkauman Minangkabau Pembagian dalam empat suku ini diciptakan oleh dua orang tokoh Minangkabau, yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nar Sebatang, supaya mereka dapat kawin-mengawini. Akan tetapi merek dilarang endogami, yaitu kawinnya laki-laki dan perempuan yang sesuku

Jadi, orang-orang yang sesuku itu menganggap mereka berdunsanak mempunyai moyang yang sama, sama berhak mendiami satuan teritorial kampungnya, harus bergotong-royong dalam semua kegiatan ekonomi dan upacara-upacara adat. Suatu kenyataan yang terdapat di Minangkabau adalah persatuan yang tersembunyi di dalam lingkungan kesukuan. Persatuan in dikuatkan oleh kepercayaan bahwa mereka semoyang dulunya, dan karena itu mereka harus seragam dan setia kawan turun-temurun.

Bilamana terjadi perselisihan di antara anggota-anggota sesuku, maka perselisihan itu diselesaikan di dalam kalangan suku oleh penghulu. penghulunya, tanpa meminta bantuan orang luar. Persatuan, keseragaman dan kesetiakawanan itu pula yang menetapkan kaidah bahwa seluruh anggota suku turut bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan oleh seorang anggota sukunya. Sasakik sasanang sahino semalu (sama hina dan sama menanggung malu, sama menderita dalam kesusahan dan sama menikmati kesenangan). Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang (berat sama dipikul, kalau ringan sama dijinjing).

Seperti yang telah diketahui pada penduduk Minangkabau berlaku sistem matrilineal, yang mereka hidup di dalam satu ketertiban masyarakat yang di dalamnya kekerabatan dihitung menurut garis ibu semata-mata, dan pusaka serta warisan diturunkan menurut garis ibu pula. Ini berarti bahwa anak laki-laki dan perempuan termasuk keluarga. Clan dan perkauman ibunya, dan bukan dari ayahnya melainkan dari ibu, mamak dan bibinya seorang anak menerima warisan harta benda.

Sistem matrilineal di Minangkabau itu mempunyai 7 (tujuh) ciri yaitu:

1.      Keturunan dihitung menurut garis ibu;

2.      Suku terbentuk menurut garis ibu;

3.      Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya (exogami):

4.      Kekuasaan di dalam suku, menurut teori terletak di tangan "ibu" tetapi jarang sekali dipergunakannya;

5.      Yang berkuasa adalah saudara laki-lakinya;

6.      Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi rumah istrinya

7.      Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya, dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan

Perkataan nagari bukanlah asli Minangkabau, mungkin sekali berasal dari kata Sansekerta nagara, yang dibawa oleh bangsa Hindu pada zaman Hindu yang mungkin menciptakan pembagian nagari, serta menentukan mereka yang bersuku-suku dulunya diam di beberapa nagari di dataran tinggi Minangkabau, yang terbentuk nagari-nagari kecil yang berpemerintahan sendiri.

Penduduk suatu nagari merupakan suatu sosial yang bersendikan dan kebudayaan dan dasar kebatinan, dengan arti bahwa mereka bersama sama mendiami suatu tempat karena mereka berasal dari nenek moyang yang sama, mempunyai satu kebudayaan dan satu kepercayaan, bukan saja diikat oleh kehendak ingin hidup bersama dengan rukun, tetapi juga oleh satu kepatuhan kepada norma-norma pergaulan hidup yang sama Setelah lama hidup bersama di dalam suatu nagari, orang-orang yang dari berbagai suku itu lalu menjadi suatu perkauman teritorial, dan mempunyai kepentingan-kepentingan yang hampir bersamaan, hingga timbul semangat tolong-menolong, gotong-royong dan keinginan hidup bersama secara damai di kalangan mereka.

Setiap nagari mempunyai satu pusat yang dinamakan koto. Di sinilah mulanya rumah-rumah penduduk didirikan. Koto berasal dari kata Sansekerta pula yang artinya suatu tempat yang diperketat untuk menahan serangan musuh dari luar. Pada masa dulu tiap koto di pagar dengan bambu berduri, dan tidak jarang pula yang dilingkari dengan tanah dan batu atau parit.

Di dalam kota itu terdapat kumpulan rumah gadang yang ditegakkan berdekat dekatan, dipisahkan oleh pekarangan atau oleh halaman. Pada waktu suatu nagari didirikan koto hanya didiami oleh mereka yang terdiri dari sebuah paruik atau yang sekarang dinamakan sakampuang. Jadi, di dalam koto itu berdiam meka yang dekat dan agak jauh pertalian darahnya, yang mempunyai satu moyang yang sama, kemudian berjurai-jurai, bersama mengalami kesenangan dan kesusahan sama menitikberatkan persatuan batin antara orang-orang yang sekota, yang dipertalikan oleh persatuan darah.

Lama-kelamaan kumpulan rumah gadang ini ditambah dengan rumah-rumah baru yang didirikan oleh orang-orang dari suku lain yang pindah kesitu dan ingin menetap selamanya di situ dengan izin keturunan dari tokoh-tokoh yang menegakkan koto itu. Demikian koto itu tumbuh berangsur-angsur menjadi satu nagari yang lebih luas.

Organisasi kemasyarakatan di Minangkabau yang kecil adalah unit paruik merupakan terpenting yang erat sekali hubungannya dengan kaum. Kaum terdiri dari beberapa buah paruik yang mendiami rumah gadang. Kaum itulah yang dipimpin oleh Mamak Kepala Waris, tetapi jika tidak terdapat kaum, maka paruiklah yang dipandang sebagai kaum. Dalam hal ini sama pengertian paruik dan kaum. Sebagai persekutuan hukum kaum merupakan organisasi yang penting karena kaum mempunyai pimpinan sendiri, yaitu Mamak Kepala Waris yang mereka sebut juga penghulu, rakyat sendiri, yaitu anak kemenakan dan kekayaan sendiri yaitu harta pusaka tinggi.

Menurut Adat Minangkabau, arti Ninik Mamak adalah hubungan dengan Gelar Pusaka yang diterima secara turun-temurun di dalam suatu kaum yang fungsinya sebagai kepala kaum atau sebagai kepala adat (Penghulu). yang harus dipangku oleh seorang laki-laki yang bertali dalam gelar pusako yang bersangkutan.

Para ninik mamak atau penghulu dipilih dan diangkat oleh anak kemenakan sebagai pemimpin dari anggota kaumnya mempunyai kedudukan yang tinggi dan peranan yang sangat penting atau sangat menentukan dalam kaum dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan adat serta hukum adat dalam suatu daerah atau nagari yang bersangkutan.

Seorang penghulu atau ninik mamak di Minangkabau jika telah lakukan pengangkatan secara mufakat dalam lingkungan kaumnya urut adat yang berlaku di daerah setempat, lazimnya dipanggil dengan gelar Datuk Seorang penghulu adalah orang yang dihormati dan disegani oleh anggota kaum dan masyarakat, dalam istilah adat disebutkan "Orang dianjung tinggi dan diamba gadang, kapai tampek batanyo, kapulang tampek habarito, nan bak kayu gadang di tangah kato, urek tampek baselo, batang tapek basanda, daun tampek bagantuang, daun rimbun tampek bataduah kehujanan tampek balindung kapanasan, nan bakato bana dan menghukum adia (artinya: seorang penghulu harus berbudi pekerti yang baik, sopan santun, rendah hati, tempat orang bertanya, tempat orang berdiskusi, tempat orang minta tolong dalam kesusahan dan kesulitan).

Penghulu Minangkabau bertugas untuk memelihara anak kemenakannya lahir dan batin, moril dan materil, dunia dan akhirat. Seorang penghulu seharusnya melengkapi diri dengan sifat-sifat penghulu itu adalah bersifat benar, dipercaya lahir dan batin, cerdas dan sifat menyampaikan.

Seorang penghulu (pemimpin) haruslah bersifat benar (siddiq), tidak bersifat dusta, karena kepadanya diserahkan segala persoalan anak kemenakan, baik mental maupun spiritual untuk mengurus dan memimpinnya. Apabila seorang penghulu tidak bersifat benar, maka hancurlah anak kemenakan, kemakmuran akan menjauh, kebenaran dan keadilan sukar ditegakkan.

Seorang penghulu hendaklah dipercaya lahir dan batin (amanah). karenanya harus bersifat jujur, lurus, dan benar, tidak penipu lain di mulut lain di hati. Jangan hendaknya sifat penghulu itu dalam tindakannya sehari-hari merugikan kepada anak kemenakan dan masyarakat. seorang penghulu (pemimpin) tidak mengenal korupsi, mengorek keuntungan dari anak kemenakan dan orang lain untuk kepentingan pribadinya.

Penghulu adalah cerdas cerdik) berpendidikan dan berilmu athanah), Tangan orang yang akan diangkat menjadi penghulu itu orang doh. Kecerdasan ini dapat dimiliki seseorang dengan menuntut an, baik ilmu agama, ilmu pengetahuan umum, yang ilmu pengetahuan, baik ilmu agama, ilmu pengetahuan umum, yang unakan untuk memimpin anak kemenakan ke arah mencapai kemakmuran lahir dan batin.

Seorang penghulu hendaknya lancar berbicara dan sifat menyampaikan (tabligh) kepada anak kemenakan tentang suruhan dan larangan yang harus diketahui dan diamalkan oleh anak kemenakan, baik suruhan dan larangan dari bidang keagamaan maupun dari pemerintahan.

Dalam menjalankan tugasnya penghulu itu mencakupi segala bidang kehidupan kaum dan anak kemenakannya seperti bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, perumahan, keamanan, agama dari kaum dan anak kemenakan serta menyelesaikan sengketa dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Apabila terjadi perselisihan dalam lingkungan anak kemenakannya, antara kaumnya dengan kaum lain atau antara anggota kaumnya dengan anggota masyarakat nagari. Tugas yang dilakukan harus mengikat dan terikat dengan kebiasaan-kebiasaan yang ada di dalam masyarakat adat di Minangkabau, yaitu:

1.        Menurut Alur yang lurus, yaitu:

Seorang penghulu dalam melaksanakan tugasnya harus menurut ketentuan adat lama pusaka using sebagaimana yang telah digariskan oleh nenek moyang Minangkabau, yakni meletakkan sesuatu itu haruslah pada tempatnya, yang berdasarkan kepada ketentuan yakni:

a)      Menurut kata pusaka (kato pusako)

Artinya seorang penghulu itu dalam melaksanakan tugasnya haruslah berusaha sejauh mungkin meletakkan sesuatu itu menurut tempatnya. berbuat dan bertindak harus tepat lurus dan benar menurut semestinya sesuai dengan yang digariskan oleh ketentuan adat itu sendiri.

b)      Melaksanakan kata mufakat (kato mufakat)

Artinya dalam setiap mengambil keputusan haruslah terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan anak kemenakan atau anggota kaumnya. setelah sama dipertimbangkan baik buruknya dalam suatu persoalan, yang buruk dibuang dan yang baik diambil, barulah diperoleh kata sepakat, sehingga kata mufakat ini adalah merupakan ciri-ciri khas dari demokrasi di Minangkabau. Segala sesuatu yang akan dilaksanakan itu merupakan kehendak dari bawah, yakni kehendak dari kemauan dari anak kemenakan

c)      Kata dahulu ditepati (kato dahulu batapati) Artinya seorang penghulu itu dalam setiap perkataan dan janji yang telah diucapkannya bisa dijadikan suatu pegangan dan tidak pernah dipungkiri.

2.        Menempuh jalan yang sudah ditentukan (menempuh jalan nan pasa)

Penghulu sebagai pemimpin dalam melaksanakan tugasnya haruslah sesuai dengan jalan yang telah ditentukan oleh adat, tidak menyimpang serta tidak melanggarnya.

3.        Memelihara harta pusaka (mamaliharo harta pusaka)

Di Minangkabau seorang laki-laki apalagi seorang penghulu berkewajiban untuk memelihara harta pusaka dari kaumnya. Harta pusaka itu jangan sampai terjual atau berpindah pada orang lain, tanpa alasan yang dibenarkan oleh adat Minangkabau."

4.        Memelihara anak kemenakan (mamaliharo anak kemenakan)

Memelihara anak kemenakan ini adalah tugas penghulu yang berat tetapi murni dan suci. Seorang penghulu yang baik dan bijaksana akan dapat memberikan arah kepada anak kemenakannya di dalam segala lapangan kehidupan, serta kewajiban-kewajiban dari anak kemenakannya terhadap perintah dan larangan agama dan sebagai warga negara termasuk juga berkewajiban menyuruh anak kemenakannya berbuat kebajikan," Kehadiran mamak dan penghulu sebagai pimpinan di dalam famili dan suku, yang bertujuan menjawab tantangan kepentingan yang dihadapi anak nagari, menyebabkan mereka berkewajiban memelihara kelanjutan keturunan manusia, harta pusaka dan budi luhur bagi generasi mendatang. Jadi, seorang mamak dan penghulu di Minangkabau mengenal baik akan kaidah-kaidah yang menjadi dasar kehidupan bersama, dan mengenal baik sistem musyawarah mufakat dengan pola authority dan partisipasi mengambil kata putus. Oleh karena itu, ditentukan sifat-sifat dan karakter seorang penghulu seperti ungkapan berikut

Kanan jalan koto Rang Kurai

Sasimpang ka ampek angkek

Penghulu kaganti lantai

Kok tapijak jan manjungkek

Adat taluak timbunan kappa

Adat lurah timbunan air

Adat gunung timbunan kabuki

Adat penghulu tahan upek

Anggang lalu atah jatuah

Pulang pa babasah-basah

Penghulu jikok takicuah

Kampung halaman kataju

Oleh karena itu, seorang penghulu harus pula merupakan orang yang 20 mempunyai:

Lubuak aka lautan budi

Aie nan janiah dayak manlandai

Bak kayu di tangah padang

Ureknyo tampek baselo

Batangnyo tampek basanda

 Daunnya tampek balinduang

Dahannyo tampek bagantuang

Dengan kata lain, seorang penghulu haruslah orang yang mampu menciptakan dan memberikan hidup damai dalam masyarakat dan memelihara hidup lahir dan batin dari kaumnya.

2.3.3  Struktur Kerapatan Adat Nagari (KAN)

berdasarkan Perda No. 13 Tahun 1983 ditetapkanlah nagari sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Provinsi Sumatera Barat dan Pelaksanaannya adalah KAN. Dalam membicarakan organisasi KAN menurut Perda No. 13 Tahun 1983 ini yaitu sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 dikemukakan hal-hal sebagai berikut Susunan Pengurus KAN: Dalam Pasal 4 Perda No. 13 Tahun 1983 ditentukan organisasi KAN sebagai berikut:

1.        Di setiap nagari dikukuhkan kerapatan adat nagari yang telah ada dan hidup di Nagari di Sumatera Barat

2.        Kerapatan adat nagari terdiri dari unsur-unsur penghulu adat yang berlaku menurut sepanjang adat dalam masing-masing nagari sesuai dengan sistem penerapannya antara lain: a) Pucuk adat dan/atau Ketua:

b) Datuk-datuk kaampek suku;

c) Penghulu penghulu andiko;

d) Urang ampek jinih.

3.        Kerapatan adat nagari dipimpin oleh seorang ketua dan/atau oleh pucuk adat. Dalam Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa unsur-unsur KAN adalah:

a) Ketua, sebagai pimpinan Kerapatan Adat Nagari diangkat dari pucuk adat yang telah ada ataupun terpilih, baik dalam sistem Koto Piliang maupun dalam sistem Bodi Caniago.

b) Datuk Kaampek suku adalah jabatan adat yang turun temurun dalam suku pada nagari yang menganut sistem Koto Piliang, sedangkan Bodi Caniago disebut Pangka Tuo Nagari.

c). Urang ampek jinih penghulu andiko adalah fungsional adat dalam sebuah kaum pada setiap nagari, fungsional adat yang turun-temurun sebagai kelengkapan adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah yaitu penghulu, manti, malin, dan dubalang dalam suku pada nagari yang menganut sistem Koto Piliang, sedangkan pada sistem Bodi Caniago tidak turun-temurun atau disebut dengan Gadang Balees

Dalam ayat (3) disebutkan bahwa untuk memimpin KAN dikukuh pimpinan KAN yang telah ada menurut sepanjang adat yang berlaku pada setia nagari. Pasal 5 Perda No. 13/1983 menyebutkan bahwa :

1.      Susunan kerapatan adat nagari diatur dan ditetapkan serta disesuaikan dengan susunan yang telah ada dan hidup pada tiap-tiap nagari di Sumatera Barat.

2.      Pimpinan kerapatan adat nagari ditetapkan dengan musyawarah panjang adat dan disampaikan kepada gubernur kepala daerah melalui bupati/walikotamadya kepala daerah

Dalam Pasal 5 ini ditentukan bahwa susunan KAN diatur ditetapkan serta disesuaikan dengan susunan yang telah ada dan bila pada tiap-tiap nagari di Sumatera Barat. Pimpinan KAN ditetapkan dengan musyawarah sepanjang adat disampaikan kepada gubernur kepala daerah melalui bupati/walikotamadya kepala daerah tingkat II

Selanjutnya Pasal 6 menyebutkan bahwa:

1) Kerapatan adat nagari mempunyai sekretariat yang dipimpin oleh seorang kepala tata usaha yang disebut dengan nagari.

2) Manti nagari dipilih oleh dan dari anggota kerapatan adat nagari

3) Manti nagari bertanggung jawab kepada ketua dan/atau pucuk adat kerapatan adat nagari.

KAN mempunyai sekretaris yang dipimpin oleh seorang Kepala Tata Usaha yang disebut Manti Nagari, mempunyai tugas mengatur dan penyelenggaraan ketatausahaan Nagari yang meliputi urusan:

1) Perdamaian adat

2) Pembinaan dan pengembangan adat

3) Harta kekayaan nagari;

4) Peningkatan kesejahteraan masyarakat nagari;

5) Keuangan nagari;

Struktur kepengurusan KAN pada umumnya terdiri dari:

1) Ketua

2) Wakil ketua

3) Sekretaris

4) Wakil sekretaris

5) Bendahara

6) Wakil bendahara

7) Bidang-bidang seperti bidang adat, bidang pembangunan, bidan keuangan, bidang harta kekayaan nagari.

2.3.4 Kewenangan dan Peran KAN

Kewenangan dan peran KAN merupakan hak dan kekuasaan yan dimilikinya untuk melakukan tugas dan fungsi yang ditetapkan oleh aturan perundang-undangan, sedangkan peran KAN dalle dakan yang diharapkan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya tersebut Pada prinsipnya baik sebelum maupun sesudah berlakunya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1979 dan Perda Nomor 13 Tahun 1983, KAN mempunyai fungsi dan tugas yang sama. Dalam Pasal 4 Perda No 13 Tahun 1983 diatur tentang fungsi dan tugas KAN dalam pengurusan hukum adat Istiadat sebagai berikut :

1)        Memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat yang menyangkut Sako dan Pusako dengan kegiatan sebagai berikut :

a.       Menginventarisasi silsilah/ranji kaum dan kedudukan suku menurut barih balabeh adat, untuk memperjelas pewarisan Sako dan Pusako melalui legalisasi KAN

b.      Menyelesaikan perkara adat melalui musyawarah dan mufakat untuk mewujudkan perdamaian yang dilakukan secara bajanjang naiak batanggo turun sepanjang adat yang berlaku dengan memedoman silsilah/ranji suku dan kaum yang bersangkutan

c.       Risalah kesimpulan perkara perdata adat, didasarkan atas musyawarah mufakat dalam sidang majelis KAN yang merupakan kata putuih" KAN untuk dipedomani oleh lembaga Peradilan

d.      KAN dapat meminta pertimbangan dan nasihat kepada lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) kecamatan, Tingkat II dan Tingkat I Sumatera Barat.

2)        Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan adat istiadat dengan kegiatan sebagai berikut :

a.       Membina masyarakat nagari dalam memantapkan pengalaman adat istiadat yang didasarkan kepada adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah melalui Pendidikan, wirid, ceramah adat dan agama di masis-masjid, surau, balai adat/rumah gadang dan tempat-tempat lainnya

b.      Memelihara dan melestarikan nilai-nilai budaya adat Minangkabau dalam memperkaya khasanah kebudayaan nasional sebagai perwujudan ungkapan adat "Adat dipakai baru, kain dipakai usang, usang-usang diperbaharui, lapuak-lapuak dikajangi

Dalam Pasal 5 Perda nomor 13 Tahun 1983 diatur mengenai fungsi dan tugasKAN dalam memelihara dan memanfaatkan kekayaan nagari, Ulayat suku dan kaum untuk kesejahteraan masyarakat nagari dapat dilakukan sebagai berikut:

1.        Melakukan inventarisasi harta kekayaan nagari serta ulayat suku dan kaum;

2.        Melegalisasikan harta kekayaan nagari, ulayat, suku, dan kaum oleh KAN:

3.        Memanfaatkan harta kekayaan nagari, ulayat, suku dan kaum oleh masyarakat/anak nagari harus mendapat persetujuan dalam bentuk legalisasi oleh KAN:

a) Terhadap pemanfaatan harta kekayaan nagari terlebih dahulu mendapat persetujuan dari KAN.

b) Terhadap pemanfaatan ulayat suku dan kaum terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Ninik Mamak Penghulu Suku, Kepala waris/kaum yang bersangkutan.

4.        Pemanfaatan harta kekayaan nagari, ulayat, suku dan kaum oleh pemerintah, untuk kepentingan umum dan sosial harus mendapat persetujuan dalam bentuk legalisasi oleh KAN:

a) Terhadap pemanfaatan harta kekayaan nagari terlebih dahulu mendapat persetujuan dari KAN.

b) Terhadap pemanfaatan ulayat suku dan kaum terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Ninik Mamak Penghulu Suku, Kepala Waris/Kaum yang bersangkutan.

5.        Pemanfaatan harta kekayaan nagari, ulayat, suku dan kaum oleh pemerintah untuk kepentingan umum dan sosial dilakukan dengan cara adat diisi lombago dituang/silsilah jariah berdasarkan musyawarah mufakat

6.        Pemanfaatan harta kekayaan nagari, ulayat, suku dan kaum oleh investor/swasta, BUMN, BUMD, Koperasi, dan Yayasan harus mendapat persetujuan dalam bentuk legalisasi oleh IKAN, yaitu

a) Terhadap pemanfaatan harta kekayaan nagari terlebih dahulu mendapat persetujuan dari KAN.

b) Terhadap pemanfaatan ulayat suku, dan kaum terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Ninik Mamak Penghulu Suku, kepala waris/kaum yang bersangkutan.

7.        Pemanfaatan harta kekayaan nagari, ulayat, suku dan kaum oleh investor/swasta, BUMN, BUMD, Koperasi, dan Yayasan dilakukan dengan cara adat "Adat diisi limbago dituang berdasarkan mufakat berupa:

a) Sebagai penyertaan saham

b) Sebagai penyertaan hak guna usaha;

c) Sebagai penyertaan hak guna bangunan

d) Sebagai penyertaan hak pakai;

e) Sebagai penyertaan hak sewa;

f) Sebagai penyertaan hak pengelolaan

g) Sebagai penyertaan dalam bentuk lainnya.

Dalam Pasal 7 ayat (1) Perda No. 13 Tahun 1983 merinci tugas-tugas KAN sebagai berikut

a.         Mengurus dan mengelola hak-hal yang berkaitan dengan sehubungan dengan sako dan pusako;

b.        Menyelesaikan perkara-perkara perdata adat dan adat istiadat

c.         Mengusahakan perdamaian dan memberikan kekuatan hukum terhadap anggota-anggota masyarakat yang bersengketa serta memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut sepanjang adat;

d.        Mengembangkan kebudayaan masyarakat nagari dalam upaya melestarikan kebudayaan daerah dalam rangka memperkaya khazanah kebudayaan nasional:

e.         Menginventarisasi, menjaga memelihara dan mengurus serta memanfaatkan kekayaan nagari untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nagari:

f.         Membina dan mengoordinir masyarakat hukum adat dari kaum menurut sepanjang adat yang berlaku pada setiap nagari berieniane baik bertangga turun yang berpucuk kepada KAN serta memupuk rasa kekeluargaan yang tinggi di tengah-tengah masyarakat nagari dalam rangka meningkatkan kesadaran sosial dan semangat kegotongroyongan;

g.        akili nagari dan bertindak atas nama dan untuk nagari atau masyarakat hukum adat nagari dalam segala perbuatan hukum didalam dan di luar peradilan untuk kepentingan dan/atau hal-hal

Dari uraian pasal-pasal yang terdapat dalam Perda No. 13 Tahun 1983 Membantu pemerintah dalam mengusahakan kelancaran pelaksanaan menyangkut dengan hak dan harta kekayaan milik nagari tersebut di atas terdapat beberapa fungsi dari KAN, yaitu

a.         pembangunan di segala bidang, terutama di bidang kemasyarakatan dan budaya;

b.        Mengurus urusan hukum adat istiadat dalam nagari;

c.         Memberikan kedudukan hukum menurut hukum adat terhadap hal-hal yang menyangkut harta kekayaan masyarakat nagari guna kepentingan hubungan keperdataan adat juga dalam hal adanya persengketaan atau perkara perdata adat

d.        Menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat Minangkabau, dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Minangkabau pada khususnya

e.         Menjaga, memelihara, dan memanfaatkan kekayaan nagari untuk kesejahteraan masyarakat nagari.

Fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh KAN berdasarkan asas musyawarah dan mufakat menurut alur dan patut sepanjang tidak bertentangan dengan adat bersendi syarak syarak bersendi kitabullah untuk kepentingan ketertiban, ketenteraman, dan kesejahteraan masyarakat nagari. Selanjutnya tugas KAN dalam hal urusan hukum adat dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah gelar adat (sako) dan harta pusaka (pusako).

Memerhatikan fungsi dan tugas KAN berdasarkan Perda No 13 tahun 1983 itu, KAN dibebani tugas menyelesaikan sengketa atau perkara vang terjadi antara sesama anak nagari, baik perkara mengenai gelar adat (sako) maupun perkara harta pusaka (pusako). Tugas tersebut harus menciptakan suatu keputusan yang adil yang bisa diterima oleh semua pihak yang bersengketa dan bukan memutuskan siapa yang menang dan siapa vang kalah

2.4 Eksistensi Tanah Ulayat di Sumatera Barat

2.4.1 Bentuk Tanah Ulayat

Masyarakat di daerah Sumatera barat memahami dan menghayati betul tentang adanya tanah ulayat, memahami tentang hak dan kewajiban atas tanah ulayat baik sebagai anggota masyarakat hukum adat maupun selaku Pemangku Adat. Berdasarkan kepada kenyataan yang ada, tanah ulayat yang terdapat di Sumatera Barat dapat dibedakan atas 3 (tiga) kelompok, yaitu: 1. Tanah Ulayat Kaum

Tanah ulayat kaum adalah tanah yang dimiliki bersama kaum secara turun temurun, pengawasannya berada di tangan mamak kepala waris dan diwariskan menurut garis keturunan ibu (matrilineal). Hal ini sesuai dengan pepatah adat basuku kabakeh ibu, babangso kabakeh ayah jauah mancari indu, dakek mancari suku. (bersuku mengikuti ibu, berbangsa mengikuti ayah, jauh mencari indu, dekat mencari suku).

Tanah ulayat kaum adalah tanah pusaka yang dimiliki oleh kaum yang berada dalam suatu suku tertentu. Setiap anggota kaum dari masing-masing suku mempunyai hak untuk mengakses ke tanah ulayat suku yang disebut dengan wewenang pilih. Artinya, setiap anggota kaum diperkenalkan untuk memilih sebidang tanah yang diinginkannya di tanah ulayat suku sesuai dengan kebutuhannya. Tanah-tanah ulayat suku yang sudah menjadi pilihan dari salah seorang anggota kaumnya, tidak boleh lagi dijadikan pilihan oleh anggota kaum lainnya, sampai tanda-tanda yang dibuat oleh anggota kaum yang pertama kali memilih masih terlihat lelassene tekukan pada sejumlah pepohonan yang terdapat di lahan pilihan Wewenang pilih dari salah seorang anggota kaum di tanah oliver sk ini, selanjutnya dapat atau akan berkembang berturut-turut menjadi hak terdahulu, hak menikmati, hak mengolah (untuk dijadikan ladang dan atau sawah), hak milik dan hak mewariskan kepada cucunya secara turun temurun. Bagian tanah ulayat yang dipilih, dinikmati, dimiliki secara turun-temurun oleh seorang anggota pesukuan disebut tanah ulayat kaum dengan kata lain tali kendali atas tanah yang tadinya berada di lembaga suku sekarang beralih ke lembaga kaum. Secara struktural eksistensi tanah ulayat suku dewasa ini sudah banyak yang beralih menjadi tanah ulayat kaum, yang dikelola secara individu atau menjadi tanah ganggam bantuak.

Orang yang berada di luar kaum untuk mendapatkan tanah ulayat dari suku tertentu terlebih dahulu harus memenuhi persyaratan, adat diisi limbago dituang. Artinya orang itu harus menjadi anggota kaum dari salah satu suku di mana dia ingin mendapatkan tanah ulayat, dan berjanji akan mematuhi segala peraturan yang berlaku di dalam suku yang bersangkutan Pepatah adat mengatakan inggok mancakam, tabang basitumpu, mamak ditinggakan mamak didapati.

Sedangkan tanah yang digunakan oleh anggota kaum dinamakan dengan ganggam bantuak. Ganggam bantuak diberikan kepada anggota yang paling membutuhkan, pada pokoknya diberikan kepada perempuan yang mempunyai tanggungan seperti ibu atau nenek. Secara prinsip pemberian ganggam bantuak tidak sama, berbeda-beda luasnya sesuai dengan kebutuhan anggota kaum. Misalnya, pemberian ganggam bantuak untuk perempuan yang bersuamikan orang kaya tidak akan sama dengan perempuan yang bersuamikan orang miskin. Dan perempuan yang memiliki banyak anak berbeda dengan yang mempunyai jumlah anak sedikit.

Ganggam bantuak memberikan hak eksklusif kepada penerimanya untuk menggunakan, memanfaatkan dan mengonsumsi hasilnya yang diberikan secara terus-menerus. Tetapi, tidak menghalangi kemungkinan terjadinya pembagian kembali ganggam bantuak itu setelah kaumnya berkembang karena kontrol ulayat masih kuat. Jika pemegang ganggam bantuak meninggal dunia, maka ganggam bantuak diwariskan kepada anak-anak dalam gars keturunan perempuan. Ganggam bantuak dalam bentuk rumah menjadi hak anak perempuan, sedangkan tanah pertanian boleh dimanfaatkan bersama oleh anak laki-laki dan perempuan. Ganggam bantuak yang tidak mencube untuk semua anak, maka pengelolaan tanah tersebut dilakukan bergiliran. Apabila anggota kaum yang mendapatkan ganggam bantuak penuh, maka ganggam bantuak kembali menjadi tanah ulayat kaum, kecuali sebelum meninggal diangkat seorang anak yang berasal dari keluarga terdekat untuk mewarisinya.

Pada saat ini, tanah ulayat kaum juga telah banyak yang berubah menjadi tanah individu atau ganggam bantuak. Tanah-tanah yang pengendaliannya berada di lembaga kaum disebut harta pusaka. Harta pusaka dilihat dari asal-usulnya dapat dibedakan atas:

a.         Harato pusako tambilang ruyuang (harta pusaka tambilang ruyung). merupakan harta pusaka yang digali dari tunggul pohon, artinya harta yang dikumpulkan oleh nenek moyang dengan cara mengolah hutan. Inilah harta pusaka yang sesungguhnya yang diwariskan turun temurun melalui anggota kaum dari generasi ke generasi.

b.        Harato pusako tambilang ameh (harta pusaka tembilang emas), artinya Tanah Ulayat Suku harta pusaka yang diperoleh dengan menggunakan emas (kemudian uang) atau harta pusaka yang asalnya dibeli, disebut juga harta pusaka rendah.

c.         Harato pusako tambilang basi ) harta pusaka tembilang besi), artinya harta pusaka yang diperoleh dengan menggunakan tembilang besi, inilah tanah yang baru di taruko (lahan bukaan baru).

d.        Harato pusako tambilang kaitan (harta pusaka tembilang kaitan), artinya harta pusaka yang diperoleh melalui hibah.

2. Tanah ulayat suku

adalah suatu wilayah yang dimiliki oleh semua anggota suku secara turun-temurun di bawah penguasaan penghulu pusuk atau penghulu suku. Tanah tersebut berasal dari penemuan pertama dari tanah vang tidak bertuan, dengan manaruko, tanah ini dipelihara dan dikuasai oleh penghulu dalam suku tersebut.

3, Tanah Ulayat Nagari

Tanah ulayat nagari adalah tanah/wilayah yang dimiliki atau dikuasai kuku yang terhimpun dalam kerapatan Adat Nagari ( KAN ) suatu nagari, tanah hutan atau tanah yang berada dalam pengelolaan suatu nagari. Tanah atau wilayah tersebut meliputi hutan atau suatu areal hutan yang belum diolah, tetapi masyarakat nagari selalu mengambil hasil dari datang.

Lahan sebagai sumber daya ekonomi harus dijaga kelestariannya penataan, penggunaan pemanfaatan, dan pencadangan serta menjaga keseimbangannya. Artinya, tanah ulayat harus digunakan sesuai dengan kondisi dan kemampuannya, jangan sampai lahan yang miring dijadikan tempat perladangan karena dapat menimbulkan erosi yang dapat merusak kesuburan lahan, dan mengakibatkan banjir. Lahan yang miring hendaklah terus dipertahankan untuk selalu ditutupi pepohonan atau dijadikan hutan

Tanah ulayat di Sumatera Barat mempunyai fungsi sosial, oleh karena itu pada dasarnya tidak menghambat pelaksanaan pembangunan dalam arti yang seluas-luasnya, bahkan dapat dan harus dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk mendapatkan adanya batas subjek hukum dan hal-hal lainnya untuk mencapai kepastian hukum pada waktu sekarang dan masa datang guna pencapaian pemanfaatan maksimal dalam pembangunan perlu dilakukan pengarahan yang tepat dalam perencanaan dan penentuan penggunaannya melalui inventarisasi registrasi, pendaftaran dan pemetaan seluruh tanah ulayat di Sumatera Barat.

Pemanfaatan tanah ulayat dalam pembangunan dalam arti yang seluas-luasnya meliputi seluruh bidang mental, spiritual, dan fisik Namun, penggunaan tanah ulayat pada prinsipnya dilakukan oleh anggota warga masyarakat (anggota kaum). Setiap warga nagari, sebagai sebuah masyarakat hukum adat atau persekutuan hidup di Minangkabau, mempunyai kesempatan yang sama untuk memilih sebidang tanah di atas tanah ulayat seluas yang diinginkannya, dan mengambil hasil yang terdapat di dalamnya serta memakainya untuk dijadikan lahan pertanian, permukiman, perkuburan dan untuk keperluan lainnya. Apabila masyarakat nagari kurang mampu, maka dapat dilakukan oleh pihak luar dengan prinsip bahwa tanah ulayat harus produktif

Khusus tanah ulayat kaum dapat dimanfaatkan oleh anggota kaum dalam bentuk hak pakai dengan istilah ganggam bantuak. Anggota masyarakat hukum adat dalam kaum yang memanfaatkan tanah ulayat kaum tidak di nungut uang adat, tetapi memerlukan izin dari Mamak Kepala Waris. Tanah ulayat kaum tidak boleh dibagi, kecuali apabila terjadi pembelahan Tanah ulayat kaum dimanfaatkan oleh anggota kaum untuk pertanian perumahan, dan apabila tanah yang dimiliki kaum melebihi dari jumlah anggota, maka tanah itu boleh dibagikan. Tanah ulayat kaum yang berlebih daikan untuk kepentingan kaum dan dicadangkan untuk penghulu atau pemangku adat yang disebut sawah pengadangan gala. Sawah panggadangan ala dikerjakan oleh para kemenakan untuk pemangku adat dengan tujuan agar pemangku adat bisa melaksanakan kewajibannya sebagai Mamak Kepala Waris tanpa terganggu oleh kesulitan ekonomi.

Setiap orang harus menaati aturan adat yang berlaku di nagari, baik penduduk asli maupun pendatang. Mereka diwajibkan oleh adat untuk melakukan pembayaran-pembayaran, dan pembayaran ataupun pemungutan adat dinamakan isi adat atau wang adat. Pemungutan atas suatu hasil disebut dengan Bunga (bunga). Wang adat biasanya dibayarkan kepada pemegang hak ulayat. Bilamana seseorang ingin mengolah sebidang tanah rimbo di nagari, ia harus membayar kepada nagari, tetapi kalau berkenaan dengan rimbo yang diolah oleh orang yang bukan anggota masyarakat kaum yang bersangkutan, maka ia harus membayar kepada penghulu yang punya hak ulayat.

Pembayaran wang adat di Minangkabau dibagi atas:

1.        Bungo tanah, suatu penggantian kerugian dalam melakukan penebangan di atas tanah orang lain, baik yang belum diolah maupun yang sedang diolah. Untuk pengelolaan penambangan oleh orang luar/asing atas tanah nagari, pembayaran wang adat dilakukan kepada nagari. Pembayaran ini sifatnya semacam penggantian kerugian terhadap pengambilan tambang dari dalam tanah.

2.        Bunpo kayu, suatu pergantian kerugian sekaligus pengakuan terhadap hak ulayat yang harus dibayarkan oleh orang dari daerah negeri lain yang memotong atau mengumpulkan hasil hutan dari dalam hutan vang berhak melakukan pungutan ini adalah gabungan kepala adat Wane ladang atau bunga tanah, semacam wang pengganti kerugian dan sekaligus pengakuan terhadap hak ulayat yang harus dibayar oleh suatu nagari atau oleh pemegang hak ulayat yang bersangkutan

3.        orang yang berladang di atas tanah ulayat. Pembayaran wang nagari atau kepada pemegang hak ulayat berupa pemberian "upeti". tidak sama di semua daerah/nagari.

4.        Pembayaran dapat kepada pasie (bunga pasir), berupa wang adat untuk kepentingan nagari, waktu membuat kolam-kolam garam atau penangkapan ikan sepanjang daerah pantai termasuk ke dalam hak ulayat suatu nagari. Semua pembayaran ini diwajibkan kepada orang luar masyarakat hukum adat yang bersangkutan

Dalam hukum adat Minangkabau, tanah adalah kepunyaan bersama anggota masyarakat hukum (kaum, suku, dan nagari) yang tidak boleh diperseorangkan. Antara hak perseorangan dan hak ulayat sangat erat kaitannya bahkan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kedua hak ini harus dibicarakan sejalan, sebab hak perseorangan tidak terlepas dari hak ulayat itu sendiri. Hak ulayat berlaku ke dalam dibatasi oleh hak perseorangan, sedangkan hak perseorangan atas tanah dibatasi oleh kelonggaran yang ditentukan oleh hak ulayat.

Ada bermacam-macam hak perseorangan atas tanah seperti :

1.        Hak berburu dan mengumpulkan hasil hutan;

2.        Hak membuka tanah, hak terdahulu, dan hak menikmati

3.        Hak milik (semacam hak menikmati);

4.        Hak pakai yang dikenal dengan ganggan bauntuak

Pengertian hak seorang warga masyarakat untuk membuka dan mengerjakan/mengolah tanah adalah warga tersebut berhak sepenuhnya atas tanah dengan ketentuan wajib menghormati

1.        Hak ulayat desa/nagarinya:

2.        Kepentingan orang lain yang memiliki tanah

3.        Peraturan adat seperti kewajiban memberi izin ternak orang dalam tanah pertanian itu tidak digunakan.

 

 

 

Bab III

( Penutup )

3.1 Kesimpulan[8]

(I)                Masyarakat hukum/anggotanya bersama-sama dapat mengambil manfaat dari tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup diatasnya.

(II)             Anggota suku bangsa/masyarakat hukum, untuk keperluan sendiri, berhak untuk berburu, mengumpulkan hasil hutan (yang kemudian dimiliki dengan hak milik) bahkan berhak memiliki beberapa batang pohon itu dipelihara olehnya.

(III)          Mereka mempunyai hak untuk membuka tanah dengan sepengetahuan kepala suku/masyarakat huku. Pembukaan tanah dengan sepengetahuan kepala suku/masyarakat hukum/desa, merupakan sebuah yang mendapat perlindungan dalam masyarakat hukum itu. Hubungan hak antara orang yang membuka tanah dan tanah yang dibuka, makin lama maikin kuat apabila tanah tersebut terus-menerus dipelihara/digarap, dan akhirnya dapat menjadi hak milik si pembuka. Sekalipun demikian, hak masyarakat hukum atas tanah itu tetap ada walaupun melemah. Apabila tanah yang sudah dibuka itu dibiarkan tidak diurus/ditelantarkan, maka tanah akan kembali menjadi hak menjadi hak ulayat masyarakat hukum desa.

3.2 Saran

Negara harus lebih memperhatikan kehidupan hak ulayat yang masih berlaku didalam masyarakat guna mengakui suku-suku adat yang masih hidup dimasyarakat.

Daftar Pustaka

Dr.Rosnidar Sembiring.,S.H.,M.Hum., Hukum Pertanahan Adat,

( PT.RajaGrafindo : Depok, 2017 ).

Dr. Urip Santoso, S.H.,M.H., Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah,

( Kencana :Jakarta, 2009 )

Drs.Nico Ngani, S.H., Perkembangan Hukum Adat Indonesia, ( Pustaka Yustisia :

Yogyakarta, 2012 )

Dr.Urip Santosa, S.H.,M.H., Hukum Agraria – Kajian Komprehensif,  ( Kencana :

Jakarta, 2012 )

Soerjono Sukanto & Soeman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia,

( PT.RajaGrafindo : Jakarta, 2003 )

Supriadi, S.H.,M.Hum., Hukum Agraria, ( Sinar Grafika : Jakarta, 2007 ).

Samuan Ismaya, Pengantar Hukum Agraria, ( Graha Ilmu : Yogyakarta, 2011 ).

 

 



[1] Soerjono Sukanto & Soeman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia,( PT.RajaGrafindo : Jakarta, 2003 ), Hal.164-178

[2] Supriadi, S.H.,M.Hum., Hukum Agraria, ( Sinar Grafika : Jakarta, 2007 )., Hal.61

[3] Dr.Urip Santosa, S.H.,M.H., Hukum Agraria – Kajian Komprehensif,  ( Kencana :Jakarta, 2012 ), Hal.81.

[4] Dr. Urip Santoso, S.H.,M.H., Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, ( Kencana :Jakarta, 2009 ), Hal.79-81.

[5] Soerjono Sukanto & Soeman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia,( PT.RajaGrafindo : Jakarta, 2003 ), Hal.164-178

[6] Samuan Ismaya, Pengantar Hukum Agraria, ( Graha Ilmu : Yogyakarta, 2011 ).,Hal.50

[7] Dr.Rosnidar Sembiring.,S.H.,M.Hum., Hukum Pertanahan Adat,( PT.RajaGrafindo : Depok, 2017 )., Hal.171

[8] Drs.Nico Ngani, S.H., Perkembangan Hukum Adat Indonesia, ( Pustaka Yustisia :Yogyakarta, 2012 ).,Hal.53-60.

No comments:

Post a Comment