Hukum Negara ( Polemik Korupsi Di Indonesia )
KORUPSI DI
INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Peraturan
perundang-undangan (legislation) merupakan wujud dari politik hukum institusi
Negara dirancang dan disahkan sebagai undang-undang pemberantasan tindak pidana
korupsi. Secara parsial, dapat disimpulkan pemerintah dan bangsa Indonesia
serius melawan dan memberantas tindak pidana korupsi di negeri ini. Tebang
pilih. Begitu kira-kira pendapat beberapa praktisi dan pengamat hukum terhadap
gerak pemerintah dalam menangani kasus korupsi akhir-akhir ini.
Gaung pemberantasan
korupsi seakan menjadi senjata ampuh untuk dibubuhkan dalam teks pidato para
pejabat Negara, bicara seolah ia bersih, anti korupsi. Masyarakat melalui LSM dan
Ormas pun tidak mau kalah, mengambil manfaat dari kampanye anti korupsi di
Indonesia. Pembahasan mengenai strategi pemberantasan korupsi dilakakukan
dibanyak ruang seminar, booming anti korupsi, begitulah tepatnya. Meanstream
perlawanan terhadap korupsi juga dijewantahkan melalui pembentukan lembaga
Adhoc, Komisi Anti Korupsi (KPK).
Celah kelemahan hukum selalu menjadi senjata ampuh
para pelaku korupsi untuk menghindar dari tuntutan hukum. Kasus Korupsi mantan
Presiden Soeharto, contoh kasus yang paling anyar yang tak kunjung memperoleh
titik penyelesaian. Perspektif politik selalu mendominasi kasus-kasus hukum di
negeri sahabat Republik BBM ini. Padahal penyelesaiaan kasus-kasus korupsi
besar seperti kasus korupsi Soeharto dan kroninya, dana BLBI dan kasus-kasus
korupsi besar lainnya akan mampu menstimulus program pembangunan ekonomi di
Indonesia.
B. PERMASALAHAN
1. Bagaimana
korupsi mempengaruhi pembangunan ekonomi di Indonesia?
2. Strategi
apa yang dapat dilakukan untuk meminimalisir praktek korupsi tersebut?
3. Bagaimana
multiplier effect bagi efesiensi dan efektifitas pembangunan ekonomi di
Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Makna
Tindak Pidana Korupsi
Jeremy Pope dalam
bukunya Confronting Coruption: The Element of National Integrity System,
menjelaskan bahwa korupsi merupakan permasalahan global yang harus menjadi
keprihatinan semua orang. Praktik korupsi biasanya sejajar dengan konsep
pemerintahan totaliter, diktator –yang meletakkan kekuasaan di tangan
segelintir orang. Namun, tidak berarti dalam sistem sosial-politik yang
demokratis tidak ada korupsi bahkan bisa lebih parah praktek korupsinya,
apabila kehidupan sosial-politiknya tolerasi bahkan memberikan ruang terhadap
praktek korupsi tumbuh subur. Korupsi juga tindakan pelanggaran hak asasi
manusia, lanjut Pope.
Menurut Dieter
Frish, mantan Direktur Jenderal Pembangunan Eropa. Korupsi merupakan tindakan
memperbesar biaya untuk barang dan jasa, memperbesar utang suatu Negara, dan
menurunkan standar kualitas suatu barang. Biasanya proyek pembangunan dipilih
karena alasan keterlibatan modal besar, bukan pada urgensi kepentingan publik.
Korupsi selalu menyebabkan situasi sosial-ekonomi tak pasti (uncertenly).
Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peluang
bisnis yang sehat. Selalu terjadi asimetris informasi dalam kegiatan ekonomi
dan bisnis. Sektor swasta sering melihat ini sebagai resiko terbesar yang harus
ditanggung dalam menjalankan bisnis, sulit diprediksi berapa Return of
Investment (ROI) yang dapat diperoleh karena biaya yang harus dikeluarkan
akibat praktek korupsi juga sulit diprediksi. Akhiar Salmi dalam makalahnya
menjelaskan bahwa korupsi merupakan perbuatan buruk,seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Dalam makalahnya,
Salmi juga menjelaskan makna korupsi menurut Hendry Campbell Black yang
menjelaskan bahwa korupsi “ An act done with an intent to give some advantage
inconsistent with official duty and the right of others. The act of an official
or fiduciary person who unlawfully and wrongfully uses his station or character
to procure some benefit for himself or for another person, contrary to duty and
the right of others.” Undang-undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, pasal 1 menjelaskan bahwa tindak pidana korupsi sebagaimana maksud
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak
pidana korupsi.
Jadi
perundang-undangan Republik Indonesia mendefenisikan korupsi sebagai salah satu
tindak pidana. Mubaryanto, Penggiat ekonomi Pancasila, dalam artikelnya
menjelaskan tentang korupsi bahwa, salah satu masalah besar berkaitan dengan
keadilan adalah korupsi, yang kini kita lunakkan menjadi “KKN”. Perubahan nama
dari korupsi menjadi KKN ini barangkali beralasan karena praktek korupsi memang
terkait koneksi dan nepotisme. Tetapi tidak dapat disangkal bahwa dampak
“penggantian” ini tidak baik karena KKN ternyata dengan kata tersebut praktek
korupsi lebih mudah diteleransi dibandingkan dengan penggunaan kata korupsi
secara gamblang dan jelas, tanpa tambahan kolusi dan nepotisme.
B. Korupsi dan Politik Hukum Ekonomi
Korupsi merupakan
permasalah mendesak yang harus diatasi, agar tercapai pertumbuhan dan geliat
ekonomi yang sehat. Berbagai catatan tentang korupsi yang setiap hari
diberitakan oleh media massa baik cetak maupun elektronik, tergambar adanya
peningkatan dan pengembangan model-model korupsi. Retorika anti korupsi tidak
cukup ampuh untuk memberhentikan praktek tercela ini. Peraturan
perundang-undang yang merupakan bagian dari politik hukum yang dibuat oleh
pemerintah, menjadi meaning less, apabila tidak dibarengi dengan kesungguhan
untuk manifestasi dari peraturan perundang-undangan yang ada. Politik hukum
tidak cukup, apabila tidak ada recovery terhadap para eksekutor atau para
pelaku hukum. Konstelasi seperti ini mempertegas alasan dari politik hukum yang
dirancang oleh pemerintah tidak lebih hanya sekedar memenuhi meanstream yang
sedang terjadi.
Dimensi politik
hukum yang merupakan “kebijakan pemberlakuan” atau “enactment policy”,
merupakan kebijakan pemberlakuan sangat dominan di Negara berkembang, dimana
peraturan perundang-undangan kerap dijadikan instrumen politik oleh pemerintah,
penguasa tepatnya, untuk hal yang bersifat negatif atau positif. Dan konsep
perundang-undangan dengan dimensi seperti ini dominan terjadi di Indonesia,
yang justru membuka pintu bagi masuknya praktek korupsi melalui kelemahan
perundang-undangan.
Lihat saja
Undang-undang bidang ekonomi hasil analisis Hikmahanto Juwana, seperti
Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Pasar Modal, Undang-undang Hak
Tanggungan, UU Dokumen Perusahaan, UU Kepailitan, UU Perbankan, UU Persaingan
Usaha, UU Perlindungan Konsumen, UU Jasa Konstruksi, UU Bank Indonesia, UU Lalu
Lintas Devisa, UU Arbitrase, UU Telekomunikasi, UU Fidusia, UU Rahasia Dagang,
UU Desain Industri dan banyak UU bidang ekonomi lainnya.
Hampir semua peraturan
perundang-undangan tersebut memiliki dimensi kebijakan politik hukum “
kebijakan pemberlakuan”, dan memberikan ruang terhadap terjadinya praktek
korupsi.Fakta yang terjadi menunjukkan bahwa Negara-negara industri tidak dapat
lagi menggurui Negara-negara berkembang soal praktik korupsi, karena melalui
korupsilah sistem ekonomi-sosial rusak, baik Negara maju dan berkembang. Bahkan
dalam bukunya “The Confesion of Economic Hit Man” John Perkin mempertegas peran
besar Negara adidaya seperti Amerika Serikat melalui lembaga donor seperti IMF,
Bank Dunia dan perusahaan Multinasional menjerat Negara berkembang seperti
Indonesia dalam kubangan korupsi yang merajalela dan terperangkap dalam hutang
luar negeri yang luar biasa besar, seluruhnya dikorup oleh penguasa Indonesia
saat itu.
Hal ini dilakukan
dalam melakukan hegemoni terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia, dan
berhasil. Demokratisasi dan Metamorfosis Korupsi Pergeseran sistem, melalui
tumbangnya kekuasaan icon orde baru, Soeharto. Membawa berkah bagi tumbuhnya
kehidupan demokratisasi di Indonesia. Reformasi, begitu banyak orang menyebut
perubahan tersebut. Namun sayang reformasi harus dibayar mahal oleh Indonesia
melalui rontoknya fondasi ekonomi yang memang “Buble Gum” yang setiap saat siap
meledak itu. Kemunafikan (Hipocrasy) menjadi senjata ampuh untuk membodohi
rakyat. Namun, apa mau dinyana rakyat tak pernah sadar, dan terbuai oleh
lantunan lembut lagu dan kata tertata rapi dari hipocrasi yang lahir dari mulut
para pelanjut cita-cita dan karakter orde baru.
Dulu korupsi
tersentralisasi di pusat kekuasaan, seiring otonomi atau desentralisasi daerah
yang diikuti oleh desentralisasi pengelolaan keuangan daerah, korupsi mengalami
pemerataan dan pertumbuhan yang signifikan. Pergeseran sistem yang penulis jelaskan,
diamini oleh Susan Rose-Ackerman, yang melihat kasus di Italy, Rose menjelaskan
demokratisasi dan pasar bebas bukan satu-satunya alat penangkal korupsi,
pergeseran pemerintah otoriter ke pemerintahan demokratis tidak serta merta
mampu menggusur tradisi suap-menyuap.
Korupsi ada di
semua sistem sosial –feodalisme, kapitalisme, komunisme dan sosialisme.
Dibutuhkan Law effort sebagai mekanisme solusi sosial untuk menyelesaikan
konflik kepentingan, penumpuk kekayaan pribadi, dan resiko suap-menyuap. Harus
ada tekanan hukum yang menyakitkan bagi koruptor. Korupsi di Indonesia telah
membawa disharmonisasi politik-ekonomi-sosial, grafik pertumbuhan jumlah rakyat
miskin terus naik karena korupsi.
Dalam kehidupan
demokrasi di Indonesia, praktek korupsi makin mudah ditemukan dipelbagai bidang
kehidupan. Pertama, karena melemahnya nilai-nilai sosial, kepentingan pribadi
menjadi pilihan lebih utama dibandingkan kepentingan umum, serta kepemilikan
benda secara individual menjadi etika pribadi yang melandasi perilaku sosial
sebagian besar orang. Kedua, tidak ada transparansi dan tanggung gugat sistem
integritas public. Biro pelayanan publik justru digunakan oleh pejabat publik
untuk mengejar ambisi politik pribadi, semata-mata demi promosi jabatan dan
kenaikan pangkat. Sementara kualitas dan kuantitas pelayanan publik, bukan
prioritas dan orientasi yang utama. Dan dua alasan ini menyeruak di Indonesia,
pelayanan publik tidak pernah termaksimalisasikan karena praktik korupsi dan
demokratisasi justru memfasilitasi korupsi.
Korupsi dan
Ketidakpastian Pembangunan Ekonomi Pada paragraf awal penulis jelaskan bahwa
korupsi selalu mengakibatkan situasi pembangunan ekonomi tidak pasti.
Ketidakpastian ini tidak menguntungkan bagi pertumbuhan ekonomi dan bisnis yang
sehat. Sektor swasta sulit memprediksi peluang bisnis dalam perekonomian, dan
untuk memperoleh keuntungan maka mereka mau tidak mau terlibat dalam konspirasi
besar korupsi tersebut. High cost economy harus dihadapi oleh para pebisnis,
sehingga para investor enggan masuk menanamkan modalnya disektor riil di
Indonesia, kalaupun investor tertarik mereka prepare menanamkan modalnya di
sektor financial di pasar uang.
Salah satu elemen
penting untuk merangsang pembangunan sektor swasta adalah meningkatkan arus
investasi asing (foreign direct investment). Dalam konteks ini korupsi sering
menjadi beban pajak tambahan atas sektor swasta. Investor asing sering
memberikan respon negatif terhadap hali ini(high cost economy). Indonesia dapat
mencapai tingkat investasi asing yang optimal, jika Indonesia terlebih dahulu
meminimalisir high cost economy yang disebabkan oleh korupsi. Praktek korupsi
sering dimaknai secara positif, ketika perilaku ini menjadi alat efektif untuk
meredakan ketegangan dan kebekuan birokrasi untuk menembus administrasi
pemerintah dan saluran politik yang tertutup.
Ketegangan politik
antara politisi dan birokrat biasanya efektif diredakan melalui praktek korupsi
yang memenuhi kepentingan pribadi masing-masing. Pararel dengan pendapat
Mubaryanto, yang mengatakan “Ada yang pernah menyamakan penyakit ekonomi
inflasi dan korupsi. Inflasi, yang telah menjadi hiperinflasi tahun 1966,
berhasil diatasi para teknokrat kita.
Sayangnya sekarang
tidak ada tanda-tanda kita mampu dan mau mengatasi masalah korupsi, meskipun korupsi
sudah benar-benar merebak secara mengerikan. Rupanya masalah inflasi lebih
bersifat teknis sehingga ilmu ekonomi sebagai monodisiplin relatif mudah
mengatasinya. Sebaliknya korupsi merupakan masalah sosial-budaya dan politik,
sehingga ilmu ekonomi sendirian tidak mampu mengatasinya. Lebih parah lagi ilmu
ekonomi malah cenderung tidak berani melawan korupsi karena dianggap “tidak
terlalu mengganggu pembangunan”. Juga inflasi dianggap dapat “lebih
menggairahkan” pembangunan, dapat “memperluas pasar” bagi barang-barang mewah,
yang diproduksi. “Dunia usaha memang nampak lebih bergairah jika ada korupsi”!
Apapun alasannya, korupsi cenderung menciptakan inefisiensi dan pemborosan
sektor ekonomi selalu terjadi. Output yang dihasilkan tidak sebanding dengan nilai
yang dikeluarkan, ancaman inflasi selalu menyertai pembangunan ekonomi. GDP
turun drastis, nilai mata uang terus tergerus. Akibat efek multiplier dari
korupsi tersebut. Mubaryanto menjelaskan, Kunci dari pemecahan masalah korupsi
adalah keberpihakan pemerintah pada keadilan.
Korupsi harus
dianggap menghambat pewujudan keadilan sosial, pembangunan sosial, dan
pembangunan moral. Jika sekarang korupsi telah menghinggapi anggota-anggota
legislatif di pusat dan di daerah, bahayanya harus dianggap jauh lebih parah
karena mereka (anggota DPR/DPRD) adalah wakil rakyat. Jika wakil-wakil rakyat
sudah “berjamaah” dalam berkorupsi maka tindakan ini jelas tidak mewakili
aspirasi rakyat, Jika sejak krisis multidimensi yang berawal dari krismon
1997/1998 ada anjuran serius agar pemerintah berpihak pada ekonomi rakyat (dan
tidak lagi pada konglomerat), dalam bentuk program-program pemberdayaan ekonomi
rakyat, maka ini berarti harus ada keadilan politik.
Keadilan ekonomi
dan keadilan sosial sejauh ini tidak terwujud di Indonesia karena tidak
dikembangkannya keadilan politik. Keadilan politik adalah “aturan main”
berpolitik yang adil, atau menghasilkan keadilan bagi seluruh warga negara.
Kita menghimbau para filosof dan ilmuwan-ilmuwan sosial, untuk bekerja keras
dan berpikir secara empirik-induktif, yaitu selalu menggunakan data-data
empirik dalam berargumentasi, tidak hanya berpikir secara teoritis saja,
lebih-lebih dengan selalu mengacu pada teori-teori Barat.
Dengan berpikir
empirik kesimpulan-kesimpulan pemikiran yang dihasilkan akan langsung
bermanfaat bagi masyarakat dan para pengambil kebijakan masa sekarang.
Misalnya, adilkah orang-orang kaya kita hidup mewah ketika pada saat yang sama
masih sangat banyak warga bangsa yang harus mengemis sekedar untuk makan.
Negara kaya atau miskin sama saja, apabila tidak ada itikad baik untuk
memberantas praktek korup maka akan selalu mendestruksi perekonomian dalam
jangka pendek maupun panjang.
Banyak bukti yang menunjukkan bahwa skandal ekonomi
dan korupsi sering terjadi dibanyak Negara kaya dan makmur dan juga terjadi
dari kebejatan moral para cleptocrasy di Negara-negara miskin dan berkembang
seperti Indonesia. Pembangunan ekonomi sering dijadikan alasan untuk menggadaikan
sumber daya alam kepada perusahaan multinasional dan Negara adi daya yang
didalamnya telah terkemas praktik korupsi untuk menumpuk pundit-pundi harta
bagi kepentingan politik dan pribadi maupun kelompoknya.
C. Korupsi dan Desentralisasi
Desentralisasi atau
otonomi daerah merupakan perubahan paling mencolok setelah reformasi
digulirkan. Desentralisasi di Indonesia oleh banyak pengamat ekonomi merupakan
kasus pelaksanaan desentralisasi terbesar di dunia, sehingga pelaksanaan
desentralisasi di Indonesia menjadi kasus menarik bagi studi banyak ekonom dan
pengamat politik di dunia. Kompleksitas permasalahan muncul kepermukaan, yang
paling mencolok adalah terkuangnya sebagian kasus-kasus korupsi para birokrat
daerah dan anggota legislatif daerah. Hal ini merupakan fakta bahwa praktek
korupsi telah mengakar dalam kehidupan sosial-politik-ekonomi di Indonesia.
Pemerintah daerah menjadi salah satu motor pendobrak pembangunan ekonomi.
Namun, juga sering membuat makin parahnya high cost economy di Indonesia, karena
munculnya pungutan-pungutan yang lahir melalui Perda (peraturan daerah) yang
dibuat dalam rangka meningkatkan PAD (pendapatan daerah) yang membuka
ruang-ruang korupsi baru di daerah. Mereka tidak sadar, karena praktek itulah,
investor menahan diri untuk masuk ke daerahnya dan memilih daerah yang memiliki
potensi biaya rendah dengan sedikit praktek korup. Akibat itu semua, kemiskinan
meningkat karena lapangan pekerjaan menyempit dan pembangunan ekonomi di daerah
terhambat. Boro-boro memacu PAD.
Terdapat beberapa
bobot yang menentukan daya saing investasi daerah. Pertama, faktor kelembagaan.
Kedua, faktor infrastruktur. Ketiga, faktor sosial – politik. Keempat, faktor
ekonomi daerah. Kelima, faktor ketenagakerjaan. Hasil penelitian Komite
Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menjelaskan pada tahun 2002
faktor kelembagaan, dalam hal ini pemerintah daerah sebagi faktor penghambat
terbesar bagi investasi hal ini berarti birokrasi menjadi faktor penghambat
utama bagi investasi yang menyebabkan munculnya high cost economy yang berarti
praktek korupsi melalui pungutan-pungutan liar dan dana pelicin marak pada awal
pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah tersebut. Dan jelas ini
menghambat tumbuhnya kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan di daerah
karena korupsi di birokrasi daerah.
Namun, pada tahun
2005 faktor penghambat utama tersebut berubah. Kondisi sosial-politik dominan
menjadi hambatan bagi tumbuhnya investasi di daerah.Pada tahun 2005 banyak
daerah melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang
menyebabkan instabilisasi politik di daerah yang membuat enggan para investor
untuk menanamkan modalnya di daerah.
Dalam situasi
politik seperti ini, investor lokal memilih menanamkan modalnya pada ekspektasi
politik dengan membantu pendanaan kampanye calon-calon kepala daerah tertentu,
dengan harapan akan memperoleh kemenangan dan memperoleh proyek pembangunan di
daerah sebagai imbalannya. Kondisi seperti ini tidak akan menstimulus
pembangunan ekonomi, justru hanya akan memperbesar pengeluaran pemerintah
(government expenditure) karena para investor hanya mengerjakan proyek-proyek
pemerintah tanpa menciptakan output baru diluar pengeluaran pemerintah (biaya
aparatur negara).
Bahkan akan
berdampak pada investasi diluar pengeluaran pemerintah, karena untuk
meningkatkan PAD-nya mau tidak mau pemerintah daerah harus menggenjot
pendapatan dari pajak dan retrebusi melalui berbagai Perda (peraturan daerah)
yang menciptakan ruang bagi praktek korupsi. Titik tolak pemerintah daerah
untuk memperoleh PAD yang tinggi inilah yang menjadi penyebab munculnya high
cost economy yang melahirkan korupsi tersebut karena didukung oleh birokrasi
yang njelimet.
Seharusnya titik
tolak pemerintah daerah adalah pembangunan ekonomi daerah dengan menarik
investasi sebesar-besarnya dengan merampingkan birokrasi dan memperpendek jalur
serta jangka waktu pengurusan dokumen usaha, serta membersihkan birokrasi dari
praktek korupsi.
D. Memberantas Korupsi demi Pembangunan Ekonomi
Selain menghambat
pertumbuhan ekonomi, korupsi juga menghambat pengembangan sistem pemerintahan
demokratis. Korupsi memupuk tradisi perbuatan yang menguntungkan diri sendiri
atau kelompok, yang mengesampingkan kepentingan publik. Dengan begitu korupsi
menutup rapat-rapat kesempatan rakyat lemah untuk menikmati pembangunan
ekonomi, dan kualitas hidup yang lebih baik. Pendekatan yang paling ampuh dalam
melawan korupsi di Indonesia. Pertama, mulai dari meningkatkan standar tata
pemerintahan – melalui konstruksi integritas nasional.
Tata pemerintahan
modern mengedepankan sistem tanggung gugat, dalam tatanan seperti ini harus
muncul pers yang bebas dengan batas-batas undang-undang yang juga harus
mendukung terciptanya tata pemerintah dan masyarakat yang bebas dari korupsi.
Demikian pula dengan pengadilan. Pengadilan yang merupakan bagian dari tata
pemerintahan, yudikatif, tidak lagi menjadi hamba penguasa. Namun, memiliki
ruang kebebasan menegakkan kedaulatan hukum dan peraturan.
Dengan demikian
akan terbentuk lingkaran kebaikan yang memungkin seluruh pihak untuk melakukan
pengawasan, dan pihak lain diawasi. Namun, konsep ini penulis akui sangat mudah
dituliskan atau dikatakan daripada dilaksanakan. Setidaknya dibutuhkan waktu
yang cukup lama untuk membangun pilar-pilar bangunan integritas nasional yang
melakukan tugas-tugasnya secara efektif, dan berhasil menjadikan tindakan
korupsi sebagai perilaku yang beresiko sangat tinggi dengan hasil yang sedikit.
Konstruksi
integritas nasional, ibarat Masjidil Aqsha yang suci yang ditopang oleh
pilar-pilar peradilan, parlemen, kantor auditor-negara dan swasta, ombudsman,
media yang bebas dan masyarakat sipil yang anti korupsi. Diatas bangunan nan
suci itu ada pembangunan ekonomi demi mutu kehidupan yang lebih baik, tatanan
hukum yang ideal, kesadaran publik dan nilai-nilai moral yang kokoh memayungi
integritas nasional dari rongrongan korupsi yang menghambat pembangunan yang
paripurna.
Kedua, hal
yang paling sulit dan fundamental dari semua perlawanan terhadap korupsi adalah
bagaimana membangun kemauan politik (political will). Kemauan politik yang
dimaksud bukan hanya sekedar kemauan para politisi dan orang-orang yang
berkecimpung dalam ranah politik.
Namun, ada yang
lebih penting sekedar itu semua. Yakni, kemauan politik yang termanifestasikan
dalam bentuk keberanian yang didukung oleh kecerdasan sosial masyarakat sipil
atau warga Negara dari berbagai elemen dan strata sosial.
Sehingga jabatan
politik tidak lagi digunakan secara mudah untuk memperkaya diri, namun sebagai
tangggung jawab untuk mengelola dan bertanggung jawab untuk merumuskan gerakan
mencapai kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Biasanya resiko politik
merupakan hambatan utama dalam melawan gerusan korupsi terhadap pembangunan
ekonomi nasional. Oleh sebab itu, mengapa kesadaran masyarakat sipil penting?.
Dalam tatanan
pemerintahan yang demokratis, para politisi dan pejabat Negara tergantung
dengan suara masyarakat sipil. Artinya kecerdasan sosial-politik dari
masyarakat sipil-lah yang memaksa para politisi dan pejabat Negara untuk
menahan diri dari praktek korupsi.
Masyarakat sipil
yang cerdas secara sosial-politik akan memilih pimpinan (politisi) dan pejabat
Negara yang memiliki integritas diri yang mampu menahan diri dari korupsi dan
merancang kebijakan kearah pembangunan ekonomi yang lebih baik. Melalui
masyarakat sipil yang cerdas secara sosial-politik pula pilar-pilar peradilan
dan media massa dapat diawasi sehingga membentuk integritas nasional yang
alergi korupsi.
Ketika Konstruksi
Integritas Nasional berdiri kokoh dengan payung kecerdasan sosial-politik
masyarakat sipil, maka pembangunan ekonomi dapat distimulus dengan efektif.
Masyarakat sipil akan mendorong pemerintah untuk memberikan pelayanan publik
yang memadai.masyarakat sipil pula yang memberi ruang dan menciptakan ruang
pembangunan ekonomi yang potensial. Masyarakat melalui para investor akan
memutuskan melakukan investasi yang sebesar-besarnya karena hambatan
ketidakpastian telah hilang oleh bangunan integritas nasional yang kokoh.
Jumlah output barang dan jasa terus meningkat karena kondusifnya iklim
investasi di Indonesia, karena kerikil-kerikil kelembagaan birokrasi yang
njelimet dan korup telah diminimalisir, kondisi politik stabil dan terkendali
oleh tingginya tingkat kecerdasan sosial-politik masyarakat sipil.
Para investor mampu membuat prediksi ekonomi dengan
ekspektasi keuntungan tinggi.Sehingga dengan begitu pembangunan ekonomi akan
memberikan dampak langsung pada pengurangan jumlah pengangguran dan masyarakat
miskin,peningkatan PAD (Pendapatan Asli Daerah) masing-masing daerah,
peningkatan GDP dan pemerintah akan mampu membangun sisten jaminan sosial
warganya melalui peningkatan kualitas pendidikan dan layanan kesehatan yang
memberikan dampak langsung pada peningkatan kecerdasan masyarakat sipil.
BAB III
KESIMPULAN
Merangkai kata
untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata dalam bentuk
gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian untuk
mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi penghambat utama
lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia. Korupsi yang telah
terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan
terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran ibarat “ yang sakit kepala,
kok yang diobati tangan “.
Pemberantasan korupsi seakan hanya menjadi
komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu
dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan
politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di Indonesia. Tidak
mudah memang.
DAFTAR PUSTAKA
Bahan Bacaan Akhiar Salmi, Paper 2006, “Memahami UU tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi”, MPKP, FE,UI.
Harian Kompas, 13 juni 2006,
Gramedia Hikmahanto Juwana, Paper 2006, “ Politik Hukum UU Bidang Ekonomi di
Indonesia”, MPKP, FE.UI.
Mubaryanto, Artikel, “ Keberpihakan dan Keadilan”, Jurnal Ekonomi Rakyat, UGM,
2004 Jeremy Pope,” Confronting Corruption: The Element of National Integrity
System”, Transparency International, 2000.
Robert A Simanjutak,” Implementasi Desentralisasi Fiskal:Problema, Prospek, dan
Kebijakan”, LPEM UI, 2003
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah.
http://intl.feedfury.com/content/30095993-makalah-korupsi-di-indonesia.html
No comments:
Post a Comment