Wednesday, February 27, 2019

Hukum Agraria ( Eksistensi Landreform )



Hukum Agraria

( Eksistensi Landreform )







Disusun oleh: 

1. Handel Ambarita NIM: 4011611040 

2. Junaidi NIM: 4011311060 

3. Marwah Adisty NIM: 4011611047 

4. Nada Irma NIM: 4011611056 




UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG 

FAKULTAS HUKUM 

TAHUN 2017 




KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah mengenai “ Eksistensi Landreform”. Tujuan dari penyusunan makalah ini untuk memberikan pengetahuan lebih kepada mahasiswa-mahasiswi jurusan Ilmu Hukum mengenai “Eksistensi Landreform” yang merupakan salah satu pelajaran yang harus diketahui dan dipahami oleh mahasiswa-mahasiswi jurusan Ilmu hukum. Makalah ini disusun berdasarkan data yang sesungguhnya yang penulis dapatkan dari beberapa sumber buku dan wawancara. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari dukungan berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin berterima kasih kepada pihak-pihak yang telah mendukung dalam penyelesaian makalah ini. Serta kepada dosen pengajar Bapak Reko Dwi Salfutra, S.H., M.H.

Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari pembaca. Harapan dari penulis semoga makalah yang memuat rangkuman mengenai “Eksistensi Landreform” tersebut dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Balunijuk, 2017 





Penulis 








BAB I 

PENDAHULUAN 


A. LATAR BELAKANG MASALAH

Awal munculnya gerakan landreform pertama-tama terjadi di daratan Eropa, bersamaan dengan munculnya revolusi prancis. Gerakan landreform muncul sebagai akibat tidak adanya keadilan sosial dalam masyarakat petani. Perbedaan kehidupan antara parapetani dan tuan-tuan tanah terlalu menyolok sehingga menimbulkan kesadaran dari para petani untuk bangkit dan menuntut keadilan sosial, kemerdekaan, dan emansipasi (pengharapan yang sama atas dasar kesamaan kedudukan), seperti halnya dimiliki oleh para tuan-tuan tanah.

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa merupakan sumber daya alam yang sangat diperlukan manusia untuk mencukupi kebutuhan, baik yang langsung untuk kehidupannya seperti untuk bercocok tanam atau tempat tinggal, maupun untuk melaksanakan usaha, seperti untuk tempat perdagangan, industri, pertanian, perkebunan, pendidikan, pembangunan sarana dan prasarana lainnya. Pemberdayaan sumber daya alam yang sangat terbatas harus dapat mengimbangi tingkat pertumbuhan kelahiran manusia yang sedemikian pesat karena seluruh sumber daya alam khususnya tanah bersifat unrenewable. Berdasarkan hal tersebut, maka negara selaku badan penguasa atas bumi, air, ruang angkasa, serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya berwenang untuk mengatur dalam rangka mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Dalam hal ini, tanah merupakan salah satu bagian penting dari landreform. Di Indonesia banyak ditemukan perombakan dan perubahan serta penataan terhadap struktur tanah. Oleh karena itu, penulis membuat makalah ini dengan judul “Eksistensi Landreform” agar pembaca mengetahui tata cara dalam penataan tanah khususnya di Indonesia.


B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja Dasar Hukum Pelaksanaan Landreform di Indonesia ?

2. Bagaimana pengaturan pelaksanaan Landreform di BPN Kota Pangkalpinang?

3. Apa saja tujuan dari Landreform ?

4. Apa saja tanah objek Landreform ?

5. Bagaimana program Landreform di Indonesia ?

6. Bagaimana pelaksanaan redistribusi tanah pertanian di Indonesia?

7. Bagaimana pelaksanaan Landreform di Indonesia ?

8. Apa itu yayasan dana Landreform ?

9. Bagaimana cara pemberian Ganti Kerugian dalam pelaksanaan Landreform ?

10. Apa saja larangan menguasai tanah melampaui batas ?

11. Bagaimana penetapan luas tanah pertanian di Indonesia ?

12. Bagaimana proses kebijakan landreform? 


C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui dasar hukum pelaksanaan Landreform di Indonesia

2. Untuk mengetahui pengaturan pelaksanaan Landreform di BPN Kota Pangkalpinang

3. Untuk mengetahui tujuan dari Landreform

4. Untuk mengetahui apa saja tanah objek Landreform

5. Untuk mengetahui program Landreform di Indonesia

6. Untuk mengetahui pelaksanaan redistribusi tanah pertanian di Indonesia

7. Untuk mengetahui pelaksanaan Landreform di Indonesia

8. Untuk mengetahui yayasan dana Landreform

9. Untuk mengetahui cara pemberian Ganti Kerugian dalam pelaksanaan Landreform

10. Untuk mengetahui larangan menguasai tanah melampaui batas

11. Untuk mengetahui penetapan luas tanah pertanian di Indonesia

12. Untuk mengetahui proses kebijakan landreform







BAB II 

TINJAUAN PUSTAKA 


A. LANDASAN TEORETIS
Dalam melaksanakan konsep landreform, setiap negara melakukan perubahan dalam proses pemilikan atas tanah. Menurut Dorren Warriner, sebagaimana yang dikutip oleh Arie Sukanti Hutagalung, mengatakan bahwa bila dilihat dari arti tersebut, pada dasarnya landreform memerlukan program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah.

Menurut Boedi Harsono, pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum, karena berhubung dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya di daerah-daerah yang padat penduduknya, hal ini menyebabkan menjadi sempitnya, kalau tidak dapat dikatakan, hilangnya sama sekali kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri.

Boedi Harsono mengatakan dengan demikian maka pemilikan tanah yang merupakan faktor utama dalam produksi pertanian diharapkan akan lebih merata, dan dengan demikian pembagian hasilnya akan lebih merata pula.[1]

Lebih jauh Noer Fauzi mengatakan bahwa puncak dari ketidakmampuan kebijakan mengakomosasikan pelbagai kepentingan dengan perumusan ideologi yang beragam adalah terputusnya pelaksanaan landreform.

Menurut George Aditjondro, sengketa pertanahan yang terjadi selama orde baru tidaklah sesederhana itu atau hanya sengketa antara pemilik lahan dengan kekuatan modal. Lebih dari itu, sengketa agraria bersifat multidimensional yang tidak bisa dipahami sebagai sesuatu persengketaan tanah an-sich, tetapi sengketa tanah adalah puncak gunung es dari beragam jenis konflik lainnya yang juga mendasar, yakni antar sistem ekonomi (kapitalis versus subsistensi), mayoritas minoritas, masyarakat modern versus masyarakat adat, negara dengan warga negara, antar sistem ekologi (ekosistem versus industrialisme), sistem pengetahuan asli, antar budaya (budaya modern versus budaya asli), dan relasi gender.

Menurut Dianto, ada beberapa corak dan pola sengketa tanah yang meliputi:[2]

1. Sengketa agraria yang disebabkan tanah yang mengandung sumber daya alam berupa hasil bumi, beragam tanaman, menajadi sumber yang diekploitasi secara masif.

2. Sengketa karena swasembada beras.

3. Sengketa agraria diareal perkebunan.

4. Sengketa akibat penggusuran-penggusuran di atas lahan yang hendak dimanfaatkan untuk industri pariwisata, real estate, kawasan industri, pergudangan, pembangunan pabrik, dan sebagainya.

5. Sengketa agraria akibat penggusuran dan pengambilan lahan rakyart untuk pembangunan saran-sarana kepentingan umum.

6. Sengketa akibat pencabutan hak rakyat atas tanah karena pembangunan taman nasional atau hutan lindung.

7. Sengketa akibat penutupan akses masyarakat untuk memanfaatkan sumber agraria non tanah, seperti perairan atau laut lepas.


B. KERANGKA KONSEPTUAL

Perkataan Landreform berasal dari kata “land” yang artinya tanah dan “reform” yang artinya perubahan, perombakan, atau penataan kembali. Jadi landreform itu berarti merombak kembali struktur hukum pertanahan lama dan membangun struktur pertanahan baru. Jadi, landreform adalah suatu asas yang menjadi dasar dari perubahan-perubahan dalam struktur pertanahan hampir seluruh dunia termasuk di Indonesia. [3]

Maksud pembentukan pengadilan Landreform menurut Undang-undang tentang pengadilan Landreform (UU No. 21 tahun 1964) ialah untuk menyelesaikan secara cepat perkara-perkara yang timbul dalam pelaksanaan peraturan-peraturan Landreform. (UU no. 7 Tahun 1970 tentang penghapusan pengadilan landreform).








BAB III 

PEMBAHASAN 


A. DASAR HUKUM PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA


Pelaksanaan landreform di Indonesia didasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

1. Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yaitu diatur dalam pasal 7, 10, 13, dan 17.

a. Pasal 7 yang menyatakan bahwa untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

b. Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanha pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakan sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara pemerasan.

c. Pasal 13 ayat (2) menyatakan bahwa pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dan organisasi-organisasi, perorangan yang bersifat monopoli.

d. Pasal 17 menyatakan:

1. Dengan mengingat pasal 7 untuk mencapai tujuan yang dimaksud pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

2. Penetapan batas maksimum dimaksud dalam pasal (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundang-undang didalam waktu yang singkat.

3. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termasuk dalam ayat (2) pasal ini diambil pemerintah dengan ganti rugi, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yangmembutuh kan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.

4. Terciptanya batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan dilaksanakan berangsur-angsur.

2. Undang-undang Nomor 56 Tahun 1950 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-udang ini mengatur tentang penetapan luas maksimum dan minimum pemilikan tanah oleh satu keluarga, serta pengaturan tentang pelaksanaan gadai tanah pertanian. Undnag-undang ini sering disebut sebagai undang-undang tentang Landreform di Indonesia. [4]

3. Peraturan-peraturan pelaksanaan landreform, antara lain sebagai berikut.

a. Peraturan pemerintah Nomor 224 tahun 1961 jo. Peraturan pemerintah Nomor 41 tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah secara Guntai/Absentee bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.

c. Keputusan Presiden tanggal 5 April 1961 No. 131 Tahun 1961 yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden tanggal 6 September 1961 No. 509 Tahun 1961 dan keputusan Presiden tanggal 17 Oktober 1964 No. 263 Tahun 1964 tentang Organisasi Penyelenggara Landreform yang kemudian dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Cara Penyelenggaraan Landreform.

d. Keputusan Menteri Agraria tanggal 31 Desember 1960 No. 978 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian.

e. Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September 1973 No. 21 Tahun 1973 tentang larangan penguasaan tanah pertanian yang melampaui batas.

4. Peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan penghapusan Tanah Partikelir antara lain:

a. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir.

b. Peraturan pemerintah Nomor 18 Tahun 1958 tentang Pelaksanaan Undang-undang Penghapusan Tanah Partikelir.

c. Peraturan Menteri Agraria No. 1 Tahun 1958 tentang Panitia Kerja Likuidasi Tanah-tanah Partikelir.

d. Keputusan Deputi Menteri/Kepala Depag No. SK. 15/Depag/1966 tanggal 4 Mei 1966 tentang pedoman tentang Penetapan Ganti Rugi Kepada Bekas Pemilik Tanah Partikelir.

5. Peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan perjanjian bagi hasil, antara lain:

a. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil.

b. Keputusan Presiden Nomor 54 Tahun 1980 tentang Kebijaksanaan Mengenai Percetakan Sawah.

c. Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1960.

d. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 4 Tahun 1964 tentang Penetapan Perimbangan Khusus Dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil. [5]

Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960 merupakan undang-undang landreform Indonesia. Ada tiga soal yang diaturnya, yaitu:

1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian.

2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikantanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

3. Soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. [6]


B. PENGATURAN PELAKSANAAN LANDREFORM DI BPN KOTA PANGKALPINANG

Dalam melaksanakan program landreform di BPN (Badan Pertanahan Nasional) Pangkal Pinang, maka dibentuk terlebih dahulu panitia landreform yang dimulai dari tingkat I pusat dan tingkat II, dan sekarang kesusunan panitia landrefrom ini melibatkan lintas. Dulu Lintas itu dikenal dengan nama Departemen dan sekarang disebut Kementrian. Jadi jika dilihat dari tanah pertanian maka di tingkat Kabupaten para Bupati dan pihak Kepolisian dilibatkan dalam pelaksanaan tersebut, jadi banyak melibatkan dari instansi dan institusi, dengan sendirinya aturan tersebut harus dijalankan karena ada unsur-unsur kepolisannya, kehakimannya, Dinas Pertanian, pengerjaan umum, Dinas koperasi dan HKTI.

Pelaksanaan landrefrom di BPN (Badan Pertanahan Nasional) Pangkalpinang sendiri menerapkan sistem pengganti kerugian. Jadi, dalam panitia landrefrom itu mempunyai dana landrefrom seperti yang tercantum dalam PP (peraturan pemerintah) Nomor 24, dan juga diberikan ganti kerugian yang disertai teknik perhitungannya. Nantinya akan diberikan uang disertai surat utang yang suatu saat berguna bagi pemilik bekas tanah pertanian yang sudah diambil alih oleh pemerintah, pemilik tersebut bisa mencairkan surat utangnya itu di bank-bank yang sudah ditunjuk oleh Panitia Pertimbangan Landrefrom. Namun, saat orde baru program landrefrom tersebut tidak lagi berjalan dengan lancar sebagaimana mestinya karena program landrefrom ini berjalan pada tahun 60an, Landrefrom ini pada hakikatnya mengatur ketimpangan struktur penguasaan kepemilikan tanah.

Di BPN Kota Pangkalpinang untuk saat ini belum terbentuk pengadilan landrefrom dan dana Landreform juga belum dijalankan sebagaimana yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah. Hal ini disebabkan karena kebanyakan pemerintah daerah sendiri belum paham tentang Landrefrom, jadi di pemerintahan provinsi kabupaten kota tidak ada panitia pertimbangan Landrefrom dan yayasan dana landrefrom. Tetapi BPN Pangkalpinang dalam beberapa tahun belakangan ini melaksanakan kegiatan landrefrom yang lebih dikenal dengan redistribusi tanah, namun redistribusi tanah yang dilaksanakan oleh BPN (Badan Pertanahan Nasional) Pangkalpinang sangat jauh proses pelaksanaannya jika dilihat dari PP Nomor 24. Dimana tanah yang diambil bukan dari tanah-tanah kelebihan maksimum, tanah absentee ataupun tanah-tanah swapraja saja yang dibagikan kepada masyarakat tetapi diperbolehkan tanah-tanah negara yang sudah dikuasai oleh petani ditegaskan oleh Menteri Agraria yang sekarang menjadi kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional), jadi redistribusi yang dimaknai Landrefrom yang dilaksanakan oleh kanwil BPN (Bada Pertanahan Nasional) atau kantor pertanahan kabupaten kota seluruh Indonesia itu hanya pembuatan hak-hak atas tanah negara yang dikuasai oleh para petani pemilik tanah, jadi memang dari awal mereka sebagai pemilik mengesahkan menggarap, beda dengan konsep yang dimaksud PP Nomor 24. PP Nomor 24 itu menyatakan bahwa orang yang mempunyai tanah hanya sedikit diberikan tambahan tanah atau diberikan tanah baru. Kalau di Bangka Belitung status tanahnya adalah milik negara yang dikuasai oleh orang perorangan atau badan hukum. Dimana ada kritik juga bagi pihak BPN sebenarnya harus bisa membuat data base tanah-tanah kelebihan maksimum, tanah-tanah absentee tapi BPN tidak bisa melaksanakan itu sendiri hal ini dikarenakan BPN hanya mempunyai data base tanah yang bersetifikat saja, kalau yang belum bersetifikat hanya pemerintahan daerah yang mengerti mulai dari desa, lurah, dan camat. Di BPN Pangkalpinang sendiri sedang menjalankan program imperitisasi penguasaan pemilikan penggunaan pengukuan tanah tetapi jika diterapkan dalam PP Nomor 24 ini tidak relevan lagi. Jika pelaksanaan landrefrom akan dijalankan dengan baik maka pihak BPN Pangkal Pinang akan meninjau lebih lanjut lagi programnya agar sesuai dengan peraturan pemerintah dan perkembangan zaman.


C. TUJUAN LANDREFORM

Landreform adalah upaya perombakan secara mendasar terhadap struktur penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia. Oleh karena itu, secara garis besar tujuan utama program Landreform adalah sebagai berikut.

1. Pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat.

2. Pelaksanaan prinsip tanah untuk petani.

3. Memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia.

4. Mengakhiri sistem tuan tanah dan pemilikan tanah secara besar-besaran.

5. Mempertinggi produksi nasional dan mendorong pertanian secara intensif, gotong royong dan koperasi.

Dengan demikian tujuan diadakan program landreform dapat diklasifaikasikan menjadi 2 bagian, yaitu:

1. Secara umum landreform bertujuan untuk mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani penggarap, sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

2. Secara khusus landreform di Indonesia diarahkan agar dapat mencapai 3 aspek sekaligus, yaitu:

a. Tujuan Sosial Ekonomi:

1. Mempertinggi keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik serta memberi isi dan fungsi sosial pada hak milik.

2. Mempertinggi produksi nasional khususnya sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup.

b. Tujuan Sosial Politik:

1. Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas.

2. Mengadakan pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula.

c. Tujuan mental Psikologis:

1. Meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak mengenai pemilikan tanah.

2. Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dengan penggarapnya.

Atas dasar tujuan itu maka sasaran yang akan dicapai adalah memberikan pengayoman kepada para petani penggarap dalam usaha memberikan kepastian hak dengan cara memberikan hak milik atas tanah yang digarapnya. [7]


D. TANAH OBJEK LANDREFORM

Tanah-tanah yang menjadi objek landreform di Indonesia adalah tanah-tanah yang disebut dalam rangka pelaksanaan landreform sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 adalah:

1. Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 56/Prp Tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada negara, karena pemiliknya melanggar ketentuan undang-undang tersebut.

2. Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya bertempat tinggal diluar daerah.

3. Tanah-tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada negara, sebagai yang dimaksud dalam Diktum keempat huruf A UUPA.

4. Tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara, yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

Selanjutnya sesuai Keputusan Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Permohonan Penegasan Tanah Negara menjadi tanah objek landreform, menyatakan tanah-tanah negara lainnya yang akan ditegaskan menjadi objek landreform oleh Kepala Badan Pertahanan Nasional meliputi:[8]

1. Tanah Negara bebas;

2. Tanah-tanah bekas hak erfpacht;

3. Tanah-tanah bekas hak guna usaha yang telah berakhir waktunya dan tidak diperpanjang oleh pemegang hak atau telah dicabut/dibatalkan oleh pemerintah;

4. Tanah-tanah Kehutanan yang telah digarap/dikerjakan oleh rakyat dan telah dilepaskan haknya oleh Instansi yang bersangkutan;

5. Tanah-tanah bekas gogolan;

6. Tanah-tanah bekas hak adat/ulayat.


E. PROGRAM LANDREFORM
Berdasarkan pengertian landreform yang dianut oleh hukum agraria nasional, maka program landreform di Indonesia meliputi:

1. Larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas.

2. Larangan memiliki tanah secara absentee.

3. Redistribusi tanah kelebihan dari batas maksimum, tanah yang terkena ketentuan absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya.

4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan.

5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

6. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

7. Usaha-usaha lain yang merupakan tindak lanjut dari program landreform sebelumnya yang meliputi:

a. Pengaturan hubungan kerja di bidang penggarapan tanah atau bagi hasil.

b. Pembelian kredit.

c. Bantuan bibit, pupuk, obat-obatan, dan lain-lain.

d. Intensifikasi.

e. Ekstensifikasi/pencetakan sawah baru.

f. Transmigrasi.

g. Koperasi pertanian (KUD).

h. Industrialisasi. [9] 


F. REDISTRIBUSI TANAH PERTANIAN

Menurut Erich Jacoby yang dikutip oleh Arie Susanti Hutagalung, bahwa yang dimaksud dengan redistribusi tanah secara umum lebih dikenal sebagai landreform. Dalam hal-hal tertentu, istilah landreform dipakai dalam arti sempit sebagai perubahan dalam pemilikan dan penguasaan tanah khususnya redistribusi tanah. Berbicara mengenai redistribusi tanah menyatakan usia redistribusi tanah adalah sama dengan sejarah manusia dan dapat dikatakan sebagai kelanjutan proses yang berhubungan dengan sejarah.

Di Indonesia, redistribusi tanah adalah pembagian tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dan telah ditegaskan menjadi objek landreform yang diberikan kepada para petani penggarap yang telah memenuhi syarat ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961, dengan tujuan untuk memeperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan cara mengadakan pembagian tanah yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.

Petani-petani yang berhak menerima redistribusi itu adalah mereka yang telah memenuhi syarat dan prioritas menurut ketentuan Pasal 8 dan 9 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 seperti berikut ini.

a. Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan.

b. Buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang bersangkutan.

c. Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan.

d. Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang bersangkutan.

e. Penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik.

f. Penggarap tanah yang oleh pemerintah diberi peruntukan lain berdasarkan Pasal 4 ayat (2) dan (3).

g. Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 (setengah) hektar.

h. Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 (setengah) hektar.

i. Petani atau buruh tani lainnya.

Apabila terdapat petani yang berada dalam prioritas sama, maka mereka mendapat pengutamaan dari petani lainnya, yaitu:

a. Petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak lebih dari dua derajat dengan mantan pemilik, dengan ketentuan sebanyak-banyaknya 5 orang.

b. Petani yang terdaftar sebagai veteran.

c. Petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur.

d. Petani yang menjadi korban kekacauan.

Selain harus memenuhi daftar prioritas seperti tersebut diatas, petani calon penerima redistribusi tanah harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.[10]

a. Syarat umum:

1. Warga negara Indonesia.

2. Bertempat tinggal di kecematan tempat tanah itu terletak dan kuat bekerja di bidang pertanian.

b. Syarat khusus:

1. Petani-petani yang tergolong dalam urutan prioritas butir (1) sampai dengan (7) telah mengerjakan tanah yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 tahun berturut-turut.

2. Petani yang tergolong dalam prioritas butir (2) telah mengerjakan tanahnya 2 musim berturut-turut.

3. Para pekerja yang tergolong dalam prioritas butir (3) telah bekerja pada mantan pemilik selama 3 tahun berturut-turut.

Pelaksanaan redistribusi tanah pertanian objek landreform dilakukan melalui tahapan-tahapan kegiatan sebagai berikut:

a. Persiapan;

b. Penyuluhan kepada calon penerima redistribusi tanah;

c. Identifikasi objek (lokasi) dan subjek (peserta penerima redistribusi);

d. Seleksi calon penerima redistribusi;

e. Pengukuran bidang-bidang tanah;

f. Membuat tugu poligon;

g. Pemetaan topografi dan penggunaan tanah;

h. Cheking realokasi.

Dari tahapan-tahapan kegiatan tersebut diatas akan menghasilkan data-data sebagai berikut:

a. Daftar inventarisasi objek dan subjek penguasaan dan penggunaan tanah;

b. Daftar calon penerima redistribusi;

c. Peta pengukuran rincian;

d. Peta topografi;

e. Desain Tata Ruang dan realokasi DTR;

f. Surat Keputusan Pemberian Hak Milik dalam rangka redistribusi tanah;

g. Setelah penerima redistribusi melunasi semua kewajibannya sebagaimana yang tercantum dalam Surat Keputusan Pemberian Hak Milik, selanjutnya dapat didaftarkan pada Kantor Pertahanan Kabupaten/Kota untuk memperoleh sertifikasi. [11]


G. PENGADILAN LANDREFORM

Untuk menyelesaikan perkara-perkara yang timbul sebagai akibat pelaksanaan landreform dibentuklah pengadilan Landreform berdasarkan UU No. 1 Tahun 1964 tetapi kenyataannya pengadilan ini tidak dapat bekerja secara efektif. Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1970 pengadilan landreform ini dihapus. Apabila terjadi sengketa yang berkenaan dengan landreform, maka penyelesaiannya dilakukan melalui:

1. Peradilan Umum, berdasarkan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 apabila sengketa itu bersifat perdata atau pidana.

2. Aparat pelaksanaan landreform apabila mengenai sengketa administrasi.[12]

Pengadilan landreform juga diatur dalam UU No. 21 Tahun 1964, pengadilan Landreform berwenang mengadili “perkara-perkara landreform” yaitu perkara-perkara perdata, pidana maupun administratip yang timbul dalam melaksanakan peraturan-peraturan landreform (Pasal 2 ayat 1). Dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan secara rinci peraturan-peraturan mana yang dimaksudkan dengan “peraturan landreform”. Peraturan landreform tidak terbatas pada UU No. 2 Tahun 1960 dan UU No. 56 Prp Tahun 1960 serta peraturan-peraturan pelaksanaannya. Turut disebut juga UU No. 5 Tahun 1960, UU No. 38 Prp Tahun 1960, UU No. 51 Prp Tahun 1960 dan UU No. 16 Tahun 1964.[13]

Keistimewaan yang menonjol dari pengadilan landreform adalah susunannya, yang merupakan unikum dalam sejarah peradilan Indonesia. Yakni keikutsertaan dari perwakilan organisasi tani sebagai hakim anggota. Setiap pengadilan landreform-baik pusat maupun daerah- terdiri atas satu atau beberapa kesatuan majelis, yang masing-masing kesatuan terdiri dari:

1. Seorang hakim dari pengadilan umum sebagai ketua.

2. Seorang pejabat dari departemen agraria sebagai anggota.

3. Tiga orang wakil organisasi masa tani sebagai anggota dan harus mencerminkan proses Nasionalisme-Agama-Komunisme (Nasakom).[14]


H. YAYASAN DANA LANDREFORM
Yayasan Dana Landreform merupakan badan otonom yang bertujuan untuk memperlancar pengurusan keuangan dalam rangka pelaksanaan landreform. Yayasan ini dibentuk berdasarkan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 dan telah diambil alih oleh Dapartemen Keuangan sejak tahun 1984 selanjutnya sumber keuangan Yayasan Dana Landreform ini adalah:

1. Dana Pemerintah;

2. Pungutan 10% biaya administrasi dari harga tanah yang harus dibayar oleh petani yang menerima hak milik atas tanah redistribusi;

3. Hasil sewa dan penjualan tanah dalam rangka pelaksanaan landreform;

4. Lain-lain sumber yang sah yang menjadi wewenang Direktorat Agraria (sekarang Kantor BPN).


I. GANTI KERUGIAN

Ganti kerugian ini akan diberikan kepada para pemilik tanah objek landreform yang terkena ketentuan kelebihan maksimum dan larangan absentee yang tanahnya diambil alih oleh negara untuk keperluan redistribusi tanah. Pengecualiannya adalah terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang, misalnya pelanggaran mengenai batas maksimum, tidak diberi ganti kerugian dalam bentuk apapun.

Pemberian ganti kerugian kepada para bekas pemilik tanah tersebut mencerminkan penghargaan dan penghormatan pemerintah atas hak-hak tanah yang dimiliki seseorang. Ganti kerugian ini pada asasnya dibayar oleh petani penerima redistribusi. Namun, karena mereka itu umumnya miskin dan tidakmampu membayar, maka untuk memperlancar pelaksanaannya mereka dibantu oleh Yayasan Dana Landreform.

Perhitungan besar ganti kerugian diatur dalam Pasal 6 PP No. 224 Tahun 1961 dan Peraturan Dirjen Agraria No. 4 Tahun 1967. Apabila dari perhitungan itu ternyata hasilnya lebih besar daripada harga umum, maka yang dipakai untuk penetapan adalah harga umum setempat. Apabila pemilik asli tidak setuju dengan besarnya ganti kerugian yang ditetapkan oleh Panitia Pertimbangan Landreform Kabupaten/Kota, maka dia dapat mengajukan banding kepada Panitia Pertimbangan Landreform Provinsi dalam jangka waktu 2 bulan sejak penetapan ganti Kerugian.[15]

Cara pembayaran ganti kerugian adalah sebagai berikut.

1. Berdasarkan PP No. 224 Tahun 1961; pada mulanya pembayaran ganti kerugian didasarkan pada ketentuan Pasal 7 PP No. 224 Tahun 1961 yang intinya 10% dari jumlah ganti kerugian yang harus dibayar diberikan secara tunai dan dapat diambil sewaktu-waktu sejak satu tahun setelah tanahnya dibagikan kepada petani. Sisanya sebesar 90% diberikan dalam bentuk Surat Hutang Landreform yang dapat diambil tiap tahun mulai 2 tahun setelah Surat Hutang Landreform dikeluarkan dan akan dilunasi dalam waktu 12 tahun , bunga yang diberikan adalah sebesar 5% setahun. Apabila besarnya ganti kerugian tidak lebih dari Rp25.000,00, maka dapat diberikan secara tunai sekaligus.

2. Berdasarkan peraturan Direktorat Jenderal Agraria No. 4 Tahun 1967, cara pembayaran berdasarkan Pasal 7 PP No. 224 Tahun 1961 tidak dapat dipertahankan lagi mengingat terjadi perubahan nilai uang dari Rp1000,00 menjadi Rp1,00 pada tahun 1965. Kemudian diadakan cara pembayaran dan penyesuaian besar ganti kerugian berdasarkan Peraturan Dirjen Agraria No. 4 Thaun 1967 pada pokoknya ditentukan bahwa ganti kerugian dibayarkan secara tunai dan besar ganti kerugian per hektar maksimum Rp50.000,00. Pembayaran kepada bekas pemilik tanah dilakukan dengan prioritas tertentu. Selanjutnya dengan Keputusan Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 4 Tahun 1992 besarnya uang ganti rugi untuk tanah kelebihan maksimum/absentee disesuaikan dengan nilai maksimal Rp3.500.000,-/Ha.

3. Permendagri Nomor 15 Tahun 1974 dan Nomor 257 Tahun 1975; Pembayaran ganti rugi berdasarkan Peraturan Dirjen Agraria Nomor 4 Tahun 1967 itu pun tidak lancar. Untuk meningkatkan cara pembayaran,dikeluarkanlah Permendagri No.15 Tahun 1974 dan Nomor 257 Tahun 1975. Berdasarkan kedua peraturan tersebut, ganti kerugian dibayarkan secara langsung, yaitu dari penerima redistribusi tanah kepada Ketua Panitia Pertimbangan Landreform Kabupaten/Kota untuk selanjutnya saat itu pula diserahkan kepada bekas pemilik tanah yang bersangkutan, dengan menandatangani Berita Acara Pembayaran Ganti Rugi Tanah dan Kuitansi. [16]


J. LARANGAN MENGUASAI TANAH MELAMPAUI BATAS
Ketentuan Pasal 7 UUPA tersebut berbunyi sebagai berikut.

Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 7 di atas, menurut Boedi Harsono, pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas merugikan kepentingan umum, karena berhubung dengan terbatasnya persediaan tanah pertanian, khususnya di daerah-daerah yang padat penduduknya hal itu menyebabkan menjadi sempitnya, kalau tidak dapat dikatakan, hilangnya sama sekali kemungkinan bagi banyak petani untuk memiliki tanah sendiri.

Dengan demikian, apabila disimak dengan seksama, yang dilarang oleh Pasal 7 ini bukan hanya pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi juga penguasaannya. Penguasaan tersebut selain dengan hak milik, dapat dikatakan juga dengan hak-hak lain, seperti hak gadai, hak sewa (jual tahunan), usaha bagi hasil, dan lain-lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Boedi Harsono yang mengatakan bahwa yang dilarang itu bukan hanya pemilikannya, tetapi juga penguasaan tanah dalam bentuk-bentuk lainnya, memang sesuai dengan keadaan di Indonesia.


K. PENETAPAN LUAS TANAH PERTANIAN
Penetapan luas tanah pertanian diatur dalam Pasal 17 UUPA sebagai berikut.

1. Dengan mengingatkan ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan suatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh suatu keluarga atau badan hukum.

2. Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan dalam waktu yang singkat.

3. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjunya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah.

4. Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur.[17]

Berikut ini disajikan tabel batas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian menurut kepadatan penduduk dan jenis tanah pertanian. [18]


Kepadatan penduduk/km persegi

Kategori kepadatan

Luas maksimum


Tanah basah

Tanah kering


0 s.d. 50

Tidak padat

15 hektar

20 hektar


51 s.d. 250

Kurang padat

10 hektar

12 hektar


251 s.d. 400

Cukup padat

7,5 hektar

9 hektar


400 s.d. dst

Sangat padat

5 hektar

6 hektar


Luas maksimum yang ditetapkan harus memperhatikan keadaan daerah tingkat II masing-masing dan faktor-faktor sebagai berikut.

1. Tersedianya tanah-tanah yang masih dapat dibagi

2. Kepadatan penduduk

3. Jenis-jenis kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan antara sawah dan tanah kering diperhatikan apakah ada perairan yang teratur atau tidak)

4. Besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya menurut kemampuan satu keluarga dengan engerjakan beberapa buruh tani.

Suatu pengecualian dimana penetapan maksimum yang telah

Tingkat kemajuan teknik pertanian

5. Tingkat kemajuan teknik pertanian.

Suatu pengecualian dimana penetapan maksimum tidak berlaku terhadap tanah pertanian yang dikuasai

1. Dengan Hak Guna Usaha

2. Dengan hak-hak lainnya yang bersifat sementaraa dan terbebas yang didapat oleh pemerintah

3. Tanah bengkok /Jabatan

4. Oleh badan-badan hukum

Apabila perseorangan atau suatu keluarga yang memiliki tanah pertanian yang luasnya melebihi batas maksimum diberi suatu kewajiban berupa:

1. Melapor

2. Meminta izin apabila ingin memindahkan hak atas tanahnya

3. Usaha penguasaan tidak melebihi batas melebihi yang telah diterapkan [19]


L. KEBIJAKAN LANDREFORM

Dampak negatif dari kebijakan propertumbuhan yang sangat barat sebelah itu tampak pada semakin terdesaknya hak-hak petani, dengan semakin menyusutnya areal tanah pertanian akibat pertambahan jumlah penduduk dan alih fungsi tanah pertanian. Di lain pihak, pemanfaatan tanah dalam skala besar yang dikuasai perusahaan jauh dari optimal. Karena itu, kebijakan tersebut sedang dikoreksi melalui penyiapan RPP tentang maksimum luas penguasaan tanah untuk usaha yang memerlukan lahan dalam skala besar.

Program landreform sebagai strategi untuk mencapai keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah pertania telah diawali dengan penerbitan UU No. 56 Prp Tahun 1960 berikut berbagai peraturan pelaksanaannya. Salah satu strategi yang dipilih adalah redistribusi tanah pertanian yang berasal dari tanah-tanah kelebihan batas maksimum, tanah guntai (absentee), tanah swapraja, tanah partikelir, dan tanah negara. Secara operasional, program itu tidak berjalan lancar karena kendala yang bersifat politis, teknis administrasi, dan legal.

Ketentuan tentang larangan pemilikan tanah secara absentee pun sering dilanggar dengan adanya kemudahan memperoleh KTP di lokasi tanah pertanian yang bersangkutan. Di samping itu, mengingat kemajuan komunikasi dan transportasi, alasan jarak antara tempat tinggal dan letak tanah sebagai dasar larangan pemilikan tanah secara absentee sudah ketinggalan zaman. UU No 2 Tahun 1960 tentang Bagi Hasil Tanah Pertanian yang bertujuan memberikan kepastian hukum kepada pemilik tanah dan penggarap, dalam kenyataannya, secara sosiologis tidak berlaku. Hal itu antara lain akibat kesenjangan pola pikir legalistik-formalistik, dengan adanya keharusan perjanjian tertulis, dan alam pikiran tradisional yang lebih menghargai hubungan kepercayaan ketimbang formalitas.

Program landreform bertujuan memberdayakan petani dengan mewujudkan akses terhadap lapangan kerja, yang dijamin dengan akses terhadap modal dan pasar produksi. Pelaksanaannya tentu memerlukan peraturan yang mendukung dan koordinasi antara-instansi terkait, yang pertanggungjawabannya jelas, dan perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi programnya transparan. [20]












BAB IV 

PENUTUP 

A. KESIMPULAN

1. Pelaksanaan landreform di Indonesia didasarkan pada peraturan perundang-undangan yakni: Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agrariapasal 7, 10, 13, dan 17, UU No. 56 Tahun 1950 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, PP No. 224 tahun 1961 jo. PP No. 41 tahun 1964 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, PP No. 4 Tahun 1977 tentang Pemilikan Tanah secara Guntai/Absentee bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri. Kepres tanggal 5 April 1961 No. 131 Tahun 1961 yang kemudian diubah dengan Kepres tanggal 6 September 1961 No. 509 Tahun 1961 dan Kepres tanggal 17 Oktober 1964 No. 263 Tahun 1964 tentang Organisasi Penyelenggara Landreform yang kemudian dicabut dan diganti dengan Keputusan Presiden No. 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Cara Penyelenggaraan Landreform. Keputusan Menteri Agraria tanggal 31 Desember 1960 No. 978 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian, Instruksi Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September 1973 No. 21 Tahun 1973 tentang larangan penguasaan tanah pertanian yang melampaui batas, Peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan penghapusan Tanah Partikelir, Peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan perjanjian bagi hasil, Undang-undang No. 56 Prp Tahun 1960

2. Pelaksanaan Landreform di BPN kota Pangkalpinang tidak semua program nya sesuai dengan Peraturan Pemerintah yang mengaturnya, hal ini disebabkan karena Peraturan Pemerintah tersebut berlaku di era tahun 60an, sehingga terdapat beberapa peraturan yang sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

3. Landreform bertujuan agar Pembagian tanah yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat, sebagai pelaksanaan prinsip tanah untuk petani, memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia, mengakhiri sistem tuan tanah dan pemilikan tanah secara besar-besaran dan untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong pertanian secara intensif, gotong royong dan koperasi.

4. Tanah-tanah yang menjadi objek landreform di Indonesia adalah tanah-tanah yang disebut dalam rangka pelaksanaan landreform sesuai dengan ketentuan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 meliputi: Tanah selebihnya dari batas maksimum, tanah yang diambil oleh pemerintah karena pemiliknya bertempat tinggal diluar daerah, tanah Swapraja dan bekas Swapraja yang telah beralih kepada negara, dan tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara.

5. Landreform di Indonesia mempunyai beberapa Program yang meliputi:

1. Larangan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas.

2. Larangan memiliki tanah secara absentee.

3. Redistribusi tanah kelebihan dari batas maksimum, tanah yang terkena ketentuan absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya.

4. Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan.

5. Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

6. Penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian disertai larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil.

7. Usaha-usaha lainyang merupakan tindak lanjut dari program landreform sebelumnya.

6. Redistribusi tanah adalah pembagian tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara dan telah ditegaskan menjadi objek landreform yang diberikan kepada para petani penggarap yang telah memenuhi syarat ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961, dengan tujuan untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan cara mengadakan pembagian tanah yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata.

7. Pengadilan landreform juga diatur dalam UU No. 21 Tahun 1964, pengadilan Landreform berwenang mengadili “perkara-perkara landreform” yaitu perkara-perkara perdata, pidana maupun administratip yang timbul dalam melaksanakan peraturan-peraturan landreform (Pasal 2 ayat 1). Keistimewaan yang menonjol dari pengadilan landreform adalah susunannya, yang merupakan unikum dalam sejarah peradilan Indonesia. Yakni keikutsertaan dari perwakilan organisasi tani sebagai hakim anggota.

8. Yayasan Dana Landreform merupakan badan otonom yang bertujuan untuk memperlancar pengurusan keuangan dalam rangka pelaksanaan landreform.

9. Mengenai hal ganti kerugian ini akan diberikan kepada para pemilik tanah objek landreform yang terkena ketentuan kelebihan maksimum dan larangan absentee yang tanahnya diambil alih oleh negara untuk keperluan redistribusi tanah. Pengecualiannya adalah terhadap pelanggaran ketentuan undang-undang, misalnya pelanggaran mengenai batas maksimum, tidak diberi ganti kerugian dalam bentuk apapun.

10. Dalam Pasal 7 yang dilarang ini bukan hanya pemilikan tanah yang melampaui batas, tetapi juga penguasaannya. Penguasaan tersebut selain dengan hak milik, dapat dikatakan juga dengan hak-hak lain, seperti hak gadai, hak sewa (jual tahunan), usaha bagi hasil, dan lain-lainnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Boedi Harsono yang mengatakan bahwa yang dilarang itu bukan hanya pemilikannya, tetapi juga penguasaan tanah dalam bentuk-bentuk lainnya, memang sesuai dengan keadaan di Indonesia.

11. Penetapan luas tanah pertanian diatur dalam Pasal 17 UUPA. Tabel batas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian menurut kepadatan penduduk dan jenis tanah pertanian.


Kepadatan penduduk/km persegi

Kategori kepadatan

Luas maksimum


Tanah basah

Tanah kering


0 s.d. 50

Tidak padat

15 hektar

20 hektar


51 s.d. 250

Kurang padat

10 hektar

12 hektar


251 s.d. 400

Cukup padat

7,5 hektar

9 hektar


400 s.d. dst

Sangat padat

5 hektar

6 hektar

12. Program landreform sebagai strategi untuk mencapai keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah pertanian telah diawali dengan penerbitan UU No. 56 Prp Tahun 1960 berikut berbagai peraturan pelaksanaannya. Salah satu strategi yang dipilih adalah redistribusi tanah pertanian yang berasal dari tanah-tanah kelebihan batas maksimum, tanah guntai (absentee), tanah swapraja, tanah partikelir, dan tanah negara.


B. SARAN

1. Jika pelaksanaan Landreform di Indonesia terutama di Bangka Belitung sesuai dengan peraturan yang ada maka hak atas tanah bagi para petani penggarap bisa sesuai dan merata. Akan tetapi dari peraturan tersebut harus ditinjau ulang karena ada yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

2. Pelaksanaan Landreform di BPN Kota Pangkalpinang sebenarnya sudah baik akan tetapi menurut saya lebih baik pelaksanaan nya sesuai dengan prosedur dan peraturan yang berlaku. Akan tetapi peraturan yang sudah tidak efektif lagi sebaiknya di Perbaharui atau di tinjau ulang.

3. Setelah diketahui tujuan dasar dari landreform adalah pembagian tanah yang adil terhadap sumber penghidupan rakyat. Jadi menurut kami pihak BPN harus lebih rutin melakukan tinjauan kelapangan, karena seperti yang kita ketahui masih banyak di beberapa daerah yang menerapkan sistem tuan tanah, hal ini menyebabkan tujuan landreform menjadi terhambat.

4. Pada ketentuan pasal 1 PP No 224 tahun 1961 ada beberapa ketentuan yang menjadi tanah-tanah objek landreform seperti yang terdapat pada kesimpulan nomor 4 diatas. Jadi, manurut kami sebaiknya pihak BPN harus lebih efektif dalam meninjau hal ini karena masih sangat-sangat banyak sekali di Bangka Belitung ini yang mempunyai tanah yang melebihi batas maksimum dan memiliki tanah di luar daerah tempatnya berdomisili.

5. Sebagaimana yang terdapat dalam pada kesimpulan nomor 5 ada 7 program landreform, yang mana menurut kami sebaiknya BPN menambahkan satu usulan program lagi yaitu melakukan hubungan kerja sama dengan beberapa tokoh masyarakat yang bisa di ajak bergabung untuk membantu kelancaran program landreform. Mungkin dengan melibatkan masyarakat maka ada kemungkinan program landreform tersebut akan lebih mudah tercapai, dan masyarakat pun semestinya harus mau memberikan bantuan kerjasama dalam membantu program landreform.

6. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961, hendaknya pemerintah benar-benar dalam mengimplementasikan pembagian tanah yang adil dan merata supaya masyarakat dapat mencapai tingkat kesejahteraan ekonomi khususnya di bidang tanah.

7. Jika pengadilan landreform dilaksanakan sebagaimana mestinya dalam menyelesaikan suatu perkara tanah, maka kegiatan yang menimbulkan masalah bagi para tani akan tercegah hal ini dikarenakan pengadilan landreform di lakukan oleh keikutsertaan perwakilan organisasi tani sebagai hakim anggotanya.

8. Jika yayasan dana landreform diadakan di Indonesia terutama di Bangka Belitung maka pengurusan dan pelaksanaan landreform dapat berjalan dengan lancar karena adanya dana keuangan untuk kegiatan landreform.

9. Sebaiknya dalam hal ganti kerugian diberikan kepada para pemilik tanah objek landreform yang terkena ketentuan kelebihan maksimum dan larangan absentee yang tanahnya di ambil alih oleh negara bukan kepada para pemilik tanah yang melakukan pelanggaran ketentuan perundang-undangan.

10. Sebaiknya dalam pemilikan tanah yang melampaui batas yang dilarang bukan pemilikannya saja tetapi juga penguasaannya yang telah tercantum dalam Pasal 7 serta menurut pendapat Boedi Harsono.

11. Sebaiknya Penetapan luas tanah pertanian harus sesuai yang telah diatur dalam Pasal 17 UUPA, agar tidak ada lagi penguasaan dan pemilikan tanah yang telah melebihi kapasitasnya.

12. Jika Program landreform sebagai strategi untuk mencapai keadilan dalam perolehan dan pemanfaatan tanah pertanian yang mana salah satu strategi yang dipilih adalah redistribusi tanah pertanian yang berasal dari tanah-tanah kelebihan batas maksimum, tanah guntai (absentee), tanah swapraja, tanah partikelir, dan tanah negara maka pelaksanaan nya akan berjalan dnegan lancar.














DAFTAR PUSTAKA

Arba. 2016. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Arie S. Hutagalung dkk. 2012. Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia (cair). Denpasar: Pustaka Larasan

Boedi Harsono.2008. Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Elza Syarief. 2012. Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Maria S.W. Sumardjono. 2001. Kebijakan Pertanahan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara

Supriadi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika




























[1] Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 202-207

[2] Ibid., hlm. 230.

[3] Arie S. Hutagalung dkk, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia, (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), hlm. 255

[4] Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 173.

[5] Ibid., hlm. 176-179

[6] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 370

[7] Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 179-180

[8] Ibid., hlm. 181-182

[9] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm.

[10] Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 192-194

[11] Ibid., hlm. 195-196

[12] Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 179-204

[13] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2008), hlm. 403

[14] Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, (Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia, 2012), hlm. 168

[15] Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 204-206

[16] Ibid., hlm. 206

[17] Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm. 203-208

[18] Arba, Hukum Agraria Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2016), hlm. 186

[19]Arie S. Hutagalung dkk, Hukum Pertanahan di Belanda dan Indonesia , (Denpasar: Pustaka Larasan, 2012), hlm. 259-260

[20] Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2001), hlm. 50-53





N.B : Untuk mendapatkan file diatas, silahkan klik DISINI

No comments:

Post a Comment