Hukum Agraria ( Mediasi )
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Secara langsung maupun tidak langsung, tanah sudah termasuk bagian dari kehidupan masyarakat, khususnya untuk keperluan aktivitasnya sehari-hari. Tanah yang sudah diangerahkan Tuhan Yang Maha Esa sudah diciptakan baik untuk manusia itu sendiri, maupun sekitarnya. Begitu pentingnya tanah bagi manusia, untuk berusaha mendapat dan memilikinya. Bagaimana tidak, saat manusia ataupun sekelompoknya membutuhkan tanah sebagai bagian dari investasi jangka panjang sekaligus meningkatkan intensitas perdagangan. Bahkan pada saat meninggal pun tanah merupakan bagian yang tak dapat ditinggalkan untuk penguburannya.
Perlu diketahui, tanah tidak hanya meningkatkan intensitas perdagangan, tetapi juga meningkatkan tingkat intensitas konfliknya dan menimbulkan dinamika ekonomi yang semakin tinggi. Tidak sedikit dari banyak orang yang berusaha memperebutkan tanah yang kini kian melambung tinggi harganya. Tak heran, begitu banyaknya kasus-kasus yang mencuat mengenai konflik atau sengketa pertanahan akhir-akhir ini marak terjadi.
Konflik pertanahan pada prinsipnya dapat ditangani dan diselesaikan berdasarkan tipologi konflik. Lebih dari itu, ada beberapa langkah yang dapat digunakan sebagai strategi dalam menyelesaikan konflik pertanahan. Langkah-langkah yang dimaksud meliputi: pertama, menemukan akar konflik. Langkah ini merupakan langkah awal yang perlu dijalankan sehingga memudahkan langkah selanjutnya. Kedua, menentukan metode yang digunakan dalam menyelesaikan konflik. Pada intinya, penyelesaian konflik pertanahan dapat dilakukan melalui dua metode yakni metode penyelesaian secara litigasi dan metode penyelesaian secara non-litigasi. Kedua metode tersebut dapat dipilih berdasarkan tingkat kepelikan konflik. Namun, sangat disarankan untuk memilih metode non-litigasi yang lebih dikenal dengan sebutan alternative dispute resolution (ADR). Metode ini lebih mementingkan upaya damai dan mengakomodasi kepentingan para pihak yang terlibat dalam konflik karena ADR umumnya mengutamakan penyelesaian win-win solution. Ketiga, mengadopsi beberapa pendekatan yang disesuaikan dengan tipologi konflik. Misalnya, dalam penanganan dan penyelesaian konflik pengadaan tanah untuk kepentingan umum, pendekatan yang perlu diambil adalah pendekatan kesejahteraan (ekonomi). Artinya, pemberian kompensasi terhadap pemegang hak atas tanah yang dipakai untuk kepentingan pembangunan harus membantu menghantar mereka ke tingkat hidup yang lebih sejahtera dari sebelumnya. Selain itu, pendekatan sosial budaya dapat digunakan dalam menyelesaikan konflik ulayat.
Langkah terakhir yang perlu dilakukan adalah melibatkan instansi terkait, baik instansi/lembaga pemerintah maupun lembaga swasta atau independen. Hal ini sangat berhubungan dengan terjaminnya keadilan bagi para pihak sebagai hasil akhir dari proses penanganan dan penyelesaian konflik pertanahan. Dalam penyelesaian konflik pengadaan tanah untuk pembangunan misalnya, lembaga penilai independen dapat dilibatkan dalam rangka memberikan penilaian terhadap besarnya nilai tanah yang digunakan untuk proyek pembangunan. Atau, dalam menyelesaikan konflik tanah ulayat, para ketua adat dapat dilibatkan menyangkut pentingnya kearifan lokal dalam menyelesaikan konflik.[1]
Ada beberapa tulisan yang membahas persoalan pertanahan, akan tetapi pembahasan tentang penyelesaian non-litigasi tidak ada yang diungkapkan secara mendalam, sebab penyelesaian sengketa tanah identik dengan penyelesaian jalur formal, yakni melalui lembaga peradilan. Penelitian ini berusaha mengungkapkan tentang penyelesaian sengketa yang jarang dilakukan, yakni melalui non-litigasi (mediasi).
Era reformasi yang sedang berkembang di masyarakat, serta konsep desentralisasi (otonomi daerah) yang dicanangkan semenjak tumbangnya Orde Baru, menjadi dimungkinkan penyelesaian sengketa hukum dilakukan dengan cara non litigasi, sebab penyelesaian ini sebetulnya adalah alternatif penyelesaian yang lebih cepat, singkat dan dengan biaya yang murah, serta menjamin jalan kompromi terhadap pihak-pihak yang bersengketa.[2]
Ungkapan informal procedure and can be put in motion quickly sudah menjadi tren atau kecendrungan dunia sekarang dalam hal penyelesaian sengketa. Ungkapan ini lahir sebagai koreksi atas lambatnya penyelesaian sengketa dalam litigasi (pengadilan). Sistem peradilan yang ada tidak mampu memperkecil apalagi menghilangkan penggunaan upaya hukum yang semata-mata diselimtui itikad buruk, serta sangat potensial memperlabat penyelesaian sengketa. Selain hal tersebut pada tingkat kepercayaan sosial yang rendah terhadap reputasi hakim dan pengadilan, mediasi merupakan salah satu alat penangkat dan alternatif (ADR) atau pilihan lain bagi pihak-pihak berperkara, karena penyelesaian mediasi ditentukan oleh pihak-pihak bukan hakim. Mediasi yang dimaksudkan adalah penyelesaian perkara melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan atau perdamaian para pihak yang dibantu oleh mediator.[3]
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 c Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional yang antara lain, mengatakan bahwa Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik pada Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi pelaksanaan alternatif penyelesaian masalah, sengketa, dan konflik pertanahan melalui bentuk mediasi, fasilitasi, dan lainnya. Ketentuan Pasal 23 Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006 memperlihatkan kebijakan pemerintah untuk menggunakan mediasi sebagai salah satu cara untuk penyelesaian sengketa pertanahan. Sebelum keluarnya Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006, pendekatan musyawarah mufakat pada dasarnya merupakan salah satu cara penyelesaian sengketa pertanahan. Namun, penggunaan istilah mediasi baru secara eksplisit dituangkan dalam Peraturan Presiden No. 10 Tahun 2006. Hal ini tidak terlepas dari gejala semakin populernya istilah mediasi dalam lingkup ilmu hukum dan para pembuat kebijakan maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tidak ada ketentuan hukum yang rinci tentang penggunaan mediasi dalam konteks sengketa pertanahan. Ketentuan yang ada hanya berbentuk Petunjuk Teknis yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional No. 05/Juknis/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi. Dari konsiderans Petunjuk Teknis tersebut dapat diketahui, bahwa salah satu undang-undang yang menjadi dasar adalah UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-undang ini secara tegas mengatur bahwa penggunaan arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa bersifat sukarela. Dengan demikian, penggunaan mediasi untuk sengketa pertanahan juga bersifat sukarela.[4]
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penulis adalah apa yang dimaksud dengan mediasi serta siapa saja pihak yang terkait di dalam mediasi, menjelaskan apa itu mediator beserta fungsinya, implementasi penyelesaian dalam berbagai konflik pertanahan, serta kendalanya.
2.1 Landasan Teoritis
1. Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah, di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Mediator tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya ( Ummam, 2010: 10).
2. Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa tanah di luar pengadilan yang mengutamakan cara-cara musyawarah untuk mencapai mufakat serta mempunyai ciri waktu penyelesaian sengketa yang disengketakan, terstuktur, berorientasi kepada tugas dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peran serta para pihak secara aktif dengan menunjuk pihak ketiga sebagai mediator yang membantu tercapainya hal-hal yang telah disepakati bersama (Abbas,2009:8).
3. Menurut Garry Goopaster memberikan definisi mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan (Abbas, 2009.5)
Adapun rumusan masalah dari penulis adalah apa yang dimaksud dengan mediasi serta siapa saja pihak yang terkait di dalam mediasi, menjelaskan apa itu mediator beserta fungsinya, implementasi penyelesaian dalam berbagai konflik pertanahan, serta kendalanya.
BAB II
Tinjauan Pustaka
1. Mediasi merupakan proses negosiasi pemecahan masalah, di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari kesepakatan bersama. Mediator tidak berwenang untuk memutus sengketa, tetapi hanya membantu para pihak untuk menyelesaiakan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya ( Ummam, 2010: 10).
2. Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa tanah di luar pengadilan yang mengutamakan cara-cara musyawarah untuk mencapai mufakat serta mempunyai ciri waktu penyelesaian sengketa yang disengketakan, terstuktur, berorientasi kepada tugas dan merupakan cara intervensi yang melibatkan peran serta para pihak secara aktif dengan menunjuk pihak ketiga sebagai mediator yang membantu tercapainya hal-hal yang telah disepakati bersama (Abbas,2009:8).
3. Menurut Garry Goopaster memberikan definisi mediasi sebagai proses negosiasi pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (imparsial) bekerja sama dengan pihak-pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian yang memuaskan (Abbas, 2009.5)
2.2 Kerangka Konseptual
Saat ini banyak sekali sengketa tanah dengan macam-macam bentuk, seperti masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan perorangan, masyarakat dengan badan hukum, badan hukum dengan badan hukum, badan hukum dengan instansi pemerintah, instansi pemerintah dengan masyarakat, dan sebagainya. Sengketa tanah di luar kawasan hutan sebagian besar adalah warisan, serta antara masyarakat dengan badan usaha dan masyarakat dengan instansi pemerintah. Saat ini pihak Badan Pertanahan Nasional (BPN) menurunkan banyak tim untuk melakukan pengecekan, pengujian, dan mempersiapkan masyarakat pada saat reforma agraria sepenuhnya digulirkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyelesaian perkara dengan musyawarah melalui penyelesaian sengketa alternatif baik di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan. Konsep inilah yang kemudian diarahkan untuk menjadi cara menyelesaikan sengketa tetapi dengan menggunakan prinsip legalitas yang menjadi bagian dari sistem hukum dimana mediasi merupakan salah satu strategi dan bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa tanah. Setelah proses mediasi itu disepakati oleh para pihak atau disetujui setelah itu pihak badan pertanahan membuatkan surat berita acara yang ditandatangani oleh para pihak. Dan apabila dalam proses mediasi tidak memperoleh titik temu dalam proses penyelesaian sengketa maka sengketa tersebut apabila dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa maka sengketa tersebut berhak diajukan ke pengadilan untuk mencari titik temu penyelesaian sengketanya.
BAB III
PEMBAHASAN
HIR Herziene Indonesische Reglement) dan RIB (Reglemen Indonesia Baru) berlaku untuk daerah jawa dan Madura seta RBg (Rechtsreglement Buitengewesten) yang berlaku untuk daerah seberang atau luar Jawa dan Madura adalah Hukum Acara Perdata yang menjadi pedoman Hakim dalam mengadili sengketa perdata di Pengadilan Negeri. HIR Berasal dari IR (Inlandsche Reglement) yang dimuat dalam Staatblad No. 16jo. 57/1848, yang kemudian baru mengalami perubahan setelah seabad lebih. Di mana perubahan terakhir terjadi tahun 1941 yang dimuat dalam Staatblad tahun 1941 No. 44 sampai sekarang. Dasar hukum utama dari perdamaian di Indonesia adalah dasar negara Indonesia yaitu Pancasila, di mana dalam filosofinya tersirat bahwa asas penyelesaian sengketa adalah musyawarah untuk mufakat. Hal tersebut juga tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945.[5] Selain itu, perdamaian diatur dalam Buku ke III KUH Perdata Bab XVII KUH Perdata tersebut Pasal 1864. Oleh karena Buku ke III KUH Perdata tersebut mengatur hukum perjanjian, maka perdamaian sebagaimana suatu persetujuan, tunduk pada ketentuan umum suatu perjanjian yaitu Pasal 1319 KUH Perdata yang berbunyi “ Semua persetujuan, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang memuat didalam bab ini dan bab yang lalu.” Sedangkan mengenai perdamaian yang dibuat di luar pengadilan, diatur dalam RO (Reglement op de Rechtletterlijke Organisatie) khususnya Pasal 3.a. yang sampai sekarang masih dipertahankan. Pasal 3.a. ayat (1) RO, menyebutkan “ apabila menurut hukum adat perkara-perkara perdata yang tertentu masuk kekuasaan Hakim-hakim perdamaian desa, maka keadaan ini tetap dipertahankan. “ Arti perdamaian ini merupakan penjelasan bahwa hal mengajukan perkara di muka Hakim perdamaian desa itu adalah secara manasuka atau sukarela dan hal tersebut bukan merupakan arti pemberian kekuasaan mengadili atas suatu perkara, hal itu sudah ada untuk mengadili perkara-perkara perdamaian desa. Secara umum perdamaian diatur dalam Pasal 130 ayat (1),(2),(3), dan (4) HIR dengan sedikit perbedaan redaksional dengan Pasal 154 ayat (1),(2), (3) dan (4), RBg.[6] Namun intinya sama, yaitu memerintahkan kepada pengadilan dengan perantara ketua, mendamaikan kedua belah pihak ketika ketuanya hadir di persidangan dalam perkara pada umunya dan berlaku di semua pengadilan meskipun dalam lingkungan peradilan yang berbeda. Akan tetapi, dalam kedua pasal tersebut tidak ditemukan secara jelas pengertian perdamaian, baik dalam penjelasan maupun dalam pasal-pasal berikutnya atau pasal lain dalam perundang-undangan yang bersangkutan atau peraturan lain yang sejenis (Hukum Acara). Dalam Pasal 1851 KUH Perdata, yang dimaksud perdamaian adalah “ Suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, untuk mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung atau mencegah timbunya perkara “. Persetujuan ini sah, jika dibuat secara tertulis. Oleh karena itu, harus ada timbal balik dalam pengorbanan pada diri pihak-pihak yang berperkara, maka tiada perdamaian apabila salah satu pihak dalam suatu perkara, maka tiada perdamaian apabila salah satu pihak dalam suatu perkara mengalah seluruhnya dengan cara mengakui tuntutan pihak lawan seluruhnya. Menurut kamus Lengkap Bahasa Indonesia, kata damai artinya “ Aman, tentram, tidak bermusuh.” Berdamai artinya “ berbaik kembali, berhenti berperang atau bermusuhan”. Berarti juga berunding, bermufakad. Mendamaikan artinya “ menyelesaikan permusuhan, pertengkaran, persengkataan, atau merundingkan supaya mendapat persetujuan “. Dengan demikian, perdamaian artinya “ penghentian, permusuhan, persengketaan atau permufakatan, menghentikan persengketaan.”
Dari berbagai pengertian di atas, maka disimpulkan bahwa damai , perdamaian atau mendamaikan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh Hakim dalam upaya mengakhiri suatu sengketa. Setiap perdamaian hanya terbatas pada soal yang termaktub di dalamnya, pelepasan segala hak dan tuntutan yang dituliskan di situ harus diartikan sekadar hak dan tuntutan yang hubungannya dengan perselisihan yang menjadi sebab terjadinya perdamaian (Pasal 1854 KUH Perdata). Suatu perdamaian hanya mengakhiri perselisihan yang termaktub di dalamnya, baik para pihak merumuskan maksud mereka dalam perkataan khusus atau umum maupun yang dapat disimpulkan sebagai akibat mutlak satu-satunya dari apa yang dituliskan (Pasal 1851 KUH Perdata ). Kedua pasal tersebut bermaksud untuk memperingatkan supaya berlakunya perdamaian tidak diperluas hingga melampaui batas perseoaalan yang telah diselesaikan dengan mengadakan perdamaian tersebut. Untuk mengetahui bats-batas itu setepatnya, kita harus selalu berpangkal pada soal-soal yang menjadi perselisihan, yang menyebabkan diadakannya perdamaian itu. Sangat penting apa yang dinyatakan dalm Pasal 1858 KUH Perdata bahwa “ segala perdamaian mempunyai diantara para pihak suatu kekuatan seperti suatu keputusan Hakim dalam tingkat penghabisan dan bahwa tidak dapatlah perdamaian itu dibantah dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan bahwa salah satu pihak dirugikan. “ Tegasnya bahwa perdamaian itu memepunyai kekuatan yang sama dengan suatu keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Dengan demikian, perdamaian itu sudah dapat dilaksanakan secara perintah Hakim.
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikat dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Maka dalam persetujuan perdamaian berlakulah ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu syarat sahnya suatu persetujuan/perjanjian adalah:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Oleh karena pengertian perdamaian ini tidak menghilangkan sifat sebagai persetujuan antara para pihak yang bersengketa, maka perdamaian ini juga tunduk pada bab ketentuan umum.
Dari beberapa rumusan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian mediasi mengandung unsur-unsur sebagai berikut.
1. Mediasi adalah sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan asas sukarelaan melalui suatu perundingan.
2. Mediator yang terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa didalam perundingan.
3. Mediator bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian.
4. Mediator tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan selama perundingan berlangsung.
5. Tujuan Mediasi adalah untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa.[7]
Mediasi adalah suatu proses Penyelesaian Sengketa Alternatif di mana pihak ketiga yang dimintakan bantuannya untuk membantu proses penyelesaian sengketa bersifat pasif dan sama sekali tidak berhak atau berwenang untuk memberikan suatu masukan, terlebih lagi untuk memutuskan perselisihan yang terjadi. Jadi dalam mediasi, mediator hanya berfungsi sebagai penyambung lidah dari para pihak yang bersengketa. Perantaraan yang demikian kadangkala memang diperlukan, baik dalam hal pihak yang bersengketa tidak mungkin untuk bertemu sendiri karena berbagai faktor yang berada di luar kemampuan mereka, ataupun karena kedua belah pihak “intentionally” memang tidak mau bertemu satu dengan yang lainnya, meskipun mereka dapat bertemu, jika memang dikehendaki. Jadi dalam hal ini sangat jelas bahwa hasil akhir pranata penyelesaian sengketa alternatif dalam bentuk mediasi ini tunduk sepenuhnya pada kesepakatan para pihak.[8]
Menurut rumusan dari pasal 6 Ayat (3) Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tersebut juga dikatakan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak yang bersengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Undang-undang tidak memberikan rumusan definisi atau pengertian yang jelas dari mediasi atau mediator. Dari literatur hukum, misalnya dalam Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa mediasi dan mediator adalah:
Mediaton is private, informal dispute resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps disputing parties to reach an agreement.the mediator has no power to impose a decission on the parties.[9]
Dan dalam Buku BUSSINESS LAW, Principles, Cases and Policy karya Mark E. Rozkowski dikatakan bahwa:
Mediation is a relatively informal process in which a neutral third party, the mediator, helps to resolve a dispute. A mediator generally has no power to impose a resolution. In many respect, therefore, mediator can be considered a structured negotiation in which the mediator facilitates the process.
Selanjutnya kita lihat ketentuan yang diatur dalam WIPO Mediation Rules (effective from October 1, 1994) dikatakan bahwa:
Mediation Agreement means an agreement by the parties to submit to mediation all or certain disputes which have arisen or which may arise between them; a Mediation Agreement may be in the form of a mediation clause in a contract or in the form of a separate contract. The mediation shall be conducted in the manner agreed by the parties. If, and to the extent that, the parties have not made such agreement, the mediator shall, in accordance with the Rules, determine the manner in which the mediation shall be conducted. Each party shall cooperate in good faith with the mediator to advance the mediation as expeditiously as possible. [10]
Mediasi, dari pengertian yang diberikan, jelas melibatkan keberadaan pihak ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen) yang bersifat netral dan tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai mediator. Sebagai pihak ketiga yang netral, independen, tidak memihak dan ditunjuk oleh para pihak (secara langsung maupun lembaga mediasi), mediator berkewajiban melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan pada kehendak dan kemauan para pihak. Walau demikian ada suatu pola umum yang dapat diketahui pada umumnya dijalankan oleh mediator dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Sebagai suatu pihak di luar perkara, yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator ini berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencari masukan mengenai pokok persoalan yang dipersengketakan oleh para pihak. Berdasarkan pada informasi yang diperoleh, baru kemudian mediator dapat menentukan duduk perkara, kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pihak yang bersengketa, dan selanjutnya mencoba menyusun proposal penyelesaian, yang kemudian dikomunikasikan kepada para pihak secara langsung.
3.2 Peran Dan Fungsi Mediator
Melalui definisi yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diketahui bahwa keterlibatan seorang mediator dalam dalam proses negosisasi atau perundingan adalah “ membantu “ para pihak yang bersengketa dalam proses perundingan.
Pertanyaan yang dapat dikemukakan adalah apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan istilah “membantu”. Istilah ini perlu diuraikan atau dijabarkan lebih lanjut agar dapat diperoleh sebuah pemahaman. Pemahaman ini hanya diperoleh melalui uraian atau penjelasan tentang peran atau fungsi mediator. Sebagian sarjana atau praktisi menggunakan istilah “peran” (role) dan sebagian lainnya menggunakan istilah “fungsi” (functions) untuk mendeskripsikan kerja, tugas, dan kedudukan dari mediator di dalam proses mediasi. Oleh sebab itu, kedua istilah tersebut di sini tidak dibedakan, tetapi keduanya dipergunakan guna saling melengkapi sehingga akan diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif tentang mediator.[11]
Raiffa melihat peran mediator sebagai sebuah kontinum atau garis rentang. Yakni dari sisi peran yang terlemah hingga sisi peran terkuat. Sisi peran terlemah adalah apabila mediator hanya menjalankan perannya sebagai berikut.
1. Penyelenggaraan pertemuan
2. Pemimpin diskusi rapat.
3. Pemelihara atau penjaga aturan perundingan agar proses perundingan berlanggsung secara beradab.
4. Pengendali emosi para pihak.
5. Pendorong pihak/perunding yang kurang mampu atau segan mengemukakan pandangannya.
Sedangkan sisi peran yang kuat diperlihatkan oleh mediator, apabila mediator bertindak atau mengerjakan hal-hal dalam proses perundingan, sebagai berikut.
1. Mempersiapkan dan membuat notulen pertemuan.
2. Merumuskan titik temu atau kesepakatan dari para pihak.
3. Membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukan sebuah pertarungan untuk dimenangkan, akan tetapi untuk diselesaikan.
4. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah.
5. Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.[12]
Mediator harus mampu menciptakan suasana dan kondisi yang kondusif bagi bagi terciptanya kompromi di antara kedua belah pihak yang bersengketa untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win). Baru setelah diperoleh persetujuan dari para pihak atas proposal yang diajukan (beserta segala revisi atau perubahannya) untuk penyelesaian masalah yang dipersengketakan, mediator kemudian menyusun kesepakatan itu secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak.
Menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999, kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis adalah final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik. Kesepakatan tertulis tersebut wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak penandatanganan, dan wajib dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Jika kita ikuti ketentuan dalam Pasal 6 Ayat (4) Undang-undang No. 30 Tahun 1999, dapat kita katakan bahwa Undang-undang membedakan mediator ke dalam:
1. Mediator yang ditunjuk secara bersama oleh para pihak (Pasal 6 Ayat (3) Undang-undang No. 30 Tahun 1999); dan
2. Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak (Pasal 6 Ayat (4) Undang-undang No. 30 Tahun 1999).
Meskipun diberikan suatu time-frame (jangka waktu) yang jelas, kedua ketentuan tersebut terkesan memperpanjang jangka waktu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Tidak ada suatu kejelasan apakah ketentuan tersebut bersifat memaksa atau dapat disimpangi oleh para pihak.[13]
3.3 Ciri – ciri Pokok Mediasi
Dari beberapa definisi tersebut, maka ciri – ciri pokok atau karakteristik dari mediasi adalah :
1. Mediator mengontrol proses negosiasi.
2. Mediator tidak membuat keputusan, mediator hanya memfasilitasi, karena :
· Para pihak tidak merasa memiliki keputusan itu, tidak merasa masalahnya diselesaikan dengan cara yang diinginkan. Mediasi itu semestinya win – win solution sehingga tidak ada banding dalam mediasi. Kesepakatan yang tercapai adalah kesepakatan yang mereka inginkan. Belum tentu yang dirasa baik oleh mediator juga dirasa baik oleh kedua belah pihak. Contoh: ketika seseorang memiliki sengketa misalnya kerbau, tetapi harus dilihat dari mengapa sengketa itu bisa muncul, apa sejarahnya dan apa akar permasalahannya.
· Kalau sampai terjadi sesuatu terhadap kesepakatan itu atau kalau nantiya implementasi dari kesepakatan itu menjadi sulit atau ternyata hasil kesepakatan itu melanggar peraturan, maka mediatorlah yang akan disalahkan. Dalam mediasi ini para pihak diajak untuk mendiskusikan masalah mereka dan mediator akan memfasilitasi para pihak.[14]
3.4 Tahapan dan Proses Mediasi
Ada beberapa tahapan mediasi secara umum, yaitu :
1. Tahap pendahuluan ( Preliminary )
· Dibutuhkan sutu proses “ pemahaman “ yang cukup sebelum suatu proses mediasi dimulai. Misalnya : apa yang menjadi sengketa ?
· Konsultasi dengan para pihak tentang tempat dan waktu mediasi, identitas pihak yang hadir, aturan tempat duduk, dan sebagainya.
2. Sambutan mediator
· Menerangkan urutan kejadian.
· Meyakinkan para pihak yang masih ragu.
· Menerangkan peran mediator dan para pihak.
· Menegaskan bahwa para pihak yang bersengketalah yang “ berwenang“ untuk mengambil keputusan.
· Menyusun aturan dasar dalam menjalankan tahapan.
· Memberi kesempatan mediator untuk membangun kepercayaan dan menunjukkan kendali atas proses.
· Mengonfirmasi komitmen para pihak terhadap proses.
3. Presentasi Para Pihak
· Setiap pihak diberi kesempatan untuk menjelaskan permasalahannya kepada mediator secara bergantian.
· Tujuan dari presentasi ini adalah untuk memberikan kesempatan para pihak untuk mendengar sejak dini, dan juga memberi kesempatan setiappihak mendengarkan permasalahan dari pihak lainnya secara langsung.
· Who first ? Who desides ?
4. Identifikasi hal – hal yang sudah disepakati
Salah satu peran yang penting bagi mediator adalah mengidentifikasi hal – hal yang telah disepakati antara ihak sebgai sebagai landasan untuk melanjutkn proses negosiasi.
5. Mengidentifikasikan dan mengurutkan permasalahan
Mediator perlu membuat suatu “ stri=uktur “ dalam pertemuan mediasi yang meliputi masalah – masalah yang sedang dipersilisihkan dan sedang berkembang, dikonsultasikan dengan para pihak, sehingga tersusun “ daftar permasalahan “ menjadi suatu agenda.
6. Negosiasi dan pembuatan keputusan
· Tahap negosiasi yang biasanya merupakan waktu alokasi terbesar.
· Dalam model klasik ( directing the traffic ), mediator berperan untuk menjaga urutan, struktur, mencatat kesepahaman, reframe dan meringkas, dan sesekali mengintervasikan membantu proses komunikasi.
· Pada model yang lain ( Driving the bus ), mediator mengatur arah pembicaraan, terlibat dengan mengajukan pertanyaan kepada para pihak dan wakilnya.
7. Pertemuan terpisah
· Untuk menggali permasalahan yang belum terungkap dan dianggap penting guna tercapainya kesepakatan.
· Untuk memberikan suasana dinamis pada proses negosiasi bilamana ditemui jalan buntu.
· Menjalankan tes realistis terhadap para pihak.
· Untuk menghindarkan kecenderungan mempertahankan pendapat para pihak pada join sessions.
· Untuk mengingatkan kembali atas hal – hal yang telah dicapai dalam proses ini dan mempertimbangkan akibat bila tidak tercapai kesepakatan.
8. Pembuatan keputusan akhir
· Para pihak dikumpulakan kembali guna mengadakan negosisi akhir, dan menyelesaikan beberapa hal dengan lebih rinci.
· Mediator berperan untuk memastikan bahwa seluruh permasalahan telah dibahas, dimana para pihak merasa puas dengan hasil akhir.
9. Mencatat Keputusan
· Pada kebanyakan mediasi, perjanjian akan dituangkan kedalam tulisan, dan ini bahkan menjadi suatu persyaratan dalam kontrak mediasi.
· Pada kebanyakan kasus, cukup pokok – pokok kesepakatan yang ditulis dan ditandatangani, untuk kemudian disempurnakan oleh pihak pengacara hingga menjadi suatu kesepakatan akhir.
· Pada kasus lainnya yang tidak terlalu kompleks, perjanjian final dapat berlangsung.
10. Kata Penutup
· Mediator biasanya memberikan ucapan penutup sebelum mengakhiri mediasi.
· Ini dilakukan untuk memberikan penjelasan kepada pihak atas apa yang telah mereka capai, meyakinkan mereka bahwa hasil tersebut merupakan keputusan mereka sendiri, serta mengingatkan tentang hal apa yang perlu dilakukan dimasa mendatang.
· Mengakhiri mediasi secara “ formal “.[15]
3.5 Model Mediasi
Ada empat model mediasi, yaitu :
1. Model penyelesaian
· Biasanya mediator adalah orang yang ahli dalam bidang yang didiskusikan/dipersengketakan, tetapi tidak memiliki keahlian teknik mediasi atau teknik mediation skills.
· Yang diutamakan adalah keahlian pada bidang yang sedang disengketakan.
· Berfokus pada penyelesaian bukan pada kepentingan.
· Penyelesaiannya menjadi lebih cepat.
· Kelemahannya para pihak akan merasa tidak memiliki hasil kesepakatan tersebut.
2. Model Fasilitasi
· Yang diutamakan adalah teknik mediasi tanpa harus ahli pada bidang yang disengketakan.
· Kelebihannya adalah para pihak ketika selesai sengketa akan merasa puas, karena yang diangkat adalah kepentingannya dan bukan sekedar hal yang dipersengketakan.
· Kekuranannya adalah waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama.
· Fokusnya pada kepentingan.
3. Therapeutic
· Yang diharapkan adalah selesainya sengketa dan juga para pihak benar – benar menjadi baik/tetap berhubungan baik.
· Biasanya digunakan dalam family dispute ( kasus keluarga )
4. Evaluative
· Court Annexed lebih berokus ke evaluative model.
· Para pihak datang dan mengharapkan mediator akan memberikan semacam pemahaman bahwa apabila kasus ini terus berlangsung, maka siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.
· Mediator biasanya ahli pada bidangnya atau ahli dalam bidang hukum karena pendekatan yang difokuskan adalah pada hak dan standar penyelesaian atas kasus yang serupa.
· Ada pemberia advice kepada para pihak berupa nasihat – nasihat hukum dalam proses mediasi, bisa juga menjadi semacam tempat dimana para pihak hadir dan ada porsi keputusan dari mediator atau semacam jalan keluar yang diberikan oleh si mediator.
· Kelemahannya adalah para pihak akan merasa tidak memiliki kesepakatan yang ditandatangani bersama.[16]
3.6 Penyelesaian Sengketa Status Hukum Hak Atas Tanah
UUPA menegaskan bahwa untuk menciptakan kepastian hukum Pertanahan, Pemerintah menyelenggarakan pendaftran tanah. Atas tanah yang telah didaftarkan selanjutnya diberikan bukti hak atas tanah, yang merupakan alat bukti yang kuat mengenai kepemilikan tanah. Dalam pendaftaran tanah, girik yaitu tanda bukti pembayaran pajak atas tanah dapat disertakan utuk proses administrasi. Namun, girik bukanlah tanda bukti kepemilikan hak atas tanah, namun semata-mata hanyalah merupakan bukti pembayaran pajak-pajak atas tanah. Dengan demikian, apabila di atas bidang tanah yang sama, terdapat klaim dari pemegang girik dengan klaim dari pemegang surat tanda bukti hak atas tanah (sertifikat), maka pemegang setifikat atas tanah akan memiliki klaim hak kebendaan yang lebih kuat.
Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.[17]
a. Akar Masalah
Sifat permasalahan dari suatu sengketa secara umum ada beberapa macam, antara lain: (1) masalah yang menyangkut prioritas dapat ditetapkan sebagai pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak, atau atas tanah yang belum ada haknya; (2) bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai dasar pemberian hak; (3) kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan yang kurang atau tidak benar; (4) mengenai tata cara dan prosedur penyelesaian sengketa hukum atas tanah belum diatur secara konkrit, seperti mekanisme permohonan hak atas tanah (Peraturan Menteri Negara Agraria No. 9 Tahun 1999), oleh karena itu penyelesaian kasus tidak dilakukan dengan pola penyelesaian yang seragam tetapi dari beberapa pengalaman, pola penanganan ini telah kelihatan melembaga walaupun masih samar-samar.[18]
b. Metode Penyelesaian
Mekanisme penanganan sengketa hukum atas tanah lazimya diselenggarakan dengan pola sebagai berikut: pengaduan, penelitian, pencegahan mutasi, musyawarah dan penyelesaian secara litigasi.
1) Pengaduan
Pihak yang berhak atas tanah mengajukan surat pengaduan kepada lembaga pertanahan yang berisi hal-hal dan peristiwa yang menggambarkan bahwa pemohon/pengadu adalah pihak yang berhak atas tanah yang disengketakan. Surat pengaduan tersebut dapat dilampiri bukti-bukti serta mohon penyelesaian.
2) Penelitian
Mekanisme selanjutnya setelah pengaduan adalah penelitian berupa pengumpulan data atau administrasi maupun hasil penelitian fisik di lapangan mengenai penguasaannya. Hasil dari penelitian dapat disimpulkan sementara bahwa apakah pengaduan tersebut beralasan atau tidak untuk diproses lebih lanjut.
3) Pencegahan Mutasi
Tindak Lanjut dari penyelesaian sengketa adalah atas dasar petunjuk atau perintah atasan maupun berdasarkan prakarsa Kepala Kantor Agraria yang bersangkutan terhadap tanah sengketa, dapat dilakukan langkah pengamanan berupa pencegahan untuk sementara terhadap segala bentuk perubahan atau mutasi. Tujuan dilakukannya pencegahan atau mutasi adalah menghentikan untuk sementara waktu segala bentuk perubahan terhadap tanah yang disengketakan.
4) Musyawarah
Pendekatan terhadap para pihak yang bersengketa melalui musyawarah sering berhasil didalam usaha penyelesaian sengketa, dan biasanya menempati instansi pemerintah yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Agraria untuk bertindak sebagai mediator dalam menyelesaikan sengketa secara kekeluargaan.
5) Penyelesaian Melalui Pengadilan
Apabila usaha melalui jalan musyawarah tidak mendatangkan hasil maka sengketa harus diselesaikan oleh instansi yang berwenang yaitu pengadilan. Jadi, pada umumnya sifat dari sengketa adalah adanya pengaduan yang mengandung pertentangan hak atas tanah maupun hak-hak lain atas suatu kesempatan/prioritas atau adanya suatu ketetapan yang merugikan dirinya. Para pihak menghendaki penyelesaian sengketa yang mendasarkan atau memperhatikan peraturan yang berlaku, memperhatikan keseimbangan kepentingan para pihak, menegakkan keadilan hukum dan penyelesaian tersebut harus tuntas.
Pada masyarakat desa, peran Kepala Desa sangat penting dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi warganya. Persoalan yang menyangkut warga desa dimusyawarahkan terlebih dahulu dalam rapat desa atau dibicarakan dengan sesepuh desa untuk memperoleh pemecahan yang tepat dan memuaskan bagi semua pihak. Upaya penyelesaian sengketa melalui musyawarah merupakan cerminan corak khas tata kehidupan masyarakat adat tradisional yang memiliki sifat kebersamaan, gotong-royong dan kekeluargaan.[19]
3.7 Penyelesaian Sengketa Tanah Perkebunan/Garapan
Sengketa Tanah Garapan merupakan konflik kepentingan berkaitan dengan pengusahaan tanah oleh pihak-pihak yang tidak berhak, di atas tanah yang dikusai langsung oleh Negara atau di atas tanah pihak lain. Pengalaman historis, pemberian hak konsensi dalam waktu yang cukup tanpa batas-batas yang jelas menjadi salah satu penyebab sulitnya penyelesaian sengketa antara masyarakat dan perkebunan.
Dengan berlakunya UUPA yang menyatakan bahwa undang-undang ini didasarkan pada hukum adat (pasal 5) dan hak ulayat masih tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada (pasal 3). Tetapi kenyataannya undang-undang inipun mengambil langkah penting ke arah penghapusan hak-hak tanah adat, sesuai dengan penjelasannya, hukum adat itu harus tunduk kepada kepentingan nasional. Dengan demikian undang-undang tersebut mengabaikan hak-hak adat yang khusus atau yang diyakini oleh masyarakat lokal, dengan tujuan memberlakukan hukum pertanahan yang berlaku secara unifikasi. Hak-hak baru yang diatur dalam UUPA, hanya sebagai terobosan gagasan persuasif, untuk menghapus dualisme hukum tanah. Hak-hak baru ini sebagian besar masih berpola hak-hak yang ada dalam BW, meskipun terlihat samar. HGU yang diberikan kepada pengusaha perkebunan besar baik swasta maupun BUMN atas dasar menguasai hak negara, pada prinsipnya adalah sama dengan hak erfacht yang diberikan atas dasar domain verklaring pada masa kolonial.[20]
a) Akar Konflik
Faktor yang menghambat penyelesaian sengketa pertanahan adalah bahwa pendekatan yang digunakan oleh pemerintah sejak masa lalu adalah pendekatan kekuasaan. Pemerintah selalu memandang bahwa negara telah memberinya mandat untuk melaksanakan kekuasaan tertinggi termasuk membuat perundangan. Akibatnya pertimbangan politik selalu digunakan oleh pemerintah untuk menyusun peraturan hukum, guna menyelesaikan masalah pertanahan. Suatu sisi kelemahan dalam pertimbangan politik adalah bahwa pemerintah lebih menekankan kepentingan penguasa daripada adat tradisional yang ada. Setiap perubahan undang-undang yang dilakukan oleh Pemerintah cenderung hanya untuk kepentingan birokrasi dan pengusaha perkebunan dengan rekayasa sosial (law as/is a tool of social engineering), yang secara implisit menciptakan legal gaps, terjadi celah perselisihann faham atau keyakinan antara apa yang dikehendaki oleh pemerintah agar dipatuhi dengan apa yang masih diyakini dan dipatuhi sebagai keyakinan hukum masyarakat lokal dalam kehidupannya sehari-hari.
Kelemahan lain dari pertimbangan politik ini adalah bahwa tekanan utama diberikan pada kebutuhan jangka pendek, dan bukan jangka panjang. Ini mendasari cara penyelesaian yang diambil oleh pemerintah, yang lebih mengutamakan bentuk penyelesaian represif dengan tujuan menegakkan keamanan dan ketertiban. Pemerintah dalam hal ini kurang memikirkan kemungkinan jangka panjang tentang terulangnya kasus tersebut. pendekatan kekuasaan yang digunakan oleh pemerintah, memungkinkan pengerahan semua aparatur negara untuk terlibat dalam persoalan sengketa tanah. Sebagai akibatnya, muncul peluang bagi terjadinya penyelewengan dan penyimpangan yang disebabkan oleh diutamakannya kepentingan pribadi para pelaksana kekuasaan daripada tercapainya penyelesaian sengketa demi kepentingan masyarakat. Musyawarah yang dilakukan hanya bergantung pada persepsi penguasa dan pengusaha, akibatnya cukup merugikan masyarakat.
Tindakan pemerintah tersebut lebih didasarkan pada kepentingan pendapatan negara yang salah satunya bersumber pada produksi perkebunan. Oleh karena itu tindakan perkebunan yang sering melanggar ketentuan kontrak dengan masyarakat seperti perluasan lahan tanpa musyawarah terlebih dahulu mengakibatkan hilangnya hak-hak penduduk penggarap atas tanah-tanah yang disediakan bagi mereka. Perkebunan dalam hal ini menganggap dirinya lebih berwenang daripada petani karena merasa bahwa Perusahaan Perkebunan adalah Perusahaan Negara (BUMN) sehingga memperoleh dukungan dan pengakuan dari Aparat Pemerintah.
Hal ini tentu saja berakibat pada rusaknya sistem dan budaya hukum yang berlaku, sebab dengan berlarut-larutnya pelanggaran yang terjadi tanpa penanganan yang tuntas, sehingga membentuk perilaku hukum dalam masyarakat menjadi tidak percaya lagi pada aparat penegak hukum dan penerapan sistem hukum yang sudah ada. Masyarakat cenderung tidak menurut keinginan dan kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan semua norma dan kaidah hukum yang telah ditetapkan oleh negara. Sebagai kelanjutannya maka konflik antara masyarakat dan pihak perkebunan terus berlangsung secara periodik tanpa adanya penyelesaian hukum yang tuntas, mengingat sistem dan norma hukum yang dianutnya sebenarnya sudah tidak lagi berlaku dalam masyarakat.
b) Pendekatan dalam Menyelesaikan Konflik
Melihat beberapa faktor yang menghambat penyelesaian sengketa penguasaan tanah ini, maka perlu ditempuh beberapa jalan untuk mengatasi kondisi tersebut. Dalam sistem perundangan yang ada, pemerintah perlu memberikan perbaikan dengan memperjelas beberapa hal yang vital namun sering menimbulkan perbedaan persepsi dan menumbuhkan pengertian kabur, misalnya dalam pengertian mengenai hak ulayat. Hal ini sangat mengingat semua produk peraturan hukum yang dibuat negara akan dijadikan dasar bagi pengambilan keputusan lebih lanjut dalam menangani sengketa itu.
Dalam melakukan pendekatan terhadap penyelesaian sengketa pemerintah harus mengutamakan pendekatan musyawarah yang melibatka masyarakat dan hukum. Alat-alat represif tidak lagi digunakan untuk memaksakan kepentingan, namun lebih mendasarkan pada pertimbangan yuridis formal yang netral dengan menekankan pada kesejahteraan masyarakat. Untuk ini perlu bagi pemerintah agar lebih memikirkan pandangan jangka panjang daripada penyelesaian sengketa jangka pendek, yang lebih mengutamakan ditegakkannya keamanan dan ketertiban. Pemerintah juga perlu meningkatkan program penerangan/komunikasi hukum kepada masyarakat tentang pengertian hak-hak tanahnya dan sejauh mana batas-batas penerapan tersebut bisa dilakukan.
Berdasarkan faktor-faktor penyebab terjadinya sengketa tanah perkebunan maka disarankan pada pemerintah untuk melakukan reformasi terhadap UUPA. Sesuai dengan filosofi yang dianut oleh UUPA dengan berdasarkan hukum adat, maka seluruh bentuk peraturan pelaksanannya yang menyangkut dengan pertanahan harus juga dibuat berdasarkan hukum adat, misalnya tentang pemberian hak-hak atas tanah, perolehan hak atas tanah, pendaftaran tanah dan pembebasan hak atas tanah, juga dibuat berdasarkan filosofi hukum adat.
Undang-undang juga perly memberikan penjelasan yang lebih kontekstual tentang batasan-batasan definisi istilah dalam hukum adat, yang dimuat dalam bentuk perundangan ini. Jika perlu, disusun bentuk perundangan yang baru khusus mengatur persoalan ini dengan melibatkan unsur-unsur masyarakat. Pembentukan undang-undang tersebut, harus memperhatikan faktor-faktor kekuatan sosial berupa budaya hukum dan hukum yang hidup dalam masyarakat dengan umpan balik terhadap lembaga penegakkan hukum dan kondisi masyarakat yang akan dikenai dengan peraturan hukum itu. Lembaga pembentuk hukum, lembaga penegak hukum dalam upaya untuk memfungsikan atau bekerjanya hukum sebagai alat kontrol sosial, harus sesuai dengan rasa keadilan masyarakat, maka faktor-faktor yang mempengaruhi itu harus dilihat sebagai faktor yang saling mempengaruhi. Yang dapat menimbulkan interaksi tertentu, meliputi struktur, substansi, budaya hukum dalam masyarakat.
Untuk mencapai keseimbangan yang harmonis dalam penguasaan hak atas tanah pemerintah harus lebih bersikap netral dalam menyelesaikan sengketa, mengingat sejauh ini pemerintah cenderung bersikap represif terutama dalam pengambilan keputusan akhir. Hal ini hanya bisa dicapai apabila pemerintah lebih mengutamakan pendekata secara yuridis dan musyawarah sehingga bisa tercapai jalan keluar yang bisa diterima oleh semua pihak. Pemerintah jangan menggunakan sikap represif dan segera mengambil tindakan tegas terhadap aparat negara yang terbukti melakukan penyelewengan dan penyimpangan dari peraturan yang ada. Disarankan pula agar pemeritah daerah atau instansi terkait harus bersikap proaktif terhadap adanya gerakan-gerakan dalam penyerobotan tanah di areal perkebunan. Pelaksanaan dan penegakkan hukum harus berjalan secara konsekuen.[21]
c) Bentuk Penyelesaian Konflik
Penyelesaian sengketa antara masyarakat dan perkebunan seharusnya dapat dilakukan dengan jalur penyelesaian secara yuridis formal dengan pendekatan budaya hukum yang ditempuh dengan musyawarah dengan melibatkan kelompok masyarakat terkait, disarankan pada pemerintah harus melibatkan tenaga-tenaga ahli hukum yang benar-benar memahami persoalan agraria khususnya yang menyangkut kepemilikan tanah secara adat. Hal ini sangat berguna untuk menjelaskan sejauh mana bats-batas kekuasaan tradisional masih berlaku dalam hal penguasaan hak atas tanah, baik secara perorangan maupun komunal. Perundang-undangan yag sejauh ini dibuat lebih mencerminkan kondisi darurat pada saat pembuatannya dan masih banyak dipengaruhi oleh aturan-aturan dalam hukum kolonial. Pemeritah hendaknya membuat undang-undang baru yang bercorak nasional dengan mengutamakan kepentingan masyarakat secara menyeluruh.
Dalam mencari alternatif penyelesaian konflik tanah perkebunan diusahakan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan atau diuntungkan, baik itu dari pihak pemerintah, masyarakat maupun pihak swasta. Jadi harus ada keadilan yang sesuai dengan porsinya masing-masing. Alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh adalah melalui kerjasama berdasarkan Pola Kemitraan yang merupakan hubungan kerja terpadu antara masyarakat (petani menggarap) dengan pihak perusahaan perkebunan yang saling mengutungkan, saling menghormati kedudukan masing-masing dan saling membutuhkan.
Adapun maksud dan tujuan diadakannya Kerjasama Pola Kemitraan adalah sebagai berikut: dicapainya pemberdayaan Sumber Daya Manusia masyarakat (petani) yang handal di bidang pertanian; terwujudnya hubungan kerjasama yag setara, harmonis, saling menghormati, saling membutuhkan daan saling menguntungkan; memberikan kepastian hukum penggunaan tanah bagi penerima Hak Milik sehingga akan meningkatkan produktivitas tanah yang pada gilirannya akan terwujud peningkatan taraf kesejahteraan masyarakat maupun peningkatan hasil usaha Perusahaan Perkebunan. Wujud kemitraannya adalah para petani menggarap harus menanam tanaman yang diusahakan perusahaan kemudian hasil panennya dijual kepada pihak Perusahaan Perkebunan dengan harga dasar dipasaran atau berdasarkan kesepakatan para pihak.
Apabila dalam pemberian perpanjangan HGU masih terdapat keberatan dari berbagai pihak khususnya dari pihak masyarakat terhadap tanah yang termasuk dalam wilayah HGU, maka langkah yang ditemouh adalah pertama, tanah menjadi keberatan pihak masyarakat dikecualikan atau dikeluarkan dari HGU yang diperpanjang tersebut, sedangkan yang kedua pemberian perpanjangan HGU tersebut ditunda dahulu dan pihak pemegang HGU tersebut menyelesaikan dahulu keberatan dari pihak masyarakat atau permasalahan yang muncul, baru kemudian apabila sudah selesai maka baru mengajukan permohonan perpanjangan HGU. Prioritas pemberian tanah yang sudah menjadi hak negara tersebut adalah diberikan kepada bekas pemegang haknya atau rakyat yang mendudukinya. Tanah-tanah HGU asal konversi hak barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya.[22]
3.8 Kendala Penyelesaian Kasus Pertanahan
Pada setiap sengketa tanah masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Pada dasarnya dalam setiap penyelesaian sengketa baik melalui jalur litigasi atau non litigasi di dalamnya terdapat hal-hal yang menghambat jalannya musyawarah, pelaksanaan hasil munsyawarahnya, maupun menghambat jalannya proses penyelesaian melalui pengadilan.
Deputi Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin mengatakan kegagalan penanganan konflik pertanahan selama ini menunjukkan tidak adanya koordinasi yang baik antar kementrian yang terkait dengan persoalan tersebut.Sselain itu, otoritas agraria telah gagalmenjalankan reformasi agraria. Untuk itu, Presiden harus segera membentuk badan atau komisi nasional pembaruan agraria. Badan tersebut juga langsung bertanggung jawab kepada Presiden dan memiliki tugas di antaranya merumuskan strategi pembaruan agraria dan mengkoordinasikan departemen yang terkait dengan agraria.
Menurutnya, badan tersebut bertugas untuk menata struktur penguasan, pemilikan dan penggunaan tanah serta sumber-sumber agraria lainnya, serta melakukan penanganan komflik-konflik agraria, baik warisan masa lalu, maupun konflik-konflik agraria yang mungkin berakibat kegagalan selama ini.
Dia menuturkan, badan maupun komisi itu diusulkan bekerja hanya dalam jangka waktu yang ditetapkan untuk pelaksanaan pembaruan agraria. KPA menilai keanggotaan komisi ini wajib mempresentasikan unsur pemerintahan, unsur organisasi rakyat, organisasi sipil, dan pakar yang sejak awal memfokuskan diri dalam perjuangan dan tujuan-tujuan pembaruan agraria. Terkait dengan pembaruan agraria, Iwan mengatakan, badan itu harus memiliki rencana pelaksanaan sistem pendataan objek dan subjek; data peruntukkan tanah; desain redistribusi tanah dalam skema rumah tangga pertanian, kolektif; desain larangan dan sanksi bagi penerima tanah yang melantarkan dan atau menjual tanah. Iwan mengatakan, kekerasan akan terus terjadi disebabkan oleh tatacara penyelesaian sengketa agraria nasional yang belum memiliki rumusan sistem politik agraria yang utuh serta kelembagaan yang secara khusus menyelesaikan masalah-masalah yang terjadi.
Dalam beberapa kasus yang terjadi di daerah-daerah maupun berskala nasional, diketahui ada dua faktor yang menghambat proses penyelesaian sengketa/konflik di bidang pertanahan, yaitu faktor eksternal dan faktor internal.
1. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang menghambat penyelesaian konflik merupakan faktor yang tidak bersumber dari subyek maupun obyek sengketa. Dengan kata lain, faktor penghambat tersebut disebabkan oleh pihak ketiga. Pihak ketiga dalam sengketa tanah adalah pihak lain selain pihak yang bersengketa. Pihak ketiga ini biasanya adalah keluarga dari masyarakat adat yang ikut campur tangan yang terkadang mempengaruhi salah satu pihak yang bersengketa, dan biasanya juga karena faktor ganti rugi yang tidak sesuai.
Ada beberapa faktor eksternal yang menghambat proses penyelesaian sengketa/konflik pertanahan, diantaranya: pertama, tumpang tindihnya peraturan yang terkait dengan pertanahan, misalnya peraturan perkebunan dengan peraturan mengenai hutan industri. Hal ini menimbulkan keraguan aparat, baik aparat lapangan maupun aparat penegak hukum yang menyelesaikan konflik/sengketa dalam menentukan dasar hukum atau peraturan mana yang harus dipakai dalam menyelesaikan konflik tersebut. Lebih jauh, tumpang tindih peraturan ini berakibat pada adanya ketidakpastian hukum bagi masyarakat.
Kedua, benturan sistem peradilan tanah antara Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), peradilan perdata dan pidana. Sebuah sengketa/konflik pertanahan dapat menjangkau ketiga jenis peradilan tersebut. Sengketa/konflik pembagian tanah warisan tentu diselesaikan melalui jalur hukum perdata, tetapi bisa merambat ke peradilan pidana jika ada pihak yang melakukan penipuan dalam memperoleh haknya. Dalam hal ini, hakim yang mengadili perkara penyelesaian konflik/sengketa melalui peradilan perdata, belum dapat memutuskan perkaranya karena masih menunggu hasil putusan perkara pidananya. Hal inilah yang menjadiikan perkara tidak selesai tuntas dan cenderung bertele-tele.
Ketiga, keraguan petugas/pejabat akibat trauma dilapor pidana dan diproses pidana. Dalam menyelesaikan sengketa perdata mengenai batas-batas tanah, misalnya, petugas BPN tentunya perlu untuk meninjau secara langsung batas-batas tanah yang disengketakan. Tetapi, pada saat memasuki areal tanah, kadang petugas dituduh memasuki areal tanah tanpa izin dan langsung dilaporkan bahwa petugas tersebut melakukan tindak pidana.
Keempat, prosedur peraturan yang menghambat mekanisme penyelesaian konflik dan menjadikan petugas/pejabat ragu mengambil keputusan.
Kelima, adanya aset pemerintah yang tidak ada alas hak atas tanah, tetapi dipaksakan untuk dipertahankan. Dalam beberapa kasus diketahui bahwa ada aset negara yang dibangun di atas bidang tanah yang tidak ada alas haknya, padahal tanah tersebut diklaim oleh masyarakat. Dengan dalih hak menguasai negara, tanah tersebut tetap dipertahankan sehingga menimbulkan konflik dan penyelesaiannya berkepanjangan.
Keenam, penyimpangan oknum tertentu di masa lalu yang tidak dikoreksi dan menjadi sumber timbulnya konflik.
Ketujuh, vonis hakim yang inkonsisten dan dijadikan alasan bagi salah satu maupun para pihak yang bersengketa, sehingga konflik menjadi bertele-tele tanpa akhir.
Kedelapan, adanya sikap pengadilan yang menerima setiap gugatan padahal bukti dari gugatan tersebut diketahui cacat hukum. Jika dapat dipastikan bahwa bukti yang diajukan dalam suatu perkara cacat hukum, pengadilan harusnya menolak gugatan yang bersangkutan.[23]
2. Faktor Internal
Khusus untuk penyelesaian konflik tanah-tanah adat (hak ulayat) atau upaya penyelesaian tanah yang melibatkan masyarakat adat dan diselesaikan melalui musyawarah, ada beberapa hambatan yang dapat dijumpai. Secara umum hambatan-hambatan dalam musyawarah tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal yang berasal dari para pihak yang bersengketa.
I. Tingkat Emosi
Para pihak yang bersengketa terkadang menjadi salah satu faktor yang menghambat dalam proses musyawarah, hal ini berkaitan dengan tingkat emosi atau temperamen. Temperamen masyarakat adat dalam proses musyawarah sangat berpengaruh dalam proses musyawarah. Musyawarah kadang tidak dapat berjalan dengan lancar karena salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan emosi daripada logikanya dalam bermusyawarah dan tidak mau mendengarkan pendapat dari pihak lainnya dan menganggap dirinya yang paling benar. Sikap seperti inilah yang membuat musyawarah menjadi tidak kondusif karena tidak ada pihak yang mau mengalah.
II. Tingkat Pendidikan
Beberapa orang yang menangani sengketa/konflik pertanahan mengatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat adat juga terkadang menjadi faktor penghambat penyelesaian sengketa/konflik. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar dari masyarakat adat yang merupakan pihak yang bersengketa mempunyai tingkat pendidikan yang relatif rendah. Sehingga terkadang mereka mengalami kesulitan untuk memahami hal yang menjadi fokus dari sengketa yang dimusyawarahkan dan menyebabkan sengketa menjadi semakin rumit utuk diselesaikan.
Terkadang, pada saat akan dilakukan penandatanganan kesepakatan, salah satu atau kedua belah pihak menolak untuk melakukannya dengan alasan mereka tidak mengerti tujuan ditandatngannya kesepakatan tersebut. Selain karena tidak dapat membaca, ada juga yang beralasan bahwa mereka sebenarnya tidak memahami apa yang tertuang dalam perjanjian karena perjanjian dibuat oleh perangkat pelaksana musyawarah tanpa penjelasan secara jelas kepada kedua belah pihak.
III. Kedisiplinan
Kedisiplinan para pihak dalam proses penyelesaian sengketa juga menjadi faktor penghambat.[24]
3.9 Studi Kasus
Badan Pertanahan Nasional (BPN) atau yang dulunya dikenal dengan sebutan Kantor Agraria ini adalah lembaga pemerintah non kementerian di Indonesia yang mempunyai tugas dan fungsi di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria disetujui dan disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 pada 24 September 1960. Saat ini BPN diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 dan Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2012. Struktur organisasi Badan Pertanahan Nasional dibagi berdasarkan wilayah menjadi (1)Kantor Pusat di tingkat Nasional, (2) Kantor Wilayah di tingkat Provinsi, dan (3)Kantor Kota di tingkat kabupaten. Berdasarkan hal tersebut, Kantor BPN Sungailiat termasuk dalam kategori yang ketiga yaitu Kantor di tingkat kabupaten. Kantor BPN Sungailiat terletak di Jl.Diponegoro No. 14 Sungailiat, Bangka. Upaya pembangunan sebuah wilayah untuk memperoleh kualitas yang lebih baik terus dilakukan oleh pemerintah termasuk Pemerintah kabupaten Bangka. Pemerintah Kabupaten Bangka berusaha mengakses semua kepentingan baik lokal, regional hingga nasional di segala sektor khususnya sektor pelayanan masyarakat. Salah satu upaya yang dilakukan yaitu dengan mengembangkan sarana dan prasarana pelayanan masyarakat yang nyaman, termasuk fisik bangunan yang mewadahinya. Kondisi fisik sebuah bangunan gedung kantor memberikan dampak terhadap kinerja pegawai kantor yang beraktivitas di dalamnya dan kepuasan masyarakat yang membutuhkan pelayanan.
BAB IV
Penutup
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini adalah Badan Pertanahan Nasional menamakan mediasi dengan sebutan lembaga mediasi, yaitu dibawah naungan dari seksi sengketa,konflik dan perkara. Lembaga mediasi yang diadakan BPN sejajar dengan lembaga mediasi yang diadakan oleh independen. Yang bertujuan menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial dalam proses penyelesaian sengketa pertanahan. Jenis-jenis sengketa yang diselesaikan melalui lembaga mediasi ada banyak salah satunya tentang kepemilikan haknya. Latar belakang masyarakat memilih proses mediasi dalam penyelesaian sengketa pertanahan adalah dalam proses pelaksanaan mediasi ini biaya lebih ringan, cepat dan lebih mudah, yang paling penting dalam penyelesaian sengketanya para pihak tidak sampai harus adanya pertengkaran dan putusan akhir dari mediasi jelas. Dalam proses penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi ada beberapa tahap dan proses mediasi itu ada beberapa proses yaitu tahap pendahuluan, sambutan mediator, presentasi para pihak, identifikasi hal-hal yang sudah disepakati, mengidentifikasikan dan mengurutkan permasalahan, negosiasi, pertemuan terpisah, pembuatan keputusan akhir, mencatat keputusan, dan kata penutup. Dalam pelaksanaan mediasi mengandung kelemahan. Kelemahan mediasi terletak pada kekuatan mengikatnya putusan mediasi.
4.2 Saran
Pada dasarnya Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah tempat yang mutlak untuk melakukan mediasi, pelaksanaan mediasi di BPN Kabupaten Bangka sudah berjalan sesuai dengan fungsinya, jangan sampai BPN melakukan tindakan-tindakan yang diinginkan seperti Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
DAFTAR PUSTAKA
Limbong, Bernhard. 2012. Konflik Pertanahan. Jakarta: CV Rafi Maju Mandiri.
Mu’adi, Sholih. 2010. Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan Dengan Cara litigasi Dan Non Litigasi. Jakarta: Prestasi Putrakarya.
Sukadana, I Made. 2012. Mediasi Peradilan: Mediasi dalam Sistem Peradilan Perdata Indonesia dalam Rangka Mewujudkan Proses Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. Jakarta: Prestasi Putrakarya.
Wijaya, Gunawan. 2005. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT. Grafindo Persada.
Amriani, Nurnangsih. 2011. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan. Jakarta: Rajawali Pers.
Rahmadi, Takdir. 2011. Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat. Jakarta: Rajawali Pers.
Footnote
1] Bernhard Limbong, Konflik Pertanahan, (Jakarta: CV Rafi Maju Mandiri,2012), hlm. 348-349
[2] Sholih Mu’adi, Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan Dengan Cara litigasi Dan Non Litigasi, (Jakarta: Prestasi Putrakarya,2010), hlm.7
[3] I Made Sukadana,Mediasi Peradilan…,(Jakarta: Prestasi Pustakarya, 2012), hlm.80
[4] Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.66-67
[5] Nurnangsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa di Pengadilan, (Jakarta: Rajawali Pers,2011), hlm.53
[6] Ibid hlm.54
[7] Ibid hlm 61-62
[8] Gunawan Wijaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2005), hlm.2-3
[9] Ibid, hlm 90-91
[10] Ibid
[11] Nurnangsih Amriani, op.cit., 62
[12] Nurnangsih Amriani,op.cit., hlm.63
[13] Gunawan Wijaya, op.cit., hlm 92-93
[14] Nurnangsih Amriani,op.cit., hlm.67-68
[15]Ibid , hlm.67-68
[16] Ibid , hlm.85-87
[17] Bernhard Limbong, op.cit., hlm.351
[18] Ibid, hlm.351-352
[19] Ibid, hlm.352-354
[20] Ibid, hlm.354-355
[21] Ibid, hlm.355-359
[22] Ibid, hlm.359-361
[23] Ibid, hlm 91-94
[24] Ibid, hlm.94-95
N.B : Untuk mendapatkan file diatas, silahkan klik DISINI
No comments:
Post a Comment